TIGA pukulan telak diterima ISIS: dua pada tahun 2017 dan satu pada tahun 2018. Pada tahun 2017, ISIS harus kehilangan ibukota de facto-nya, Raqqa di Suriah utara dan kota “bersejarahnya†yakni Mosul, di Irak utara. Pukulan ketiga, pemimpin mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah Ibrahim yakni Abu Bakr al-Baghdadi tewas di tangan tentara AS, 27 Oktober 2019.
Tak pelak lagi, tiga pukulan tersebut telah menghancurkan cita-cita ISIS untuk membangun sebuah kekhalifahan global. Karena daerah kekuasaan mereka pun satu per satu lepas dari genggaman.
Mosul sangat berarti bagi ISIS. Kota yang terletak di Irak barat-laut, berdiri di sebelah barat Sungai Tigris berseberangan dengan kota yang zaman dahulu kala di zaman Assyria disebut Ninive yang ada di sebelah timur Sungai Tigris. Mosul adalah pusat perdagangan di Irak bagian utara, ladang minyak. Di kota ini juga ada pabrik semen, tekstils, gula, dan sejumlah industri lainnya, serta pasar bagi produk-produk pertanian.
Dari Mosul, ada jaringan rel kereta api dan jalan raya yang menghubungkan dengan Baghdad, serta kota-kota Irak lainnya, dan kota-kota yang dekat dengan Suriah dan Turki. Mosul juga memiliki lapangan terbang.
Tentang kekhalifahan global ini diuraikan oleh Dr KH Ma’ruf Amin dalam “Seminar Nasional Fenomena ISIS bagi NKRI dan Islam Rahmatan Lil’alaminâ€, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2014. Ma’ruf Amin, menyatakan, para ulama dan pemimpin Islam banyak yang tidak setuju dengan cita-cita pendirian kekhalifahan Islam secara global. Karena menurut mereka cita-cita tersebut saat ini tidaklah realistis dan juga tidak ada justifikasinya dalam ajaran Islam.
Saat ini umat Islam berada di setiap negara yang berbeda, yang masing-masing negara mempunyai sejarah dan kebijakannya sendiri terkait umat Islam. Bahkan banyak dari para ulama dan pemimpin Islam yang secara sadar melakukan ijtihad untuk memperkuat negaranya masing-masing, seperti umat Islam di Indonesia.
Ketika sedang jaya-jayanya, tahun 2014, ISIS menguasai wilayah di Irak dan Suriah seluas 41.000 mil persegi dan memerintah lebih dari 11 juta orang. Mulai Oktober 2016, ISIS menguasai sembilan dri 14 provinsi di Suriah (A Review of ISIS ini Syria 2016-2019, Regional Differences and an Enduring Legacy The Carter Center Syria Project, March 2019). Sepak terjang ISIS mampu menarik lebih dari 40.000 petarung asing dari 120 negara (termasuk Indonesia). Selain itu juga memobilisasi lebih dari 25.000 orang baik dari Irak maupun Suriah.
Secara ekonomis, pada masa itu, ISIS mampu mencukupi dirinya sendiri dari minyak, pajak, penyelundupan, penjarahan, penculikan, dan pemerasan. Rata-tata setiap bulan pada tahun 2015 penghasilannya, menurut "The Washington Institutefor Near East Policy", mencapai 70 juta dolar AS. Akan tetapi, menurut Mattisan Rowan dalam ISIS After the Caliphate (28 November 2017), sejak November 2017, ISIS berantakan setelah kehilangan 98 persen daerah kekuasaanya.
Lebih dari 60.000 petarungnya tewas dan lebih dari 130 pemimpin diakhiri hidupnya. Dan, pendapatan ISIS juga merosot - menjadi 16 juta dollar AS sebulan pada 2017. ISIS kehilangan dua “harta†terpentingnya: Mosul, kota terbesar kedua di Irak pada bulan Juli dan Raqqa, ibu kota de facto ISI yang terletak di Suriah bagian utara.
Karena itu, ketika pada tahun 2014, ISIS berhasil merebut dan mengusai Mosul-yang kemudian dijadikan pusat kekuasannya dengan Abu Bakr al-Baghdadi yang menyatakan dirinya sebagai Khalifah Ibrahim-oleh Oleh Lina Khatib dalam What the Takeover of Mosul Means for ISIS (2014), disebut sebagai kemenangan moral dan taktis bagi ISIS.
Akan tetapi, waktu itu, Lina Khatib sudah memperingatkan negara-negara Barat dan Arab untuk mengubah kebijakan mereka atas Suriah dan Irak, sebelum bola salju ISIS berubah menjadi teroris internasional. Yang disampaikan Lina Khatib menjadi kenyataan. Dari kota ini, tangan-tangan ISIS menggerayangi Irak dan kemudian Suriah; menebarkan kematian. Tetapi, dari kota ini pula ISIS menarik para petarung dari berbagai negara di dunia ini, termasuk dari Indonesia.
Dengan berhasil merebut Mosul-yang merupakan kemenangan taktis penting-ISIS memiliki akses untuk mendapatkan uang lebih banyak. Menurut berita yang beredar ketika itu, mereka lalu menyerbu bank sentral di kota itu dan menjarah uang negara senilai lebih dari 400 juta dolar AS. Mereka juga berhasil merebut kendaraan lapis baja dan senjata dari tentara Irak. Dan, banyak lagi lainnya yang membuat mereka makin kuat dan percaya diri untuk terus memperluas wilayah kekuasaannya dengan jalan kekerasan. Namun, tahun 2017, kekuatan mereka di Mosul, berakhir sudah.
Sementara Raqqa, di Suriah bagian utara, dikuasai ISIS pada bulan Maret 2013. Meskipun Raqqa, mungkin secara strategis tidak begitu penting bagi ISIS, seperti daerah-daerah lainnya, akan tetapi, direbutnya kembali kota itu oleh milisi dukungan AS, tetap merupakan pukulan bagi ISIS. Sebab, Raqqa adalah simbol bagi ISIS yang telah menjadikan kota itu sebagai ibukota de facto kelompok bersenjata ini. Raqqa menjadi pusat pemerintahan, pengadilan, dan biro-biro resmi ISIS.
Tetapi, kepemimpinan tertinggi tidak di kota ini, dan perumusan strategi dan kebijakan ISIS juga tidak di kota ini. Meski demikian, hilangnya Raqqa dari genggaman tangan kekuasaan mereka tetap dapat dikatakan bahwa "proyek kekhalifahan" ISIS yang dimaklumkan di Mosul pada Juni 2014, menemui titik nadir.
Bagaikan LebahKetiga peristiwa (pukulan) itu yang telah menjadikan para anggota ISIS bagaikan lebah yang dihancurkan sarangnya. Mereka terbang ke segala penjuru; dengan membawa serta sengatnya yang berada di ujung pantatnya. Karena itu, menurut Lina Khatib, ISIS akan mengikuti jejak al-Qaeda setelah digempur habis-habis oleh AS dan pemimpin mereka, Osama bin Laden, dibunuh. Mereka membentuk franchises al-Qaeda, di berbagai tempat, negara dan masing-masing menentukan prioritasnya sendiri-sendiri.
Artinya, narasi melakukan serangan balasan, dalam berbagai bentuk, cara, dan kekuatan, tetap masih tetap hidup.
Apalagi, menurut perkiraan Pentagon, dua wilayah kedua negara itu-Suriah dan Irak-ISIS meski sudah hancur-hancuran masih memiliki kekuatan antara 14.000 hinggga 18.000 anggota, yang 3.000 orang di antaranya adalah petarung asing (The Christian Science Monitor, 28 Oktober 2019), termasuk dari Indonesia.
The International Center for the Study of Radicalisation (ICSR) di King’s College London memperkirakan bahwa 41.480 orang-termasuk 4.761 wanita dan 4.640 anak-anak�"dari 80 negara berafiliasi dengan ISIS. Beberapa tewas karena yakin akan ide-ide mereka. Yang lain berubah pikiran dan berhasil pulang untuk menghadapi keadilan. Orang asing yang bertahan dan bertahan sampai akhir, sampai ISIS berhasil dibabat. Mereka ini adalah pendukung ISIS yang paling bersemangat. Anak-anak di bawah umur dari luar Suiah dan Irak, menurut para peneliti, "memiliki komitmen ideologis dan keterampilan praktis untuk menimbulkan potensi ancaman saat kembali ke negara asal mereka" (The Christian Science Monitor, 26 April 2019).
