Dikirimnya draf Peraturan Presiden (Perpres) ke DPR terkait pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menanggulangi kejahatan terorisme menjadi sorotan banyak kalangan.
Dilibatkannya TNI dinilai berpotensi memunculkan tindakan represi yang justru dapat mengakibatkan kecurigaan berlebihan.
Koordinator Lingkar Masyarakat Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, pemberantasan tindak pidana terorisme masuk dalam kategori hukum sipil.
Ray berpendapat penanganan terorisme cukup ditangani oleh aparat Kepolisian.
"Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini harus ekstra hati-hati karena memasuki wilayah sipil," demikian kata Ray Rangkuti, Jumat (14/8).
Dalam pandangan Ray, tugas paling utama TNI adalah pertahanan negara. Dengan demikian, kurang tepat apabila dilibatkan dalam perkara sipil.
Ray mengkhawatirkan, pelibatan TNI dalam menangani terorisme jangan sampai membuat profesionalisme TNI menurun.
Mengingat, selama ini TNI mendapatkan pengakuan dan kepercayaan yang baik baik di dalam dan di luar negeri.
"Jangan korbankan profesionalisme TNI," katanya.
Ray melanjutkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo ini rupanya beranggapan TNI selama ini seolah menganggur. Padahal sama sekali tidak, TNI bekerja selama 24 jam sehari yakni dalam bidang pertahanan negara.
Hal lainnya terkait pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme ini dapat menimbulkan ketidakharmonisan dengan Kepolisian.
"Selama ini penanganan terorisme ada ditangan polisi," katanya.
Ray juga menyoroti, potensi konflik psikologis apabila TNI dilibatkan dalam menangani terorisme dan harus berada di bawah komando kepolisian.