Berita

Samuel F. Silaen/Net

Politik

Samuel Silaen Prihatin Masih Banyak Yang Nyiyir Atas Capaian Jokowi

RABU, 31 JULI 2019 | 15:59 WIB | LAPORAN: RUSLAN TAMBAK

Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang otoriter pada tahun 1998, berbagai perubahan konstitusional telah dilakukan untuk melemahkan kekuasaan cabang-cabang eksekutif. Dengan demikian, membuat sebuah sistem "kediktatoran" baru hampir mustahil.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana) Samuel F. Silaen dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (31/7).

"Sekarang yang terjadi justru 'over' kebebasan hingga kebablasan. Sungguh inilah problem bangsa kini, karena kebebasan itu semua asal 'ngomong' yang justru tidak ada manfaatnya menuju kemajuan bangsa ini," kata Samuel.


Selain tantangan global yang harus dihadapi negeri ini, ada juga tantangan domestik yang tidak kalah serius, harus diurus hingga habiskan energi cukup tinggi.

"Ini problem besar negeri ini. Yakni rongrongan dari dalam bangsa sendiri. Indonesia benar sudah memilih sistem demokrasi yang artinya siapapun punya hak bicara yang sama. Itulah konsekuensi pilihan kita berdemokrasi," ungkap alumni Lemhanas Pemuda I 2009 ini.

Pemerintah dan investor itu tidak menghendaki kegaduhan politik. Sebab, kegaduhan itu bisa merugikan iklim investas di Indonesia. Kegaduhan ini punya dampak yang dapat menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan pelaku bisnis terhadap kondusivitas Indonesia.

"Semuanya seperti menuntut sesuatu itu harus cepat diselesaikan. Jujur saja dimana mereka ketika terjadi pembusukan itu terjadi?" ungkapnya.

Hal ini menurut Samuel karena sebuah kerusakan itu tidak mungkin terjadi dalam satu bulan atau bahkan satu tahun, ibarat penyakit sudah stadium 4, artinya butuh waktu penyembuhan yang tidak singkat.

"Itulah yang sekarang Presiden Joko Widodo sedang kerjakan dengan sunguh-sunguh. Banyak capaian yang sudah terlihat misalnya di bidang infrastruktur," ucap Ketua Umum Generasi Muda Republik Indonesia (Gema-RI) ini.

"Jika jujur maka apa yang mereka lakukan di periode sebelum Presiden Jokowi menjadi pemimpin negeri ini? Karena itu mereka harus bisa menjawab apa yang mereka tanyakan pada masa sekarang ini. Apakah mereka-meraka itu bagian yang ikut menyumbang kerusakan itu! Khususnya kepada elite politik dan kawan-kawan," bebernya menambahkan.

Jelas Samuel, sungguh naif ketika semua pembusukan pada masa lalu itu minta diselesaikan pada masa ini secara cepat. Lanjut dia, kritik yang konstruktif memang sangat dibutuhkan oleh negara ini tapi bukan 'nyinyiran', seperti ada sekarang, sebab masalah yang dihadapi pemerintah sekarang ini bukan yang tiba-tiba ada, namun ini tentu bagian dari peninggalan masa-masa presiden sebelum-sebelumnya.

"Jika mereka-mereka yang nyinyir sekarang ini dimana posisi mereka sebelum Presiden Jokowi? Apakah mereka-mereka yang sekarang bersuara nada sumbang ini turun dari langit hingga mereka baru bersuara mengkritik atau menghantam pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi?" ucapnya.

Apakah karena mereka sekarang tidak bisa dapat atau ikut "cawe-cawe"? Samuel menduga mungkin mereka pada masa lalu ikut menyumbang 'kerusakan' pada negeri ini. Dia menyarankan berkacalah sebelum nyinyir berat.

Ditambahkannya, bangsa ini di masa lalu sepertinya hanya sapi perahan yang memakmurkan segelintir kelompok atau golongan. Inilah yang terjadi di masa lalu. Apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini masih 'on the track' hal ini terlihat dengan jelas atas capaian pemerintah, meskipun belum sempurna.

"Jika kita berandai-andai bila bukan jokowi yang Presiden belum tentu bisa seperti sekarang ini. Yang begitu banyak capaian pembangunan infrastruktur yang merata dari Merauke sampai ke Sabang," jelas mantan aktivis KNPI ini.

"Semua orang berharap agar pemerintah Presiden Jokowi dapat membuat negeri ini maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Stabilitas politik Indonesia itu penting sekali untuk mereka yang berencana berinvestasi di Indonesia atau mereka yang mau menjadi terlibat dalam hubungan bisnis dengan Indonesia," demikian Samuel menutup komentarnya.

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya