DI kalangan para pegiat demokrasi dunia, ada satu guyon (joke) yang sangat terkenal. Soal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Seorang warga AS ketika bertemu dengan koleganya dari Rusia, dengan bangga, pamer. Betapa bebasnya demokrasi di negaranya.
Mereka sangat bebas menyatakan dan mengekspresikan pendapatnya. Bahkan bebas menghina Presiden Donald Trump, di depan Gedung Putih pula.
"Coba kalau di Rusia. Pasti hal itu gak mungkin terjadi," ujarnya membanggakan diri.
Dengan santainya si orang Rusia menjawab.
"Ah kami jauh lebih bebas! Siapa saja di Rusia bebas menghina Donald Trump sampai puas. ilakan lakukan dimana saja. Kapan saja! Termasuk depan kantor Putin, Kremlin. Setiap hari, setiap saat. Dijamin Anda gak akan ditangkap," ujarnya sambil tertawa puas.
Begitulah perbedaan negara demokrasi seperti AS, dan negara pseudo demokrasi model Rusia. Sebuah negara seakan-akan demokrasi.
Di AS orang bebas menertawakan dan menghina Trump tanpa takut dikenakan pasal pidana, atau ditangkap polisi.
Tak lama setelah Trump terpilih, di sejumlah kota, warga memajang boneka Trump dalam ukuran besar di tempat umum. Warga yang lewat bebas memukul dan menendang "Trump".
Komedian Roseann O'Donnell, akrab disapa Rosie bahkan sangat sering menjadikan Trump sebagai olok-olok dalam program TV. Salah satunya dalam program pagi TV ABC, The View.
Selain Rosie, sederet pesohor juga terlibat perseteruan dengan Trump. Anna Wintour, Michael Moore, Steph Curry, Chrissy Teigen, Snoop Dogg, Mark Cuban, Meryl Streep, dan penyanyi kondang Madonna, termasuk dalam deretan selebriti yang sering menyerang Trump.
Mereka aman-aman saja. Tidak ditangkap oleh polisi, apalagi dibawa ke pengadilan. Dikenakan pasal penghinaan terhadap Presiden.
Paling banter reaksi Trump menyerang balik mereka, dengan kata-kata yang tak kalah kasarnya. Khas Trump.
"Rosie kurang ajar, kasar, menjengkelkan dan bodoh - selain hal-hal itu, aku sangat menyukainya!" tulisnya melalui akun @realDonaldTrump.
Nasib para pengecam Trump, sangat berbeda dengan para penentang Putin di Rusia. Banyak yang berakhir dengan tragis. Sakit berat, bahkan tewas karena beberapa sebab. Diracun, dibunuh, atau tewas dalam kecelakaan.
Agak sulit menemukan bukti bahwa kematian mereka ada kaitannya dengan Putin. Tapi sulit juga mengabaikan fakta, bahwa sebelum tewas, mereka berseteru dengan Putin.
Pada bulan Februari tahun 2017, penulis Vladimir Kara-Murza tiba-tiba sakit ketika akan menjenguk anaknya di AS. Dia koma selama sepekan. Menurut istrinya dia diracun.
Pada tahun 2009, seorang pengacara bernama Stanislav Markelov tewas ditembak. Orang bertopeng memberondongnya di dekat Kremlin, tak lama setelah dia menulis artikel mengkritik Putin.
Dalam peristiwa itu wartawati Anastasia Baburova ikut tewas ditembak. Dia sedang berjalan bersama Markelov, dan mencoba menolongnya.
Markelov adalah pengacara sejumlah penulis oposisi penentang pemerintah. Salah satu kliennya wartawati Anna Politkovskaya. Penentang Putin yang sangat gigih dan berani.
Politkovkaya tewas ditembak pembunuh bayaran (2006). Dia sedang di lift gedung apartemen tempat tinggalnya.
Bisa Membahayakan WartawanBagaimana dengan Indonesia? Mulai sekarang Anda kudu berhati-hati. Apakah Anda seorang aktivis medsos, atau sekalipun Anda seorang wartawan.
Jangan sampai sekali-kali membuat ujaran, cuitan, atau artikel yang menghina, atau setidaknya digolongkan menghina Presiden Jokowi. Anda bisa dijerat hukum. Dikriminalisasi.
