NAMANYA begitu panjang, Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Ath Thusiasy-Syafi'i Abu Hamid Al Ghazali. Namun, orang lebih mengenalnya sebagai Al-Ghazali, Imam Al-Ghazali (1058-1111), sebagai seorang teolog, ahli tasawuf, dan filsud.
Salah satu hasil pemikiran al-Ghazali adalah menyangkut soal ambisi orang akan kekuasaan. Menurut al-Ghazali ambisi terhadap kekuasaan itu lebih unggul daripada ambisi terhadap harta, karena meraih harta melalui kekuasaan itu lebih mudah dibandingkan meraih kekuasaan melalui lantaran harta. Itulah sebabnya orang berebut dan bertarung untuk mendapatkan kekuasaan.
Delapan abad kemudian John Emerich Edward Dalberg-Acton yang lebih populer dengan nama Lord Acton (1834-1902) menulis, “…
Power tends to corrups and absolute power corrupts absolutely..â€, orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi.
Dalam rumusan yang pendek, Lord Acton ingin mengatakan, “kekuasaan cenderung korup.†Walaupun “kekuasaan cenderung korupâ€, tetapi kekuasaan selalu diperebutkan. Kekuasaan akan selalu diperebutkan dengan segala macam cara dan jalan, atau bahkan menghalalkan segala cara, menurut istilah Niccolo Machiavelli.
Kekuasaan itu memang memesona dan sekaligus manakutkan. Maka orang bertarung untuk memperebutkan. Setelah menggenggamnya, maka pemegang kekuasaan akan berusaha sekuat tenaga dan daya untuk mempertahankan, dan kalau perlu dan mampu memperluas kekuasaannya itu.
Ilmuwan politik dan sejarawan Amerika kelahiran Jerman Hans Morgenthau (1904-1980) dalam
Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace menulis motif tindakan politik adalah tiga hal dasar: mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan, atau memperlihatkan kekuasaan.
Apa yang dikatakan oleh al-Ghazli, sekarang ini terbukti. Banyak pejabat yang sebelumnya miskin atau sekurang-kurangnya biasa-biasa saja, mendadak kaya raya setelah menjabat. Honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubahkan pula tingkah lakunya.
Hal itu terjadi, karena pemegang kekuasaan dikuasai oleh pemikiran bahwa kekuasaan demi kekuasan. Kekuasaan demi kekuasaan hanya melahirkan paradigma kekuasaan atas manusia lain (dan rakyat). Bahkan, termasuk mengalalkan kekerasan, pemaksaan, pelecehan, dan penyalahgunaan.
Secara umum, kekuasaan dipelajari oleh para ilmuwan Barat sebagai suatu hasil dari interaksi sosial. Misalnya, seperti yang dirumuskan oleh Robert Alan Dahl (1915-2014). Ilmuwan politik ini mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sebuah intitusi untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar melakukan sesuatu secara sukarela sesuai dengan yang dikehendaki; termasuk kepentingan diri.
Sebelumnya sosiolog dan ahli ekonomi politik Prussia (Jerman) Max Weber (1864-1920) yang dikenal dengan tesisnya “Etika Protestan†yang menghubungkan Protestanisme dan Kapitalisme, menyatakan bahwa kekuasaan merupakan kemungkinan pemaksaan seseorang atas perliku orang lain, termasuk para oposan yang berlawanan haluan. Itulah hakikat kekuasaan, yang merupakan hasil interaksi sosial. Dalam pengertian ini, kekuasaan cenderung represif.
Dengan kata lain, kekuasaan menentukan orang lain untuk menurut. Pemikiran tersebut mengisyaratkan bahwa kekuasaan mengandung unsur pemaksaan di mana orang lain harus menuruti. Menjadi penguasa, itu berarti - bila mengikuti pemikiran tersebut - berarti menjadi orang yang bisa memaksakan kehendaknya.
Tentu hal tersebut sangat berbeda dengan paham kekuasaan Jawa tradisional yang mengkonsepsikan kekuasaan dengan sifat-sifat adikodrati dan tidak membutuhkan legitimasi formal rasional. Kekuasaan Jawa bersifat adikodrati dan transendental yang sumber kekuasaannya bukan merupakan hasil dari hubungan antar-manusia, tetapi berasal dari Tuhan, sehingga segala sumber yang mendukung kekuasaan tersebut juga bersifat adiduniawi atau gaib dan spiritual (Isbodroini Suyanto-Gunawan, 2005).
Satu hal yang perlu dicatat adalah menciptakan keselarasan baik dengan alam ataupun manusia merupakan tindakan yang amat penting dari seorang penguasa. Menciptakan keadaan yang harmonis dan selaras, selaras dengan dirinya sendiri, selaras dengan masyarakat dan selaras dengan Tuhan (Niels Mulder, 1973), merupakan keberhasilan dan menciptakan kekuatan spiritual yang dapat mengendalikan hal-hal aduniawi yang tidak tampak tetapi mempunyai kekuatan yang dinamis.
Menciptakan “keadaan yang harmonis dan selaras, selaras dengan dirinya sendiri, selaras dengan masyarakat dan selaras dengan Tuhan†sebenarnya adalah
mission sacre, tugas suci dari kekuasaan. Itulah sesungguhnya mandat sejati dari kekuasaan.
Secara ringkas dapat dikatakan, mandat sejati dari kekuasaan adalah menciptakan kemaslahatan rakyat, kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat,
bonum commune, kesejahteraan umum. Semua itu baru bisa terwujud kalau ada harmoni dan keselarasan.
Tentu, untuk bisa memuwujudkan mandat sejati dari kekuasaan itu, diperlukan kecerdikan memahami arti kekuasaan, bahkan perjuangan menegosiasikan arah kinerja kekuasaan. Dalam konteks politik, maka bisa dikatakan bahwa politik adalah perjuangan untuk membuat kinerja kekuasaan mengarah pada kesejahteraan bersama (Ignatius Suharyo, 2009).
Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, kesejahteraan umum secara inklusif, bukan kepentingan sempit, kepentingan sektarian, golongan sendiri, kelompoknya sendiri, partainya sendiri dan kepentingan kesejahteraan eksklusif adalah
mission sacre kekuasaan. Tetapi, sayangnya, banyak yang lupa misi suci kekuasaan itu; lupa bahwa kekuasaan sebenarnya bukanlah tujuan melainkan sekadar sarana atau alat untuk memanusiakan manusia. Sebab, nilai kekuasaan sejatinya adalah untuk mencapai nilai kemanusiaan.
Artikel ini dimuat pertama kali di website TriasKun.Id, dimuat atas izin penulis.