Berita

Korea Utara seharusnya tidak lagi mendapat sanksi ekonomi dari AS dan sekutunya/Net

Dunia

Korut Di Tengah Terpaan Sanksi Ilegal AS

RABU, 18 SEPTEMBER 2019 | 17:45 WIB | LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN

Komunitas internasional kini sedang gencar menyuarakan penarikan sanksi yang diberlakukan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Republik Rakyat Demokratik Korea (RPDK) atau Korea Utara (Korut).

Sanksi yang diberikan AS maupun PBB adalah ilegal. Karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional.

Jika dilihat dari segi hukum, sanksi yang diberlakukan oleh AS terhadap Korut cukup menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, sanksi tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang tentang Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keamanan Manusia yang disahkan oleh Komisi Hukum Internasional PBB pada 1954.

Dalam Ayat 9 Pasal 2 UU tersebut dijelaskan bahwa tindakan mengambil langkah-langkah politik dan ekonomi yang angkuh untuk mengejar kepentingan tertentu dengan memaksakan niat seseorang pada yang lainnya dianggap sebagai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan manusia.

Selain UU tersebut, sanksi terhadap Korut juga tidak dapat dilegalkan melalui Perjanjian London 1933 dan Resolusi Majelis Umum PBB ke-29 pada 1974. Menurut dua dasar hukum internasional tersebut, sanksi tipe blokade terhadap negara berdaulat di masa damai akan dianggap sebagai tindakan agresif dan ilegal.

Karena itu, sesuai dengan hukum internasional, sanksi dan tekanan terhadap Korut sepenuhnya ilegal dan agresif.

Tidak hanya dari hukum, tokoh politik dan analis politik dunia juga punya pandangan serupa. Sanksi AS terhadap Korut sudah melebihi batas wajar dan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan negara tersebut.

Kepala Lembaga Pertahanan Pusat Kepentingan Nasional dan seorang Profesor senior Hubungan Internasional di Universitas Victoria yang memiliki spesialisasi Korea di AS menyebut AS harus memahami benar pemikiran Korut dan mengurangi sanksi terhadap negara tersebut.

Sementara itu, Duta Besar Luar Biasa dari Kementerian Luar Negeri Rusia untuk masalah Semenanjung Korea mengatakan pemerintah AS belum membuat tanggapan positif terhadap rangkaian langkah positif yang diambil oleh Korut di wilayah Semenanjung. Ia bahkan bersikeras AS harus meringankan sanksi ekonomi terhadap Korut.

Dari pendapat-pendapat ini terlihat bahwa dunia internasional mengakui upaya positif yang dilakukan Korut untuk mengubah situasi di Semenanjung Korea dan sekitarnya menjadi damai dan stabil.

Meski demikian, AS dan sekutunya tidak mengapresiasi hal tersebut. Mereka justru masih melanjutkan sanksi yang telah mencekik ekonomi dan menciptakan kesulitan bagi kehidupan masyarakat Korut. Bahkan dengan sanksi tersebut telah sepenuhnya memblokade Korut dan menghancurkan sistem sosial negara  itu.

Menariknya, alih-alih membalas dengan kekerasan, Korut justru menunjukkan niat baik karena ingin meningkatkan hubungan dengan AS. Korut bersedia membongkar situs uji nuklir di wilayah utara dan memulangkan tahanan perang AS.

Namun, langkah baik Korut justru dibalas dengan "air tuba" oleh AS dan sekutunya. AS malah kembali mengintensifkan sanksi dan tekanan terhadap Korut dengan menyerukan "denuklirisasi terlebih dahulu, pelonggaran sanksi kemudian."

Melihat ketidakadilan ini, komunitas internasional menyerukan agar Korut dan AS mengakhiri hubungan permusuhan dan membangun hubungan baru.

Harapan dunia kemudian terbuka setelah KTT Singapura dan pembicaraan yang digadang-gadang sebagai "jabat tangan yang penting."

Sayangnya, kelanjutan kesepakatan keduanya berada di jalan buntu karena formula "denuklirisasi pertama, pelonggaran sanksi kemudian" yang diterapkan oleh AS.

Ketua Dewan Federasi Rusia, dalam sebuah wawancara setelah kunjungannya ke Korut mengatakan, "Dunia tidak pernah menyaksikan sanksi keras seperti yang dikenakan pada Korut. Yang mengejutkan saya, negara ini maju di tengah cobaan yang begitu keras. Realitas negara membuktikan sekali lagi bahwa sanksi apa pun, tidak dapat membuat rakyat negara ini bertekuk lutut."

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Sekda Jabar akan Tindak Pelaku Pungli di Masjid Raya Al Jabbar

Rabu, 17 April 2024 | 03:41

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

UPDATE

Tidak Balas Dendam, Maroko Sambut Hangat Tim USM Alger di Oujda

Sabtu, 27 April 2024 | 21:50

Move On Pilpres, PDIP Siap Hadapi Pilkada 2024

Sabtu, 27 April 2024 | 21:50

Absen di Acara Halal Bihalal PKS, Pengamat: Sinyal Prabowo Menolak

Sabtu, 27 April 2024 | 21:20

22 Pesawat Tempur dan Drone China Kepung Taiwan Selama Tiga Jam

Sabtu, 27 April 2024 | 21:14

Rusia Kembali Hantam Fasilitas Energi Ukraina

Sabtu, 27 April 2024 | 21:08

TETO Kecam China Usai Ubah Perubahan Rute Penerbangan Sepihak

Sabtu, 27 April 2024 | 20:24

EV Journey Experience Jakarta-Mandalika Melaju Tanpa Hambatan

Sabtu, 27 April 2024 | 20:18

Hubungan PKS dan Prabowo-Gibran, Ini Kata Surya Paloh

Sabtu, 27 April 2024 | 20:18

Gebyar Budaya Bolone Mase Tegal Raya, Wujud Syukur Kemenangan Prabowo-Gibran

Sabtu, 27 April 2024 | 19:28

Menuju Pilkada 2024, Sekjen PDIP Minta Kader Waspadai Pengkhianat

Sabtu, 27 April 2024 | 19:11

Selengkapnya