Berita

Joseph Ernest Renan/Net

Publika

Renan, Bung Karno, dan Romo Ageng

SABTU, 25 APRIL 2020 | 14:05 WIB | OLEH: TRIAS KUNCAHYONO

APAKAH kalian semua tahu siapa Joseph Ernest Renan? Begitu, Romo Ageng  mengawali khotbahnya.

Mungkin orang lebih biasa dengan sebutan Ernest Renan, tidak pakai Joseph. Ernest Renan (1823-1892), seorang sastrawan, filolog, filsuf, dan sejarawan dari Perancis.

Tokoh inilah yang disebut-sebut Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, saat pidato; pidato  yang mengiringi lahirnya Pancasila.

Dengan mengutip pendapat Renan, Bung Karno mengatakan: syaratnya bangsa  adalah ‘kehendak untuk bersatu.’  Renan menyebutnya, le desir d’etre ensemble.

Sebab, bangsa adalah satu jiwa, une nation est un ame. Selain itu, une nation est un grand solidarité, satu bangsa adalah satu solidariteit (rasa kesetiakawanan) yang besar (Daniel Dhakidae, ed. dalam HS Dillon dan Idham Samudra Bey: 2013).

Niat dan semangat untuk bersatu itu, sudah lama muncul. Meskipun, pada mulanya  masih terkungkung dalam komunitas-komunitas berbasis etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris (Yudi Latif: 2011).

Pada tahun 1928, terjadi terobosan besar. Ketika itu, kaum muda melepaskan belenggu etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris dengan penuh kesadaran. Mereka menemukan komitmen kebangsaan baru: Kebangsaan Indonesia. Pendek kata, komitmen kebangsaan inilah yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda.

Para pemuda bersumpah, menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yakni Indonesia.

Ketika itu, mereka--tak peduli dari masa asalnya, sukunya apa, etnisnya apa,  agamanya apa, bahasanya apa, warna kulitnya apa, tak peduli jenis gendernya, bentuk rambutnya apa, dan aneka perbedaan lain -- bersatu padu, mengikrarkan diri menjadi satu. Benar yang dikatakan oleh Renan bahwa adanya  le desir d’etre ensemble, kehendak untuk bersatu, yang telah melahirkan bangsa ini.

Jauh waktu sebelumnya di negeri ini, sudah dirumuskan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma sebagai Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharmma Mangrwa, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua. “Semua kebenaran adalah satu, semua realitas adalah satu,” begitu kata Bunda Theresa.

Dan, ‘le desir d’etre ensemble, memuncak pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 dan penetapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara. Peristiwa ini merupakan momentum yang paling penting dan bersejarah karena merupakan titik balik dari negara yang terjajah menjadi negara yang merdeka. Inilah wujud dari komitmen kebangsaan. Bangsa dan Negara Indonesia, LAHIR!!!

Kehendak untuk bersatu itu, telah mempertemukan nilai-nilai, kepentingan, dan cita-cita bersama serta menyingkirkan kepentingan-kepentingan bernuansa kesukuan, keetnisan, keagamaan, kebudayaan, kedaerahan, dan sebagainya yang memecah-belah. Semua menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan UUD 1945 sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai ideologi negara.

Kini kebersamaan  sebagai bangsa dan negara, yang sudah dibangun para Bapak Bangsa sedang diuji dengan adanya pandemi Covid-19.

Di tengah ujian itu, muncul pertanyaan, apakah ingatan bersama atau ada yang menyebutnya sebagai ingatan kolektif tentang bagaimana bangsa ini “bersatu kata, bersatu kehendak, bersatu niat, bersatu tekad, dan bersatu cita-cita” untuk mendirikan satu negara, sudah hilang atau masih hidup dan masih kuat atau sebaliknya?

Ingatan bersama atau ingatan kolektif, secara mudah dapat diartikan sebagai hubungan antara keadaan di masa sekarang, dan ingatan atas masa lalu.

Memang ada yang mengatakan, “ah, semua itu adalah masa lalu.” Memang, ingatan bersama adalah ingatan akan masa lalu. Dan, itu berarti sudah berlalu. Benar,  sudah berlalu.

Akan tetapi, harus diakui yang sudah berlalu itu  tetap hidup sebagai jejak-jejak peristiwa sejarah bangsa ini yang tidak boleh dilupakan atau dihapus begitu saja. Historia vero testis temporum, lux veritatis, vitae memoria, magistra vitae, et nuntia vetustatis, sejarah adalah saksi zaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup, guru kehidupan, dan pesan dari masa lalu.

Tetapi, harus diakui bahwa di saat kesatuan, kebersatuan, dan semangat kebangsaan ini tengah menghadapi tantangan berat dan sulit sekarang ini, tetap masih ada yang mencari untung sendiri, yang memanfaatkan situasi kegawatan untuk kepentingan diri atau kelompoknya, atau golongannya atau partainya.

Mereka tidak menghargai daya-upaya berbagai pihak, berbagai kalangan, berbagai strata masyarakat yang terus berusaha menumbuhkan kebersatuan, kebersamaan dalam menghadapi situasi kritis. Mereka mengabaikan atau bahkan tidak mempedulikan aturan-aturan yang merupakan kebijakan politik pemerintah untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran karena meluasnya pandemi Covid-19.

Bahkan, mereka berusaha mencari-cari kesalahan, kelemahan pihak lain -- terutama pemerintah -- dan meneriakkan keras-keras, bukan sebaliknya, mendukung untuk bersama-sama mengatasi persoalan. Mereka lupa bahwa seperti pepatah mengatakan, bonum quod est supprimitur, numquam extinguitur, apa yang baik bisa ditekan tetapi tidak akan lenyap.

Setelah mengatakan itu, Romo Ageng diam. Ia memejamkan matanya. Menarik napas panjang. Lalu, ia berdiri dari tempat duduknya. Melangkah pelan-pelan sambil menundukkan kepala, menuju ke sebuah kamar khusus.

Romo Ageng pernah bercerita bahwa di kamar itulah, menurut bahasanya, ia “menghilangkah aku untuk menemukan Sang AKU.”

Persis sebelum memasuki kamar itu, samar-samar Romo Ageng, berguman sangat lirih seperti berbisik pada diri sendiri, “Sun réwangi apati geni, manjing in Alas Ketangga,” aku rela untuk tidak makan tidak minum, masuk dan mendengarkan getaran hati dan jiwa; untuk mencari Sang AKU.

Seperti Renan dan Bung Karno yang meyakini, syaratanya bangsa adalah le desir d’etre ensemble, Romo Ageng juga yakin bahwa Sang AKU, setiap waktu akan hadir.

Hadir dan mengulurkan tangan-Nya untuk menyelamatkan bangsa ini, yang sudah berjuang keras “Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta Dur Hangkara”, Memelihara Kedamaian Bumi, Memberantas Angkara Murka” dalam segala macam bentuk dan rupanya.

Penulis adalah wartawan senior. 

Populer

Seluruh Fraksi di DPR Kompak Serang Kejagung soal Tom Lembong

Rabu, 13 November 2024 | 18:01

Kapolri Mutasi 55 Pati dan Pamen, Ada 3 Kapolda Baru

Selasa, 12 November 2024 | 23:52

Berkinerja Buruk, Kadis Parekraf Layak Diganti

Rabu, 13 November 2024 | 00:20

"Geng Judol" di Komdigi Jadi Gunjingan sejak Bapak itu Jabat Menteri

Rabu, 06 November 2024 | 07:53

Dedi Prasetyo Dapat Bintang Tiga jadi Irwasum, Ahmad Dofiri Wakapolri

Selasa, 12 November 2024 | 22:50

Tak Terima Dikabarkan Meninggal, Joncik Laporkan Akun Facebook "Lintang Empat Lawang" ke Polisi

Kamis, 07 November 2024 | 06:07

Musa Rajekshah Dorong Pemetaan Potensi dan Keunggulan Desa

Kamis, 07 November 2024 | 21:43

UPDATE

2.500 Personel Kawal Laga Timnas Indonesia Kontra Jepang

Jumat, 15 November 2024 | 04:02

Budi Arie Dituntut Tanggung Jawab soal "Pengamanan" Situs Judol

Jumat, 15 November 2024 | 03:47

Rawan Disalahgunakan, KJP Dievaluasi untuk Program Sekolah Gratis

Jumat, 15 November 2024 | 03:25

Trending X, Rano Karno Hapus Foto Bareng Tersangka Judol

Jumat, 15 November 2024 | 03:03

Ini Pengalihan Arus Lalu Lintas di GBK saat Timnas Garuda Versus Jepang

Jumat, 15 November 2024 | 02:51

MRT Bundaran HI-Kota Beroperasi 2027

Jumat, 15 November 2024 | 02:18

Roy Suryo Tak Percaya "Pengamanan" Situs Judol Rp8,5 Juta per Bulan

Jumat, 15 November 2024 | 02:01

Raja Juli Optimis Reforestasi 12 Juta Hektare Lahan

Jumat, 15 November 2024 | 01:36

Pegawai Komdigi Diduga "Bermain" Judi Online sejak Era Covid-19

Jumat, 15 November 2024 | 01:23

PNM Sabet Tiga Penghargaan di BBMA 2024

Jumat, 15 November 2024 | 01:06

Selengkapnya