KEMARIN, seorang sahabat kirim pertanyaan lewat Whatshapp (WA) dan email. Demikian pertanyaannya: Kenapa bangsa Indonesia tidak bisa terbang tinggi mengatasi segala perbedaan, bersatu maju bersama melawan tekanan berat, seperti akibat pandemi Covid-19? Kita pernah bisa memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, kenapa setelahnya tak mampu bangkit bersama?
Sahabat, kebanyakan orang lebih senang mengingat atau mengenang ketimbang berimajinasi. Orang juga lebih suka berfantasi ketimbang berimajinasi. Berkhayal juga lebih menarik lagi mengasyikkan dari pada berimajinasi. Dan, berhalusinasi jauh lebih menarik ketimbang berimajinasi.
Fantasi adalah sebuah mimpi yang bekembang di luar jangkauan manusia sehingga tidak memiliki parameter yang riil dalam mewujudkannya. Selain itu, fantasi lebih bersifat terlalu mengada-ada. Sedangkan khayalan atau ilusi bisa dikatakan sebagai wujud dari kepalsuan. Halusinasi secara umum diartikan sebagi melihat, mendengar, atau merakan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata.
Sementara itu, imajinasi diartikan sebagai daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambaran kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Dengan demikian, menuntut risiko meninggalkan hal-hal yang sudah dikenal secara baik, termasuk ingatan akan kejayaan masa lalu, untuk membangun kejayaan di masa depan. Hanya orang kreatiflah yang memiliki kebiasaan berimajinasi.
Itulah, sahabat, ingatan atau kenangan berkaitan dengan hal-hal yang diketahui, dipahami secara baik. Karena itu, orang lebih senang, lebih memilih untuk mengenang, mengingat ketimbang berimajinasi. Kisah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, misalnya, selalu dikenang. Apakah itu salah? Tidak.
Kenangan akan masa lalu, memang juga penting, sahabat. Markus Aurelius Augustinus (354-430) seorang filsuf mengatakan, berkat kesadaran, jiwa manusia dapat mengingat dan seolah-olah hadir kembali dalam kejadian yang sebenarnya sudah berlalu. Namun, berkat kesadarannya, manusia dapat menyongsong, mewujudkan langkah demi langkah; dan dengan demikian mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang ia harapkan terjadi pada masa yang akan datang. Ia seolah-olah sudah mengalami apa yang sebenarnya akan terjadi di masa depan (Simon Petrus L Tjahjadi, 2004).
Maka dari itu, kita yang hidup di zaman kini, tidak hanya bermimpi untuk masa depan, dan belajar dari masa lalu. Akan tetapi, juga harus berani berimajinasi, bukan berfantasi, bukan berkhayal, dan juga bukan berhalusinasi.
Sahabat, banyak kisah kemajuan dan kejayaan bangsa-bangsa berangkat dari imajinasi. Jepang, misalnya, yang terpuruk dan hancur setelah PD II, tidak berpangku tangan, diam saja, merenungi nasib. Akan tetapi, berbekalkan manusia yang memiliki disiplin tinggi, semangat juang tak kenal lelah, mereka bangkit membangun negeri yang mereka imajinasikan mampu keluar dari keterpurukan. Mereka bermimpi dan mencipta.
Mereka, orang-orang Jepang itu adalah para idealis, cendekiawan yang karena keterbatasan sumber daya alam, berpaling ke pada teknologi. Kemajuan teknologi-lah yang telah membawa mereka, Jepang, keluar dari lembah kehinaan dari PD II.
Korea Selatan oleh Daniel Tudor (2012) disebut sebagai The Impossible Country. Mengapa? Korea Selatan adalah negara miskin yang dilanda perang, lalu memasuki masa dari kediktatoran brutal ke demokrasi kacau dan kemudian kediktatoran lagi. Itulah sebabnya, tidak heran bahwa banyak yang berpendapat bahwa Korea Selatan tidak akan bertahan sebagai negara, akan menjadi failed state.
Tetapi, apa yang terjadi? Korea Selatan muncul sebagai negara yang stabil, bertumbuh menjadi negara maju, dengan prestasi yang mengesankan dalam berbagai bidang, termasuk dalam budaya populer. Pendek kata, orang Korea Selatan telah menulis kisah tentang pembangunan bangsanya yang sungguh luar biasa. Maka negara itu disebut sebagai The Impossible Country.
Kisah yang sama juga dialami oleh China dan India. China yang selama bertahun-tahun dipenjara oleh sistem politik komunisme dan beban jumlah penduduk, berjalan tertatih-tatih seperti raksasa keberatan badan. Tetapi, di bawah pemimpin yang memiliki imajinasi yang liar tentang sebuah negara besar-Deng Xiao Ping, dan diteruskan para pemimpin lainnya termasuk Xi Jinping, presiden China saat ini-China menjelma menjadi negara besar dan kuat secara ekonomi dan politik. China menjadi sangat realistik, bahwa sistem politiknya yang dulu tidak akan mampu membawa ke kemakmuran, tak mampu memberikan makan pada para penduduknya.
