Berita

Ilustrasi

Publika

Covid-19 dan Tragedi Kolektif

KAMIS, 26 MARET 2020 | 22:38 WIB | OLEH: TRIAS KUNCAHYONO

DI masa depan, para sejarawan akan menulis tahun 2020 ini sebagai “tahun kepanikan” global dan juga sebagai “tahun tragedi kolektif.” Barangkali juga akan ada  yang menggunakan terminologi apokaliptik, yakni datangnya bencana kosmis - transformasi dunia secara radikal, yang akan memunculkan perubahan radikal pula dan berakhir dengan datangnya dunia baru, dunia lain.

Zaman ini berakhir dan mulailah sebuah zaman baru, yang oleh Gramsci diistilahkan “…the old is dying,” tetapi Gramsci masih melanjutkan dengan "...and the new cannot be born.”

Tentu, kita semua berharap, nanti setelah “tragedi kemanusiaan” karena pandemi Covid-19 ini,  muncul dunia baru, terutama hubungan antar-manusia yang berubah, menjadi lebih manusiawi, lebih mencintai dan memelihara Bumi. Sebab, bukankah manusia itu homo homini socius, manusia menjadi sahabat bagi sesamanya. Begitu menurut Nicolaus Driyarkara SJ (1913-1967) seorang filsuf Indonesia dalam dalam A. Sudiarja, dkk (ed.) “Karya Lengkap Driyarkara” (2006).


Dari sini, Driyarkara mengubah lupus (serigala) menjadi socius (teman, sahabat, kanca); dari homo homini lupus (manusia serigala bagi sesama manusia) seperti yang diungkapkan Plautus (251-184 SM) dan digaungkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), menjadi homo homini socius, manusia menjadi sahabat bagi sesama manusia.

Kiranya, hal itu yang sekarang ini sedang diuji ketika dunia, termasuk Indonesia, tengah disapu pandemi wabah Covid-19.

Koran The Washington Post (17 Maret 2020), memberitakan krematorium beroperasi 24 jam sehari. Peti mati memenuhi kamar-kamar jenazah rumah sakit dan kamar-kamar mayat di rumah pemakaman; peti-peti jenazah berbaris di dalam gereja-gereja. Iklan duka cita di koran-koran yang  biasanya hanya dua atau tiga halaman, kini menjadi 10 halaman lebih, yang memuat lebih dari 150 nama.

Kisah yang tak jauh berbeda juga terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia. Di media sosial viral berita dan foto keluarga yang anggota keluarganya terkena Covid-19. Bagaimana mereka harus “merelakan” korban kesendirian, bahkan sampai mati. Sementara para dokter, para tenaga medis lainnya, menerima jalan pengorbanan yang sangat berat.

Namun, mereka menerima bukan dengan cara Stoik - tenang dan pasrah - melainkan dengan kegembiraan sejati dan kebahagiaan yang membawa sukacita mereka dalam karyanya: karya kemanusiaan.

Apa yang terjadi di Italia pada masa-masa awal saat  masyarakat tidak mematuhi  perintah social distancing, stay at home dan tidak kumpul-kumpul. Hal yang sama juga terjadi di negeri ini, Indonesia.

Barangkali, memang, perlu tindakan tegas - bahkan sangat tegas - dari pemerintah untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19 ini; selain tentu mengharapkan kesadaran warga masyarakat. Sebab,  mengutip yang dikatakan Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) ahli hukum  Romawi yang disebut prinsip Caesarismus Salus populi suprema lex esto (kesehatan rakyat hendaknya menjadi hukum tertinggi).

Dan, Cicero masih melanjutkan, “princeps legitus salutus est,” pemimpin yang menentukan apa itu kesehatan rakyat; pemimpin tahu bagaimana menjamin, mengupayakan terwujudnya kesehatan rakyat; juga keselamatan rakyat.

Karena itu, pemerintah menganjurkan, (lebih pas) memerintahkan disertai sanksi bagi yang   melanggar keputusan politik: pemberlakuan social distancing, menjaga jarak di lingkungan sosial, physical distancing dan karantina diri.

Bahkan, banyak negara memberlakukan isolasi penuh atas negara, lockdown (negara yang terinfeksi virus corona mengunci akses masuk dan keluar sebagai pengamanan ketat untuk mencegah penyebaran virus corona.

Semua itu baru bisa terwujud, apabila ada kemauan semua pihak, kesadaran kolektif - karena pandemi  wabah Covid-19 adalah tragedi kolektif - untuk mewujudkan kesehatan dan kemudian keselamatan rakyat. Maka dari itu, keterbukaan hati untuk saling menerima, saling mendukung, dan saling bekerja sama sebagai manusia (homo homini socius) menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.

Mengapa menjadi “syarat mutlak?” Sebab, seperti kata Domitius Ulpianus (170-228) seorang hakim di zaman Romawi, Dura lex sed lex, hukum itu keras tetapi begitulah hukum. Tanpa itu, tragedi yang menyapu Italia, misalnya, bukan tidak mungkin akan menimpa kita juga. Suatu hal yang sangat tidak kita inginkan bersama. Bukankah begitu.

Penulis adalah wartawan senior. Artikel ini sudah ditayangkan di website pribadi penulis, triaskun.id, dan dimuat atas izin penulis. 

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Komisi V DPR: Jika Pemerintah Kewalahan, Bencana Sumatera harus Dinaikkan jadi Bencana Nasional

Sabtu, 06 Desember 2025 | 12:14

Woman Empower Award 2025 Dorong Perempuan Mandiri dan UMKM Berkembang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 12:07

Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi di Akhir Pekan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:58

BNI Dorong Literasi Keuangan dan UMKM Naik Kelas Lewat Partisipasi di NFHE 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:44

DPR: Jika Terbukti Ada Penerbangan Gelap, Bandara IMIP Harus Ditutup!

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:24

Banjir Aceh, Untungnya Masih Ada Harapan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:14

Dana Asing Masuk RI Rp14,08 Triliun di Awal Desember 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:08

Mulai Turun, Intip Harga Emas Antam Hari Ini

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:03

Netflix Beli Studio dan Layanan Streaming Warner Bros 72 Miliar Dolar AS

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:43

Paramount Umumkan Tanggal Rilis Film Live-Action Kura-kura Ninja Terbaru

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:35

Selengkapnya