Berita

Ilustrasi/Net

Dunia

Jika AS Benar-benar Larang TikTok, Itu Adalah Diskriminasi dan Tanda Tidak Percaya Diri

KAMIS, 09 JULI 2020 | 08:47 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Bukan pertama kalinya Amerika Serikat mencoba mengeluarkan ancaman terhadap aplikasi China. Aplikasi berbagi video TikTok menghadapi situasi yang semakin sulit untuk beroperasi di AS. Atas ancaman itu, beberapa orang mungkin berpendapat China juga telah melakukan hal yang sama dengan memblokir perusahaan teknologi AS seperti Google.

Dalam sebuah artikelnya, Global Time mengatakan bahwa kondisi itu berbeda, dan tidak dapat dibandingkan. Sejak beberapa tahun lalu, berbagai layanan Google tak dapat diakses dari China. Layanan Gmail hingga pencarian Google, semua tak bisa digunakan. Aturan ini dilakukan China karena Google tidak bersedia mematuhi aturan hukum China.

China meminta perusahaan internet AS, di antaranya termasuk Google itu, agar mematuhi undang-undang dan peraturan China. Sebuah tuntutan yang wajar bagi siapa saja yang ingin beroperasi di China. Namun, Google ternyata malah menarik diri dari China pada 2010.


China menyambut baik perusahaan-perusahaan AS ini untuk kembali ke daratan China asalkan mereka mematuhi hukum Tiongkok. Pada tahun 2018, Google berencana kembali ke daratan China dengan meluncurkan mesin pencari Capung, tetapi perusahaan itu akhirnya menyerah karena tekanan politik AS.

Sementara TikTok, bagaimanapun telah mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditetapkan AS agar aplikasi itu bisa digunakan di AS.
Perusahaan TikTok sebelumnya telah mengkonfirmasi bahwa data pengguna AS hanya disimpan di AS, pusat datanya terletak sepenuhnya di luar China, dan tidak mengirim data pengguna apa pun ke China.

Pada bulan Mei, TikTok menunjuk pengusaha Amerika dan mantan eksekutif perusahaan Walt Disney Company Kevin Mayer sebagai CEO-nya. TikTok telah sangat berhati-hati dan sah menurut hukum. Namun, nyatanya TikTok tetap saja menghadapi penolakan di AS pasca pecahnya bentrokan India dan China di Ladakh. AS kini menjadi tidak toleran terhadap China. Inilah yang disayangkan China, tulis artikel berjudul, ‘US Shows Military Muscle To Provoke China’.

Padahal selama ini China tidak pernah ikut campur dalam pilihan aplikasi internet negara lain, sementara AS mendorong larangan India terhadap 59 aplikasi China, termasuk TikTok.

Ketika sebuah negara memberlakukan pemblokiran atau pelarangan terhadap sebuah produk negara lain, hanya ada dua alasan, yaitu karena faktor ekonomi dan politik.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan bahwa AS telah memutuskan pelarangan aplikasi media sosial China, termasuk TikTok, dalam sebuah wawancara dengan Fox News, pada Senin pekan lalu. Bahkan, dengan terang-terangan Pompeo mengklaim bahwa orang tinggal mengunduh aplikasi China saja, “Jika Anda ingin informasi pribadi Anda berada di tangan Partai Komunis China." Sebuah pernyataan yang lebih tepat berupa tuduhan.

TikTok populer di AS, terutama di kalangan anak muda Amerika. Data perusahaan pada 2019, menunjukkan bahwa 60 persen dari 26,5 juta pengguna aktif bulanan TikTok di AS berusia antara 16 dan 24 tahun.

Mungkin AS tidak dapat menanggung aplikasi hiburan China. Larangan AS terhadap TikTok dan aplikasi media sosial China lainnya barangkali hanya menunjukkan diskriminasi dan kurangnya kepercayaan diri. Apakah hanya perusahaan teknologi AS yang dapat beroperasi di negara itu? Ini terlalu jauh dari semangat keterbukaan AS.

Lihat, Presiden Prancis Emmanuel Macron menggunakan TikTok untuk pertama kalinya untuk memberi selamat kepada lulusan sekolah Prancis setelah hasil ujian mereka, tepat sehari setelah Pompeo mengisyaratkan kemungkinan larangan penggunaan TikTok.

“Jika pemerintah AS memutuskan untuk melarang TikTok, kebijakan proteksionis bertentangan dengan semangat pasar bebas yang selalu dianjurkan AS. Itu adalah kemunduran. Politisasi teknologi hanya akan merusak daya saing teknologinya sendiri,” tulis artikel itu.

Manajemen internet China telah terbukti sangat diperlukan, dan sejumlah perusahaan internet China yang kompetitif telah muncul. Semoga, AS masih bisa mempertahankan keunggulan kompetitifnya dengan sikap terbuka, alih-alih menggunakan politik untuk menekan lawan-lawannya.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kepuasan Publik Terhadap Prabowo Bisa Turun Jika Masalah Diabaikan

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46

Ini Alasan KPK Hentikan Kasus IUP Nikel di Konawe Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17

PLN Terus Berjuang Terangi Desa-desa Aceh yang Masih Gelap

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13

Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Taiwan, Kerusakan Dilaporkan Minim

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45

Bencana Sumatera dan Penghargaan PBB

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27

Agenda Demokrasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02

Komisioner KPU Cukup 7 Orang dan Tidak Perlu Ditambah

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45

Pemilu Myanmar Dimulai, Partai Pro-Junta Diprediksi Menang

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39

WN China Rusuh di Indonesia Gara-gara Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33

IACN Ungkap Dugaan Korupsi Pinjaman Rp75 Miliar Bupati Nias Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05

Selengkapnya