Yang tak kalah penting adalah orang Cina terkenal sebagai pekerja keras hingga dapat meraih kesuksesan yang gemilang. Sifat sebagai pekerja keras itu sudah menjadi kultur. Mereka juga memiliki rasa kompetitif yang tinggi dan dengan itu mereka akan berusaha sekuat mungkin untuk meraih kesuksesan. Selain itu, mereka juga memiliki sikap hidup suka menabung.
Sahabat, mengapa semua itu bisa terjadi? Lawrence Harrison dalam Culture Matters: How Values Shape Human Progress (2001)menjelaskan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia. Samuel Huntington dalam kata pengantarnya memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama.
Tigapuluh tahun kemudian Korea Selatan telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun. GDP per kapita Korea Selatan (2018) adalah 33.320 dollar AS, sedangkan Ghana 2.201 dolar AS (countryeconomy.com).
Mengapa bisa berbeda demikian mencolok? Ini disebabkan masyarakat Korea Selatan memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti menghargai penghematan, investgasi, kerja keras, pendidikan, organisasi, dan disiplin. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana. Singkatnya, budaya penting.
Ada yang mengartikan bahwa culture adalah etos. Etos mencakup sikap terhadap waktu, kerja, dan masa depan yang kemudian membentuk sehimpunan perilaku khas individu atau organisasi. Pada tingkat internasional sudah dibuktikan bahwa maju tidaknya peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh etosnya. Perusahaan-perusahaan kelas dunia di Jepang, AS, Korea Selatan, China, dan negara-negara Eropa juga berhasil karena mempunyai etos kerja yang unggul.
Para cerdik pandai mengatakan, kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah values atau nilai-nilai yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika).
Dari sistem nilai inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan yang mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan unsur paling dasar dari suatu masyarakat. Oleh karena itu, sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog menganut paham cultural determinism yang percaya bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya.
Sahabat, menarik kalau kita bandingkan antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara sama-sama merdeka pada tahun 1945: Indonesia, 17 Agustus 1945 sedangkan Korea Selatan 15 Agustus 1945. Kedua negara lepas dari penjajahan Jepang. Bagaimana perekonomian Indonesia saat ini dan bagaimana Korea Selatan saat ini? Sekarang banyak di antara kita yang gandrung produk budaya Korea Selatan. K-pop, misalnya, atau produk-produk industri otomotif atau elektronik yang membanjiri Indonesia.
Kedigdayaan budaya pop Korsel atau produk otomotif dan elektronik, tidak dicapai dalam waktu semalam. Ibarat kata, Roma tidak dibangun dalam semalam. Semua melewati waktu panjang dan kerja keras serta tekad kuat. Demikian pula keberhasilan Korea Selatan, juga negara-negara lain, seperti Jepang, China, dan India.
Cerita Korea Selatan, bermula dari ambisi nasional rezim militer Park Chung-hee (menjadi Presiden, 1963-1979) yang otokratis, represif, tetapi berkomitmen dalam mengejar pembangunan ekonomi. Hasilnya, sekarang bisa dinikmati.
Mengapa kita kalah? Kira-kira pertanyaan sederhananya seperti itu, sahabat. Ada yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia sebagai "kebudayaan yang terkalahkan" (defeated culture). Benarkah demikian? Apakah kita bangsa yang kalah? Tentu tidak!
Tetapi, tetang manusia Indonesia, Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 6 April 1977, menyebutkan ada enam ciri: yakni pertama, munafik atau hipokrit. Kedua, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Ketiga, sikap dan perilaku yang feodal. Keempat, masih percaya pada takhayul. Kelima, artistik. Keenam, lemah dalam watak dan karakter.
Apakah ciri-ciri tersebut menjadi penyebab kita tertinggal dari bangsa-bangsa lain, walau sekarang sudah berusaha sekuat tenaga untuk berlari mengejar? Zaman sudah berubah, dan terus berubah. Bahkan, menurut Anthony Giddens, sosiolog dari Inggris, zaman lari tunggang langgang. Bangsa Indonesia pun, harus pula ikut lari tunggang langgang, memandang jauh ke batas langit, bukan yang selalu menengok pada masa lalu serta berhalusinasi masa depan yang suram.
Dengan kata lain, hendaknya bangsa Indonesia, meminjam istilah yang dikemukakan olah Augustinus, selalu berada dalam situasi pengharapan, dimensi futurum atau masa depan manusia, sambil terus berimajinasi, tidak berfantasi, berkhayal, dan berhalusinasi.
Dengan demikian, bangsa Indonesia akan menjadi bagian dari "the Asian miracle" di hari-hari depan termasuk dalam membangun juga kualitas kebudayaan bangsa tidak hanya dalam hal pembangunan ekonomi.
Tetapi sayang sahabat, banyak orang lebih suka berteriak-teriak, omong besar, mencari kambing hitam atau malah menciptakan kambing hitam, mengawinkan politik dengan agama, politik dengan uang, mencari-cari perkara, memelihara rasa dendam, ketimbang mengimajinasikan masa depan. Maka bangsa ini tidak bisa terbang tinggi.
Penulis adalah wartawan senior. Artikel ini sudah dimuat di web pribadi penulis dan dimuat di RMOL.id atas izin penulis.