Berita

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim/Net

Politik

Moralitas Dan Visi POP Bermasalah, Sudah Sepatutnya Anggaran Dialihkan Ke Bansos Pendidikan

RABU, 29 JULI 2020 | 14:08 WIB | LAPORAN: AHMAD SATRYO

Program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan melibatkan peran organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang disebut Program Organisasi Penggerak (POP) tak sesuai jika dilihat dari segi moralitas dan visi program.

Begitu diungkapkan pakar kebijakan publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat dalam tulisannya berjudul "Moralitas dan Visi Program Bermasalah, Sebaiknya Dana POP Dialihkan ke Bansos Pendidikan".

Dari tulisannya tersebut, sosok yang kerap disapa Hidayat Matnoer ini menyoroti permintaan maaf Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim kepada Nadlatul Ulama, Muhammadiyah, dan PGRI yang berujung larangan penggunaan APBN bagi Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation.

"Dari 324 proposal dari 260 Ormas, dua organisasi CSR yaitu Putera Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation yang tadinya mendapatkan bantuan APBN menjadi dipastikan menggunakan skema pembiayaan mandiri untuk mendukung POP. Bagaimana tata kelola keputusan dilakukan kementerian pendidikan?" kritiknya, Rabu (29/7).

Ia kemudian menelisik visi POP yang didesain untuk meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan melibatkan peran serta Ormas bidang pendidikan. Secara eksplisit, tujuan tersebut dianggap mulia dan didesain sebelum terjadinya pandemik Covid-19.

Namun visi yang mullia tersebut terganggu dengan adanya kesiapan teknis yang belum optimal, sehingga mengundang kritik publik, seperti misalnya yang disampaikan Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, Arifin Junaidi yang menyebut proses seleksi POP kurang jelas.

"Kritik lain datang dari Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasiyarno yang menyatakan bahwa kriteria pemilihan ormas yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah," ungkap Hidayat Matnoer.

"Seolah-olah visi mulia tersebut terganggu dengan implementasi teknis yang dilakukan Kementerian Pendidikan nasional," sambungnya.

Kemudian dari sisi moralitas, keterlibatan lembaga kemasyarakatan yang memiliki titel korporasi besar sekelas Tanoto dan Sampoerna menjadi dilema.

"Di satu sisi mereka adalah lembaga profesional yang bergerak di bidang sosial dengan visi mulia, membantu pendidikan Indonesia yang masih rendah. Sisi lain, meski mereka sudah terlepas dari perusahaan induk, namun tetap memiliki misi perusahan holding-nya, yaitu peningkatan reputasi nama korporasi mereka. Itu sebabnya Tanoto dan Putera Sampoerna tetap menjadi nama kelembangaannya," lanjut Hidayat Matnoer.

Hidayat Matnoer juga menilai isu moralitas lain yang menyebabkan POP menjadi kisruh, yakni soal timing program POP di tengah pandemik Covid-19 yang telah meluluhlantakkan dunia pendidikan dan berimbas pada kehidupan siswa, guru, dan orang tua.

"Ditambah kasus bunuh diri seoarang siswa karena tidak memiliki smartphone untuk kegiatan belajar jarak jauh, berita ketidaksediaan internet di pedalaman untuk anak didik menambah miris dunia pendidikan Indonesia akibat Covid-19," sebutnya.

Oleh karena itu, Hidayat Matnoer berkesimpulan bahwa dana Rp 597 miliar per tahun untuk POP tidak tepat diberlakukan kepada ormas-ormas penggerak pendidikan di saat para siswa dan guru sangat membutuhkannya.

"Moralitas POP dipertanyakan publik karena tidak peka terhadap persoalan yang ada. Sebaiknya program organisasi penggerak pendidikan dihentikan dan dialihkan ke program stimulus proses pendidikan dari rumah seperti perangkat belajar daring, termasuk paket internet, perangkat kerasnya untuk menyelamatkan pendidikan di Indonesia," harapnya.

"Subsidi kepada siswa tersebut dirasakan tepat daripada diberikan kepada ormas-ormas tersebut. Sebagian dana program dapat juga diberikan kepada guru honorer. Ekonomi saat pandemik sulit, bantuan sosial pendidikan lebih dibutuhkan saat ini," demikian Hidayat Matnoer.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Ukraina Lancarkan Serangan Drone di Beberapa Wilayah Rusia

Rabu, 01 Mei 2024 | 16:03

Bonus Olimpiade Ditahan, Polisi Prancis Ancam Ganggu Prosesi Estafet Obor

Rabu, 01 Mei 2024 | 16:02

Antisipasi Main Judi Online, HP Prajurit Marinir Disidak Staf Intelijen

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:37

Ikut Aturan Pemerintah, Alibaba akan Dirikan Pusat Data di Vietnam

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:29

KI DKI Ajak Pekerja Manfaatkan Hak Akses Informasi Publik

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:27

Negara Pro Rakyat Harus Hapus Sistem Kontrak dan Outsourcing

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:17

Bandara Solo Berpeluang Kembali Berstatus Internasional

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:09

Polisi New York Terobos Barikade Mahasiswa Pro-Palestina di Universitas Columbia

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:02

Taruna Lintas Instansi Ikuti Latsitardarnus 2024 dengan KRI BAC-593

Rabu, 01 Mei 2024 | 14:55

Peta Koalisi Pilpres Diramalkan Tak Awet hingga Pilkada 2024

Rabu, 01 Mei 2024 | 14:50

Selengkapnya