Dan seperti al-Qaeda sebelumnya, ISIS juga kemungkinan akan meningkatkan pendukungnya di seluruh dunia untuk terlibat dalam serangan oportunistik sebagai cara untuk menegaskan kehadirannya. Ini menjadi semakin mungkin karena ISIS sering menggunakan serangan oportunistik seperti itu sebagai cara untuk mengkompensasi hilangnya wilayah di Irak dan Suriah. Mereka akan tetap menggunakan sosial media untuk terus berkampanye termasuk merekrut para petarung baru.
Peringatan akan tetap adanya ancaman dari ISIS setelah kehancurannya di Suriah dan Irak, pernah disampaikan oleh Direktur Dinas Keamanan Federal (FSB) Rusia Aleksandr Bortnikov (RT, 4 Oktober 2017). Menurut Bortnikov, mereka bergerak ke luar Suriah dan Irak, dan kemudian membangun pijakan di Afganistan. Dari Afganistan mereka meluaskan jangkauan tangannya ke India, China, Iran, dan Asia Tengah. Selain itu juga ke Yaman, Afrika, dan Asia Tenggara.
Ancaman ISIS, menurut Bortnikov tidak hanya pada dunia nyata, melainkan juga online, maya. Selain terus menyebar-luaskan propaganda dan merekrut pengikut-pengikut baru, mereka juga membentu "divisi-divisi cyber" baru, yang dapat digunakan untuk menyerang infrastruktur-infrastruktur penting.
"United States Institute of Peace Woodrow Wilson Center" (Desember 2016/Januari 2017) mengungkapkan, pada bulan November 2016, Baghdadi secara khusus menyerukan kepada "tentara-tentaranya" di luar Irak dan Suriah untuk bergerak dan bertindak di Aljazair, Semenanjung Arabia, Bangladesh, Kaukasus, Mesir, wilayah Khorasan (Afganistan dan Pakistan), Libya, Filipina, Sinai, Somalia, Tunisia, Afrika Barat, Yaman, dan Indonesia.
Seruan aksi tersebut merupakan bagian dari lima proses untuk menguasai wilayah dan membangun negara, kekhalifahan versi mereka. Kelima proses itu, menurut majalah Dabiq (yang pertama kali diterbitkan oleh ISIS pada bulan Juli 2014) antara lain membangun basis-basis gerakan di negara-negara lemah, merekrut anggota-anggota baru, dan menciptakan khaos. Slogan perjuangan mereka, mengutip pidato Baghdadi menanggapi seruan pemimpin al-Qaeda Ayman al-Zawahari agar ISIS meninggalkan Suriah, yakni "baqiya wa tatamaddad", abadi dan meluas.
Hal itu yang oleh Rohan Gunaratna (Januari 2018) disebut sebagai desentralisasi ISIS. Pusat gravitasi mereka beralih dari Irak dan Suriah ke berbagai negara: Libya (Barqa, Fezzan, dan Tripoli), Mesir (Sinai), Yaman, Aljazair (Al-Jazair), Nigeria (Gharb Iriqiyyah), Afganistan/Pakistan (Khorasan), Kaukasus Rusia (Qawqaz), dan Divisi Asia Timur (terutama Filipina).
Dengan langkah itu, ISIS telah mentransformasikan diri dari "entitas yang membangun kekhalifahan menjadi gerakan teroris global". Langkah tersebut dilakukan untuk mengkompensasi kekalahan dan kehilangan territorial mereka di Irak dan Suriah. Karena itu, melakukan langkah perluasan secara global baik secara fisik (wilayah) maupun cyber.
Kiranya diskursus tentang "pemulangan eks ISIS" diletakkan dalam konteks gerakan global mereka, ISIS. Ini sangat penting, daripada nanti kita akan mengalami nasib seperti rakyat Troya dalam mitologi Yunani, yang harus menerima kehancuran karena kecerdikan orang-orang Yunani yang membuat dan meletakkan patung kuda ukuran raksasa dari kayu yang di dalamnya diisi tentara Yunani.
Mereka menanggap bahwa patung kuda itu kosong; menganggap bahwa ISIS sudah mati di Suriah dan Irak. Ternyata, anggapan dan keyakinan itu salah. Ketika kuda dimasukkan ke kota Troya, hancurlah sudah kota itu oleh pasukan Yunani.
Artikel ini dimuat pertama kali di website TriasKun.Id, dimuat atas izin penulis.