DPR baru saja merampungkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUKUHP) berisi pasal-pasal ancaman terhadap para penghina presiden.
Rancangan Undang-Undang (RUU) itu rencananya akan disahkan akhir bulan ini.
Sejumlah organisasi wartawan, termasuk Komnas HAM mengecam rumusan pasal RUU itu. Dalam penilaian Komnas HAM, menghina Presiden tidak bisa dipidanakan.
Salah satu pasal kontroversial dalam RUU tersebut adalah Pasal 218 ayat 1: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal ini mengingatkan kita pada pasal-pasal karet. Banyak digunakan menjerat lawan politik pemerintah pada masa Orde Baru.
Pasal yang diadopsi dari hukum pidana masa kolonial Belanda itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Terutama kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
Tanpa adanya pasal penghinaan itu saja, selama ini banyak wartawan yang menjadi korban kriminalisasi.
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis.
Umumnya jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kebebasan pers di Indonesia, berdasar catatan Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) sangat buruk. Selama tiga tahun berturut-turut menempati peringkat 124 dari 180 negara.
Kalau benar DPR tetap memaksakan untuk mengesahkan RUKHP, maka demokrasi Indonesia memasuki masa-masa kegelapan.
Sebagai sebuah negara demokrasi, kritik terhadap pemerintah adalah hal yang lumrah. Malah harus dilakukan. Sebagai bagian dari proses kontrol.
Obat pahit yang menyehatkan. Membuat demokrasi tumbuh subur dan kuat.
Fungsi media sebagai pilar keempat, adalah anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Sementara bagi warga negara, kebebasan berpendapat, termasuk kritik kepada pemerintah dan presiden, dijamin oleh konstitusi.
Pak Jokowi tampaknya perlu belajar lebih rileks mengahadapi kritik kepada para pendahulunya. Presiden BJ Habibie, Megawati, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada masa Presiden SBY, ada demonstran yang membawa kerbau dan ditulisi nama Sibuya. Plesetan dari singkatan nama SBY.
SBY paling banter cuma uring-uringan. Curhat ke media. Tidak sampai menggunakan aparat kepolisian untuk menjerat mereka dengan pasal-pasal pidana penghinaan.
Ketika kasusnya sudah menjurus ke fitnah secara pribadi, SBY menempuh jalur hukum. Dia mengadukan kasusnya ke polisi.
Datang sendiri ke kantor polisi. Tidak menyuruh pengacaranya. Apalagi pendukungnya.
Pada kasus penghinaan yang dilakukan oleh politisi Zainal Ma'arif dan pengacara Eggy Sudjana, SBY sebagai pribadi melapor ke polisi.
Kasus Zainal berakhir karena yang bersangkutan minta maaf. Sementara Eggy divonis bersalah. Dia dijatuhi hukuman 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan.
Eggy menyebut SBY, anaknya dan sejumlah pejabat tinggi negara memperoleh gratifikasi mobil Jaguar dari penguasaha Hary Tanoesoedibyo.
Menjadi Presiden di sebuah negara demokrasi, modalnya memang harus punya kuping tebal. Jangan gampang tersinggung, baperan, marah dan menggunakan kekuasaan karena kritik.
Beda kalau menjadi raja yang punya kekuasaan mutlak, absolut.
Tidak perlu lah kita meniru Thailand. Kerajaan dengan sistem parlementer, tapi rajanya disembah seperti dewa!
Di negeri Gajah Putih itu menghina Raja bisa dihukum seumur-umur. Ada yang dihukum sampai 150 tahun, karena dinilai menghina raja melalui akun facebooknya.
Tirulah Thailand dalam keberhasilan meningkatkan ekspor produksi pangan dan buah-buahannya. Bukan sistem hukum yang T-E-R-L-A-L-U melindungi penguasanya.
Toh di Indonesia sistem politiknya presidensiil. Bukan kerajaan.
Kecuali kalau memang ada yang merasa seolah-olah raja?
Hal itu hanya akan terjadi di negara pseudo demokrasi. Seakan-akan demokrasi. Demokrasi seakan-akan.
Penulis adalah pemerhati sosial.