Berita

Tangkapan layar dari video Aktivis 98, Edysa Girsang/RMOL

Politik

Aktivis 98: 22 Tahun Reformasi Lebih Berbahaya Dari Orde Baru

KAMIS, 21 MEI 2020 | 09:57 WIB | LAPORAN: AHMAD SATRYO

Perubahan total menjadi dasar gerakan reformasi 1998 muncul. Keinginan itu dilatari oleh aksi rezim Orde Baru yang membungkam kreativitas dan aktivitas rakyat dari segala macam sektor.

Begitu tegas aktivis 98, Edysa Girsang dalam sebuah video yang merefleksikan perjalanan 22 tahun reformasi. Video ini ditonton Kantor Berita Politik RMOL pada Kamis (21/5).

Edysa Girsang juga menyebut banyak catatan pelanggaran HAM yang menjadi refleksi para mahasiswa untuk bergerak melakukan dengan aksi massa dan mengakspresikan kedaulatan rakyat


“Misalnya kasus Tanjung Priok, Talang Sari,” ujar pendiri Forum Kota (Forkot) itu.

“Parlemen juga bungkam dan menjadi bagian kaki tangan pemerintah,” sambungnya.

Namun demikian, setelah reformasi berjalan selama 22 tahun, ternyata harapan aktivis 1998 tidak sesuai kenyataan. Sebaliknya, kemunduran parah justru yang mereka rasakan.

Edysa Girsang menilai bahwa pemerintah hari ini tidak bisa mengontrol kebutuhan pokok masyarakat. Kritik yang disuarakan justru diangap sebagai sebuah ancaman atau permusuhan.

“Pemerintah membiarkan pross deharmonisasi, misalnya dengan menciptakan idiom konflik, katanya idealisme versus radikalisme. Ini yang akhirnya mendorong intoleransi,” sambungnya.

“Situasi ini malah lebih berbahaya dari pada Orde Baru,” tegas Edysa Girsang.

Secara kebijakan, Edysa Girsang menyoroti penerbitan Perppu 1/2020, UU Minerba dan sebagainya yang pengesahannya berjalan mulus di DPR, seolah rezim ini sedang tidak memiliki kontrol.

Uniknya lagi, DPR diam saja saat hak budgeting dan controling diamputasi eksekutif lewat Perppu Corona.

“Ini yang saya bilang lebih parah dari orde baru,” sambungnya.

DPR, lanjutnya, juga tidak segera melakukan pemanggilan terhadap eksekutif, karena di situasi pandemik ini beban rakyat bertambah seiring kenaikan iuran BPJS. Apalagi konstitusi sebenarnya menggratiskan, bukan menaikkan pajak.

Atas dasar itu semua, Edysa Girsang menyimpulkan bahwa apa yang dicita-citakan di tahun 1998 sangat jauh dari harapan. 

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

UPDATE

Rumah Dinas Kajari Bekasi Disegel KPK, Dijaga Petugas

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12

Purbaya Dipanggil Prabowo ke Istana, Bahas Apa?

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10

Dualisme, PB IKA PMII Pimpinan Slamet Ariyadi Banding ke PTTUN

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48

GREAT Institute: Perluasan Indeks Alfa Harus Jamin UMP 2026 Naik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29

Megawati Pastikan Dapur Baguna PDIP Bukan Alat Kampanye Politik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24

Relawan BNI Ikut Aksi BUMN Peduli Pulihkan Korban Terdampak Bencana Aceh

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15

Kontroversi Bantuan Luar Negeri untuk Bencana Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58

Uang Ratusan Juta Disita KPK saat OTT Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52

Jarnas Prabowo-Gibran Dorong Gerakan Umat Bantu Korban Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34

Gelora Siap Cetak Pengusaha Baru

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33

Selengkapnya