Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Tata Kelola Ekonomi Yang Buruk Bermuara Ambruknya APBN 2019

KAMIS, 18 JULI 2019 | 09:45 WIB | OLEH: SALAMUDDIN DAENG

SANGAT sulit bagi pemerintahan Jokowi untuk menyelamatkan APBN 2019. Bukan hanya karena masa transisi pemilu dan pilpres 2019, namun juga kondisi makro ekonomi yang buruk yang akan berujung bangkrutnya Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) yang diprediksi paling lambat kwartal III tahun 2019. Sepanjang kwartal I (pertama) hingga bulan Mei 2019 defisit APBN makin melebar dan membahayakan.

Secara khusus, penyebab utama bangkrutnya APBN 2019 adalah pertama; utang jatuh tempo, bunga utang pemerintah yang besar. Kedua; APBN masih tersandera mensubsidi taipan BLBI, dan APBN tersandera dalam kebijakan subsidi taipan sawit, batubara, bandar listrik, dan importir BBM. Ketiga; APBN tesandera para bandar mega infrastruktur yang semakin adiktif dengan megaproyek baru. Keempat; memburuknya kondisi makro ekonomi Indonesia dan kondisi global yang mengalami pelemahan yang direspon oleh perang dagang USA vs China.

Kondisi APBN Indonesia tampaknya tidak akan selamat melewati kwartal III tahun 2019. Ambruknya APBN bisa lebih cepat dikarenakan situasi internasional, perang dagang dan pelemahan pertumbuhan ekonomi global, penurunan harga komoditas, meningkatnya resiko keuangan global, meningkatnya suku bunga global, yang memburuk lebih cepat dari perkiraan.

Sementara pada saat yang sama kemampuan pemerintah mendapatkan sumber-sumber pembiayaan semakin sulit, baik pendapatan dari bagi hasil SDA, minyak, gas, batubara, sawit yang menurun dan penerimaan utang bilateral serta global bond. Sementara penerimaan perpajakan terus melemah seiring dengan bangkrutnya banyak perusahaan dan pelemahan daya beli masyarakat yang selama ini menjadi penyumbang terbesar dalam struktur penerimaan negara.

Selama satu dekade terakhir Indonesia dihadapkan pada kondisi makro ekonomi yang serba defisit. Indonesia mengalami defisit ganda yakni defisit dalam current acount defisit yang parah dan defisit APBN yang terus membengkak. Defisit ganda selalu diatasi dengan utang. Utang pemerintah dan utang swasta bertambah dengan sangat cepat. Sementara kemampuan pengembalian yang semakin menurun. Pembentukan moda nasional tidak terjadi karena capital Outflow akibat defisit ganda yang sangat besar yang dikontribusikan oleh defisit dalam pendapatan primer dan defisit dalam jasa jasa.

Belakangan neraca transaksi berjalan disumbangkan oleh defisit di dalam neraca perdagangan yang semakin melebar. Ketergantungan pada bahan baku impor, barang konsumsi impor dan pangan impor. Kondisi ini berdampak pada melemahkan kondisi usaha usaha di dalam negeri yang mengakibatkan melemahnya kontribusi mereka terhadap pendapatan negara baik pajak maupun non pajak.

Sementara Capital Outflow yang besar mengakibatkan tidak terjadinya pembentukan modal nasional dan pembengkakan defisit APBN. Pembentukan modal nasional yang lemah membawa akibat terhadap kondisi keuangan nasional, investasi nasional yang berujung pada pendapatan negara yang makin kecil. Sedangkan tumpukan utang akibat defisit APBN menimbulkan beban keuangan utang jatuh tempo yang tidak terbayarkan.

Satu-satunya cara untuk menutup defisit ganda terutama defisit APBN saat ini adalah dengan memgambil utang dalam jumlah yang sangat besar. Jumlah yang dibutuhkan mencapai dua kali lipat dari nilai tambahan utang tahunan pemerintah selama lima tahun terakhir. Sementara kebutuhan tersebut tidak mungkin dapat diperoleh dalam kondisi resiko keuangan global, suku bunga yang sangat tinggi, dan pembersihan uang kotor (dirty money) yang menyebabkan pemilik uang berada dalam posisi mencari selamat atas tuduhan kejahatan keuangan.

Kondisi di atas akan membuat APBN 2019 akan kering kerontang. Sepanjang Kwartal II 2019 cukup memberi indikasi bahwa terjadi kepanikan dalam mengais sumber pembiayaan negara. Kwartal III jika pemerintah tidak segera memahami keadaan maka hanya akan bisa menyaksikan ambruknya APBN 2019 sambil melongo saja. APBN Indonesia ibarat orang yang sudah kere, disandera riba dan dijarah maling.

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Uni Eropa Ancam Balas AS Kalau Terapkan Tarif Baru untuk Baja dan Aluminium

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:31

Guyuran Hujan Tak Halangi Prabowo Sambut Erdogan di Halim

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:26

Pagar Laut Bekasi Akhirnya Dibongkar

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:22

BREN-CUAN Prajogo Rontok Lagi, IHSG Ambruk di 6.531

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:21

Ini Alasan Komisi II DPR Gelar Rapat Tertutup dengan DKPP

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:13

Dilibas AI, Tingkat Pengangguran di Sektor Teknologi AS Melonjak Drastis

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:55

Prabowo Jangan Boros soal Kebijakan Efisiensi Anggaran Sebab Kawannya Setan

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:45

Legislator PDIP Heran Baleg Minta Pemerintah Buru-buru Kirim DIM RUU Minerba

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:41

Prabowocare Ubah Kebiasaan Lama dalam Pengelolaan Keuangan Negara

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:30

Tim U-20 Indonesia Matangkan Game Plan Jelang Hadapi Iran

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:25

Selengkapnya