Berita

Pertemuan Prabowo-Jokowi di MRT/Net

Publika

Seni Memutar Balik Fakta

SENIN, 15 JULI 2019 | 18:24 WIB | OLEH: ZENG WEI JIAN

PERTEMUAN MRT dijadikan polemik. Banyak pihak mengail di air keruh. Polarisasi semakin tajam.

Politisi Rocky Gerung menilai pertemuan itu lebih terlihat seperti barter menyingkirkan pihak ke tiga masuk dalam pemerintahan.

"Gerindra tentu lebih tambun," kata Rocky Gerung.


Entah siapa yang dimaksud "pihak III" itu. Tapi seolah tidak asing. Pak Amien Rais menyatakan seribu persen setuju rekonsiliasi. Tapi jangan bagi-bagi kursi.

Ada yang kecewa tapi diam. Silent majority. Berpikir dengan tenang. Tidak pernah mencaci-maki. Lalu move on karena percaya Pak Prabowo tahu yang terbaik.

Pengamat politik Tony Rosyid membagi dua kelompok; kubu penentang pertemuan MRT dan kubu positif thinking. Menurutnya, kubu penentang dominan di media sosial.

Semasa kampanye Pilkada Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pernah bilang bahwa media sosial bukan indikator realita dunia nyata. Realita dan media sosial adalah dua hal berbeda.

Indonesia bukan Amerika di mana satu orang satu akun. Di sini, satu buzzer pegang 500 akun.

Di media sosial, Ahok dipuja seperti messias. Realitanya, Ahok tidak disukai di dunia nyata.

Peta diskrepansi dan unparallelisme media sosial-dunia nyata belum berubah. Media sosial dikuasai buzzer penghujat. Dikipas mesin partai tertentu. Simpatisannya kasak-kusuk di group whatsapp. Mereka tebar fitnah terhadap ring 1 Pak Prabowo dan Partai Gerindra.

Ramai di media sosial, sepih di dunia nyata. Ada 60 juta pemilih Prabowo-Sandi. Pencaci Pak Prabowo cuma ribuan akun abal-abal. Angka 1 juta pun terlalu kecil dibanding 60 juta pemilih.

Di kubu penghujat, ada kelompok "mentalitas gerombolan" atau "Ikut-ikutan".

Gustave Le Bon, Gabriel Tarde, Sigmund Freud, dan Steve Reicher menjelaskan fenomena psikologi ikut-ikutan itu sebagai subjek "Crowd psychology" atau "Mob psychology".

Orang-orang itu merasa trendy bila ikut-ikutan nangis dan kenceng berseru "kami oposisi", "Ttdak ada poros III", "jangan sia-siakan perjuangan kami" dan sebagainya.

Sayangnya, mereka tidak tahu apa yang mereka omongin. Mereka tidak merasa dimanfaatkan politisi, pengamat, grey writer yang mau eksis dengan semua jargon itu.

Para penghujat Pak Prabowo itu pastinya bukan kader Gerindra dan loyalis tegak lurus. Ngakunya doang relawan. Baru beraktifitas 8 bulan tapi sudah berani mendikte dan merasa lebih tahu dari Pak Prabowo.

Padahal Partai Gerindra adalah pihak yang paling berkepentingan Pak Prabowo jadi presiden. Sudah berjuang 11 tahun. Pak Prabowo dan Gerindra adalah satu entitas.

Semua partai punya interest. Saling intrik. Saling terkam. Menggunting dalam lipatan. Tusuk dari dalam. Tak terkecuali partai-partai ex Koalisi Adil-Makmur.

Oposisi dan koalisi hanya bentuk lain dari perjuangan. Another form of struggle. Apa pun yang dipilih Pak Prabowo, pastinya yang terbaik untuk bangsa dan negara. No doubt.

Kaku dan rigid adalah sikap destruktif. Apa lagi dasarnya karena emosi. Seperti Wahono yang minum air sabun dan gantung diri. Karena marah dan frustasi.

Sikap "pokoknya oposisi" kurang-lebih seperti itu. Ancamannya bila ngga oposisi, Gerindra akan bernasib serupa PBB dan Partai Demokrat. Ditinggal pemilih.

Sayangnya fundamental argumen ini keliru. PBB dan Partai Demokrat melakukam blunder politik di injury time sebelum pemilu.

Lima tahun lagi petanya berubah. Kebencian terhadap Jokowi tidak relevan. Tahun 2024, bursa capres diisi orang-orang baru. Tidak ada lagi petahana. Oposisi menjadi percuma.

Menghadapi lawan yang kuat, pilihan koperatif seperti Sukarno-Hatta saat Jepang masuk adalah opsi paling realistis.

Narasi "Oposisi Harga Mati" sangat mungkin digencarkan pihak yang takut jatah kursinya berkurang. Modus ini disebut my friend Helvi Moraza, Wasekjen DPP Gerindra, dengan istilah "Blocking the system by Contra Issue". Sebuah seni memutar balik fakta.

Ya bagi mereka, rekonsiliasi hanya soal bagi-bagi kursi. Padahal perjuangan Pak Prabowo adalah supaya negeri ini tidak pecah belah.

Drama "tolak rekonsiliasi" akan dilupakan. Masih lebih banyak orang cerdas dan rasional. Life must goes on.

Sisi baik geger-gegeran ini, terbuka topeng-topeng munafik semua orang. Kawan dan lawan. Ada yang bilang Pak Prabowo sebagai "Pacul Tua Tak Berguna". Catatan itu diperhatikan.

Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak).

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kepuasan Publik Terhadap Prabowo Bisa Turun Jika Masalah Diabaikan

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46

Ini Alasan KPK Hentikan Kasus IUP Nikel di Konawe Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17

PLN Terus Berjuang Terangi Desa-desa Aceh yang Masih Gelap

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13

Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Taiwan, Kerusakan Dilaporkan Minim

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45

Bencana Sumatera dan Penghargaan PBB

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27

Agenda Demokrasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02

Komisioner KPU Cukup 7 Orang dan Tidak Perlu Ditambah

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45

Pemilu Myanmar Dimulai, Partai Pro-Junta Diprediksi Menang

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39

WN China Rusuh di Indonesia Gara-gara Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33

IACN Ungkap Dugaan Korupsi Pinjaman Rp75 Miliar Bupati Nias Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05

Selengkapnya