MANAMA yang menjadi ibukota Bahrain, salah satu negara kaya di Teluk, akan menjadi tuan rumah konferensi tentang ekonomi dan investasi di Palestina, pada 25-26 Juni 2019.
Merujuk pada penjelasan yang diberikan oleh penasehat senior Gedung Putih untuk urusan Timur Tengah: Jared Kushner yang juga menantu Presiden Donald Trump, acara di Bahrain tampaknya akan dijadikan sarana untuk sosialisasi proposal Amerika terkait perdamaian di Timur Tengah yang diberi judul "Transaksi Abad Ini" atau "Deal of the Century".
Melihat dari judulnya, maka konferensi kali ini tampaknya hanya akan membahas aspek ekonomi dari proposal tersebut, sementara aspek politiknya yang lebih sensitif belum diungkapkan ke publik, walaupun secara tidak resmi potongan-potongannya sudah dibocorkan dengan berbagai cara.
Gedung Putih bersama negara-negara Arab sekutunya, akan menggunakan iming-iming ekonomi dan investasi untuk merayu Palestina, yang marah dan mengambil sikap tegas, menolak Amerika sebagai mediator perdamaian antara Palestina dengan Israel.
Sikap keras Palestina ini terjadi, sejak Washington DC mengakui Yerusalem secara keseluruhan sebagai ibukota Israel, yang diikuti dengan pemindahan Kedubesnya dari Tel Aviv. Bagi Palestina Amerika bukanlah mediator yang netral, sehingga diperlukan mediator pengganti yang lebih adil.
Sebenarnya lewat berbagai saluran, dan lobi-lobi yang dilakukan berbagai pihak, untuk merayu para petinggi yang kini berkuasa di Ramallah, sebagai ibukota sementara Palestina telah dilakukan. Karena itu Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang dikenal dengan Abu Mazen, sudah menolak mentah-mentah proposal " Transaksi Abad Ini", karena proposal ini sama sekali tidak menyinggung masalah kemerdekaan Palestina.
Perdana Mentri Palestina Mohammad Shtayyeh juga menyatakan, bahwa pihaknya sama sekali tidak diajak bicara terkait acara yang akan diadakan di ibukota Bahrain ini. Sementara Mentri Pembangunan Sosialnya Ahmed Majdalani yang juga anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan negaranya tidak akan berpartisipasi dan tidak akan mengirim delegasi ke konferensi ini.
Pihak Palestina juga menegaskan bahwa pertemuan yang digagas Amerika ini, tidak akan membicarakan status Yerusalem, masalah perbatasan final Israel-Palestina, dan masalah pengungsi. Disamping ketiga isu tersebut yang dianggap sangat penting bagi pihak Palestina, masalah penghentian pendudukan juga menjadi bagian dari tuntutan mereka.
Karena itu Ramallah menegaskan, jika nantinya ada peserta yang mengatasnamakan Palestina, maka mereka dianggap kolaborator Amerika dan Israel. Ramallah mengingatkan bahwa bangsa Palestina tidak akan menjual kemerdekaannya, meskipun berbagai bentuk tekanan politik telah diberikan oleh negara-negara Arab sekutu Amerika, sebagai bagian dari cara untuk memaksanya.
Dari pemilihan waktu dan tempat, pertemuan ini sarat dengan makna politik. Konferensi di adakan di saat ketegangan politik yang diikuti pengerahan besar-besaran pasukan, antara Amerika vs Iran mencapai puncaknya. Karena itu, pertemuan ini bisa jadi hanya sekedar cover untuk menutupi tujuan sebenarnya, berupa konsolidasi Amerika dengan negara-negara Arab sekutunya, termasuk Israel untuk membicarakan strategi dan taktik untuk menekan, mengisolasi, dan mengepung Iran.
Dan bukan mustahil, termasuk bagaimana menumbangkan regim yang berkuasa di Teheran, kemudian menggantinya dengan regim boneka. Apakah dengan cara mendorong dan membantu oposisi, sebagaimana pernah dilakukan Amerika saat menggulingkan Perdana Mentri Mohammad Mosaddegh pada tahun 1953, melalui operasi intelijen CIA. Atau menggunakan strategi operasi militer dengan perang besar-besaran, sebagaimana dilakukan terhadap Irak, saat menggulingkan rezim Saddam Husein.
Kemungkinan lain, kini Amerika menyadari untuk mendapat dukungan negara-negara Arab, dan dunia internasional dalam konfrontasinya dengan Iran, mustahil untuk mengabaikan masalah Palestina. Karena masalah Palestina merupakan akar dari sebagian besar masalah dan sumber konflik permanen di Timur Tengah.
Apalagi selama ini Iran telah memainkan isu Palestina yang terbukti sangat sukses. Pembelaannya Terhadap perjuangan bangsa Palestina yang tegas tanpa negosiasi atau kompromi, telah menginspirasi dan membangkitkan militansi masyarakat, yang kemudian melahirkan berbagai gerakan perlawanan bersenjata seperti Hisbullah di Lebanon, Hammas dan Jihad Islam di Gaza, Houthi di Yaman, serta banyak lagi yang tumbuh terutama di Irak, Suriah, dan Afghanistan.
Apakah salah satu dari kemungkinan di atas yang menjadi alasan konferensi diadakan di Bahrain, atau malah kedua-duanya. Nanti perjalanan waktu yang akan menjawabnya.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi