Berita

Ilustrasi/Net

Muhammad Najib

Pertarungan Antara Kelompok Islam Melawan Kelompok Sekuler Dalam Politik Di Dunia Islam

JUMAT, 27 MARET 2020 | 09:48 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

KEKALAHAN dunia Islam melawan Barat ditandai oleh kekalahan dan hancurnya Kesultanan Turki Usmani pada Perang Dunia Pertama.

Kemudian dilanjutkan dengan dibagi-baginya wilayah kekuasaan Turki khususnya yang berada di Dunia Arab oleh pemenang perang sesuai Perjanjian Sykes-Picot yang dibuat secara rahasia oleh pemerintah Inggris dengan Perancis, kemudian disetujui oleh Rusia.

Berdasarkan perjanjian ini, Suriah dan Lebanon dikuasai Perancis, sementara Inggris kebagian: Palestina, Yordania, Irak, dan seluruh negara Arab di kawasan Teluk.


Sementara Hijaz dan Najd yang kini disebutkan Arab Saudi diberikan kepada para pemimpin Arab yang membantu Inggris dalam menghadapi Turki sebagai imbalan.

Negara-negara Arab di kawasan Afrika Utara seperti Mesir, saat itu sudah dijajah Inggris, Al Jazair, Tunisia, dan Maroko dijajah Perancis, sedangkan Libia dijajah Itali.

Turki yang semula menjadi simbol kekuatan Islam, sekaligus sebagai benteng dan pelindung dunia Muslim, pasca perang dikuasai oleh kekuatan sekuler anti Islam.

Selanjutnya negara-negara Arab yang dikuasai oleh Inggris maupun Perancis sebagai penjajah, memfasilitasi sekaligus melindungi berkembangnya kelompok sekuler yang secara cepat melakukan mobilisasi fertikal untuk mendominasi kekuatan politik dalam upaya menguasai negara.

Di negara-negara Muslim di luar kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) sudah lebih dahulu mengalami proses ini, termasuk Malaysia yang dijajah Inggris dan Indonesia yang dijajah oleh Belanda.

Di Indonesia perlawanan terhadap para penjajah tidak pernah berhenti, dilakukan oleh tokoh-tokoh lokal secara sporadis yang selalu berujung dengan kekalahan. Salah satunya dikarenakan kemampuan penjajah dalam mempraktikan teori pecah-belah dan teori belah bambu, tentu saja faktor kolonial didukung oleh peralatan militer dan teori perang yang lebih canggih tidak bisa diabaikan.

Perlawanan mulai menemukan bentuknya, ketika bangsa Indonesia mulai mengenal organisasi modern yang mampu memobilisasi kekuatan politik secara nasional.

Pada puncaknya, baik kekuatan politik Islam maupun sekuler bersatu mengusir kolonialis Belanda, bersamaan dengan datangnya penjajah Jepang.

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke-2 menjadi momentum bagi kekuatan politik Islam dan sekuler untuk bekerjasama dalam mewudkan negara merdeka yang diberi nama Republik Indonesia.

Walau tidak mudah dan terkadang berlangsung keras, para pendiri negara berhasil melakukan negosiasi dan kompromi, khususnya antara dua kekuatan politik utama, yakni antara kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler yang kemudian mewariskan negara RI dalam bentuk sebagaimana yang kita nikmati sampai hari ini.

Faktor kesejarahan seperti inilah yang menyebabkan kelompok Islam di Indonesia menjadi moderat, begitu juga kelompok sekulernya.

Di banyak negara Muslim, khususnya yang berada di kawasan MENA situasinya berbeda sama sekali. Pertarungan antara kelompok Islam dan Sekuler terus berlangsung dan saling menghabisi sampai sekarang.

Hal inilah yang mendorong satu sama lain menjadi ekstrem. Kelompok Islam menjadi fundamentalis/radikal, sementara kelompok sekuler menjadi anti agama.

Bahkan belakangan berkembang kelompok militer dan kelompok otoritarian sebagai kekuatan politik yang saling berhimpitan dengan kelompok Islam maupun sekuler, sehingga memperumit peta politik yang ada.

Sampai kapan situasi seperti ini akan berlangsung, tidak mudah diprediksi, mengingat berbagai kekuatan asing yang memiliki kepentingan sendiri semakin lama semakin kuat mencengkram, baik melalui kekuatan politik, ekonomi, maupun militer.

Baru Tunisia yang nampak berhasil keluar dari berbagai jerat yang dialami hampir semua negara Arab. Kini tantangan yang dihadapi para pemimpinnya, terletak pada kemampuan bernegosiasi dan berkompromi antara dua kekuatan politik besar yang mewakili kelompok Islam dan kelompok sekuler, serta bagaimana menjaga independensinya dari kekuatan asing.

Tentu kita patut berdoa dan memberikan dukungan yang diperlukan, sehingga mereka sukses mengikuti jejak Indonesia.

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Sisingamangaraja XII dan Cut Nya Dien Menangis Akibat Kerakusan dan Korupsi

Senin, 29 Desember 2025 | 00:13

Firman Tendry: Bongkar Rahasia OTT KPK di Pemkab Bekasi!

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:40

Aklamasi, Nasarudin Nakhoda Baru KAUMY

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:23

Bayang-bayang Resesi Global Menghantui Tahun 2026

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:05

Ridwan Kamil dan Gibran, Dua Orang Bermasalah yang Didukung Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:00

Prabowo Harus jadi Antitesa Jokowi jika Mau Dipercaya Rakyat

Minggu, 28 Desember 2025 | 22:44

Nasarudin Terpilih Aklamasi sebagai Ketum KAUMY Periode 2025-2029

Minggu, 28 Desember 2025 | 22:15

Pemberantasan Korupsi Cuma Simbolik Berbasis Politik Kekuasaan

Minggu, 28 Desember 2025 | 21:40

Proyeksi 2026: Rupiah Tertekan, Konsumsi Masyarakat Melemah

Minggu, 28 Desember 2025 | 20:45

Pertumbuhan Kredit Bank Mandiri Akhir Tahun Menguat, DPK Meningkat

Minggu, 28 Desember 2025 | 20:28

Selengkapnya