Berita

Sri Yunanto/Humas BNPT

Pertahanan

Waspadai Radikalisasi Via Medsos, Perketat Aturan Penyedia Platform

RABU, 12 JUNI 2019 | 10:32 WIB | LAPORAN:

Media sosial (medsos) dengan berbagai fenomenanya terus menimbulkan kehebohan di masyarakat.

Belum adanya aturan main yang tegas, menjadikan medsos tetap menjadi bola liar yang bergerak bebas dengan berbagai ekses, baik positif maupun negatif.

Medsos pula yang membuat proses pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) menjadi gaduh dengan hoax, adu domba, ujaran kebencian. Terakhir kasus bom bunuh diri di Pos Polisi Kartasura dua hari sebelum hari raya Idul Fitri, di mana pelakunya teradikalisasi secara online.

"Radikalisasi secara online itu sebenarnya bukan fenomena baru. Dulu ada kasus Alam Sutra dan penyerangan gereja di Medan. Itu termasuk self radicalization,” ujar Staf Ahli Menkopolhukam, Sri Yunanto dalam keterangannya di Jakarta.

Selain itu, lanjut Yunanto, dalam banyak diskusi publik dan kejadian terorisme, juga terungkap keberadaan lone wolf (aksi terorisme yang dilakukan sendirian). Tapi, itu juga sulit dibilang lone wolf, karena bisa jadi mereka lebih dulu terkait jaringan JAD atau JAKD, baru kemudian terjadi radikalisasi melalui online.

Menyikapi radikalisasi via online atau medsos ini, Yunanto berpendapat, pemerintah tidak bisa sendirian mengatasinya. Pasalnya, perkembangan media online itu merupakan bagian dari kebebasan media melalui online yang faktanya tidak hanya membawa pengaruh baik sekaligus buruk seperti pornografi, perjudian, dan terorisme.

“Menanggung beban negatif itu pemerintah, sementara penyedia platform enak-enak saja. Seperti di Youtube, kalau tayangannya banyak dapat iklan pasti mereka untung, sementara kalau ada konten tentang radikalisasi ini mereka cuci tangan, baru pemerintah yang take down,” terang pakar Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini.

Ke depan, kata Yunanto, masalah ini harus jadi agenda bersama untuk mengatasinya.

Pertama, bagaimana mengatasi kebebasan medsos, yang kontrolnya di bawah pemerintah dengan tetap bekerjasama dengan provider penyedia platform.

Ia mencontohkan, di Jerman platform yang memuat konten negatif bisa kena denda sampai Rp 6 miliar. Dan itu cukup efektif untuk mengerem keberadaan konten-konten negatif, terutama terorisme.

“Artinya, kalau platform tetap seenaknya dengan tidak melakukan screening, mereka pasti akan bangkrut kena denda.Saya rasa cara itu bisa diterapkan di Indonesia,” tuturnya.

Menurutnya, langkah ini harus menjadi agenda bersama misalnya revisi UU ITE atau dibuat Peraturan Pemerintah.

Yunanto menilai, apa yang telah dilakukan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan melakukan banyak take down atau penutupan situs sifatnya hanya reaktif dan terkesan sering ketinggalan.

"Misalnya, yang di take down 10 website, yang muncul 100 website lagi. Kalau terus begini kita pasti keteter. Baiknya masyarakat berani mengeluarkan ide dan mengajak para politikus untuk membuat terobosan. Soalnya kalau yang melakukan pemerintah, pasti dituduh macam-macam," tuturnya.

Ia menegaskan, bila penyedia platform bersedia melakukan screening terhadap konten-konten mereka, akan lebih mempermudah dalam mewaspadai radikalisasi melalui medsos. Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator harus bisa memperkuat, apalagi sudah ada fatwa MUI soal tata cara bermedsos yang bijak.

“Kalau tiga-tiganya bersinergi Insya Allah bisa kita tekan cyber crime termasuk extre ordinary crime berupa Ideologisasi, radikalisasi, dan berbagai hal negatif di medsos,” pungkas Sri Yunanto.

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Viral Video Mesum Warga Binaan, Kadiv Pemasyarakatan Jateng: Itu Video Lama

Jumat, 19 April 2024 | 21:35

UPDATE

Satgas Judi Online Jangan Hanya Fokus Penegakkan Hukum

Minggu, 28 April 2024 | 08:06

Pekerja Asal Jakarta di Luar Negeri Was-was Kebijakan Penonaktifan NIK

Minggu, 28 April 2024 | 08:01

PSI Yakini Ekonomi Indonesia Stabil di Tengah Keriuhan Pilkada

Minggu, 28 April 2024 | 07:41

Ganjil Genap di Jakarta Tak Berlaku saat Hari Buruh

Minggu, 28 April 2024 | 07:21

Cuaca Jakarta Hari Ini Berawan dan Cerah Cerawan

Minggu, 28 April 2024 | 07:11

UU DKJ Beri Wewenang Bamus Betawi Sertifikasi Kebudayaan

Minggu, 28 April 2024 | 07:05

Latihan Evakuasi Medis Udara

Minggu, 28 April 2024 | 06:56

Akibat Amandemen UUD 1945, Kedaulatan Hanya Milik Parpol

Minggu, 28 April 2024 | 06:26

Pangkoarmada I Kunjungi Prajurit Penjaga Pulau Terluar

Minggu, 28 April 2024 | 05:55

Potret Bangsa Pasca-Amandemen UUD 1945

Minggu, 28 April 2024 | 05:35

Selengkapnya