AWAL 99, sebagai koresponden Majalah Gamma di Jogja saya mendapatkan tugas liputan ke Solo, untuk bertemu dengan orang yang namanya masih asing di telinga: Didik Kempot. Saya belum tahu seperti apa ‘prejengan’ orang ini. Seingat saya, gambarnya pun belum pernah dimuat di media massa.
Waktu itu belum banyak pecinta musik yg mengenal namanya. Di genre campursari, nama yang kondang saat itu adalah Manthous asal Gunung Kidul dan pasangannya: Sunyahni. Didik belum mengerek popularitas sebagai bintang campursari, bahkan masih jauh dari posisi Lord of the Broken Heart yang disematkan kepadanya dalam beberapa tahun terakhir. Kabarnya, ia sempat ‘nongol’ di sebuah album dangdut keroyokan bersama artis-artis MSC Record: Johny Iskandar, Ona Sutra, Imam S Arifin, dan kawan-kawan pada permulaan dekade 90-an. Tapi, porsinya sangat minim.
Redaktur yang menugasi saya mendapat info perihal Didik dari Pak Mahtum Mastoem, pemimpin perusahaan
Gamma, bahwa ada penyanyi Indonesia yang sedang ngetop di kalangan orang Jawa di Belanda dan Suriname. Ia sudah membuat album pop Jawa di sana dan laris ditanggap sana-sini. Pak Mahtum sendiri mendapat info mengenai
‘the rising star’ itu dari rekan pebisnis yang dekat dengan Pat Amat Marwan, orang Jawa Suriname yang memproduseri album Didik.
Saya tidak punya banyak
clue tentang dimana harus mencari Didik, kecuali melalui sebuah info bahwa ia adalah putra Ranto Edy Gudel, pelawak Srimulat yang wajahnya lucu itu. Mbah Ranto kononnya tinggal di kampung Sumber, sekitar belakang pool Damri Solo. Segera saya meluncur ke Solo, dan setelah masuk kampung Sumber, hanya bertanya sekali saja, saya menemukan rumah yang dituju.
Mbah Ranto kala itu adalah sosok seniman yang masyhur. Selain melawak bersama supergrup Srimulat, ia juga pencipta lagu dangdut campursari yang bagus. Di kos-kosan saya di Jogja, teman saya Doni asal Boyolali kerap menyanyikan lagu "Anoman Obong" ciptaan beliau. Lagu itu sempat populer di tahun-tahun akhir masa Orba. Belakangan, dari Mbah Ranto, saya tahu bahwa lagu itu terinspirasi oleh momen 27 Juli 1996, dimana Jakarta terbakar oleh kerusuhan akibat penyerangan terhadap kantor DPP PDI Perjuangan.
Begitu masuk rumah Mbak Ranto, saya dipersilakan masuk oleh Mamiek Prakosa alias Mamiek Podang. Saya mengetuk pintu rumah itu ketika ia sedang asyik makan tengkleng kambing. Pelawak yang merupakan kakak Didik itu rupanya sedang pulang kampung. Saya segera mempersilakan dia meneruskan makan siangnya sembari menyatakan bahwa saya adalah wartawan dari Jogja yang sedang mencari Didik.
Dari cerita Mamik, saya tahu bahwa ia mampir ke Solo saat berangkat dari menuju Surabaya untuk ngejob jadi MC kawinan Tionghoa. Ia pun memanggil empunya rumah, Mbah Ranto, yang sedang berada di belakang untuk menemui saya.
“Pak, iki lho ono wartawan nggoleki Didik.â€
Mbah Ranto muncul di ruang tamu sederhana yang tanpa sekat dengan meja makan itu. Di dinding ruang itu tergantung foto Mamik dan saudara-saudaranya dalam aneka peristiwa seni. Saya ditunjukkan foto Didik, juga Sentot, kakak Mamiek yang juga berprofesi seniman panggung seni tradisional di lingkup lokal.
Saya bilang ke si Mbah, saya ingin mencari Didik untuk wawancara. Tapi, ternyata, Didik tidak tinggal di sana. Didik tinggal di Ngawi, di kampung halaman istrinya. Segera Mbah Ranto menelpon Didik untuk bertanya kapan ada rencana ke Solo. Setelah mendapatkan jawaban, saya dipersilakan datang lagi keesokan harinya.
(Bersambung)