PENGHITUNGAN suara yang merupakan masalah teknis yang sederhana, menjadi masalah yang sangat serius dan menjadi masalah besar yang menentukan menang atau kalahnya para kontestan, baik di Pilkada, Pileg, maupun Pilpres di Indonesia.
Padahal di banyak negara, masalah ini bukan masalah, karena itu sehari sesudah Pemilu atau Pilkada, hasilnya sudah diketahui. Sementara di negri ini, memerlukan waktu lebih dari sebulan.
Mengapa?
Tidak enak untuk dikatakan, dan sangat mungkin untuk dibantah oleh mereka yang terlibat dalam politik praktis, dengan berbagai argumen ideal dan teoritis, yang sangat mungkin mereka tidak faham substansinya.
Sebagian besar para politisi kita ternyata mengidap penyakit rabun jauh. Mereka melihat sukses dan tidaknya Pilkada, Pileg, dan Pilpres dengan ukuran kursi yang diraihnya.
Implikasi dari paradigma berfikir seperti ini, mengakibatkan bukan saja tujuan menghalalkan cara, akan tetapi lebih jauh dari itu. Cara-cara yang tidak lazim yang bukan saja tidak terdapat dalam teori ilmu sosial dan ilmu politik, dan tidak pernah terdengar dalam Pilkada atau Pemilu di negara lain, ternyata terjadi di negri ini.
Yang paling kasat mata diantara masalah itu adalah, jika di dalam teori dan dalam praktik di banyak negara demokratis, bila pencoblosan usai berarti pemilu telah usai. Jadi riuhnya upaya untuk memenangkan kontestasi terjadi hanya di saat kampanye. Akan tetapi, di negri ini riuhnya Pemilu justru lebih seru sesudah pencoblosan dilakukan.
Banyak sekali modus pencurian suara yang biasa dilakukan, mulai dari tingkat paling bawah saat penghitungan suara di TPS, sampai bermain dengan oknum KPU dan BAWASLU di semua tingkatan, dengan melibatkan hubungan personal sampai kekuasaan atau uang. Karena itu, jika partai tidak punya saksi yang lengkap, dan manajemen pengawalan suara yang rapi, dipastikan suara dapat menguap atau berpindah alamat.
Bukankah ada Mahkamah Konstitusi (MK), yang siap menerima laporan dan akan memproses mana kala terbukti ada kecurangan?
Masalahnya adalah bagaimana MK akan menangani begitu banyak kasus, dengan personil dan waktu yang terbatas ? Belum lagi persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan, yang semuanya memerlukan biaya tidak kecil. Apalagi tidak ada jaminan di MK imun dari permainan para oknumnya.
Bagi para pengambil kebijakan, memiliki tanggungjawab bagaimana membenahi sistem dan aturan main, khususnya yang terkait dengan Pemilu dan Pilkada, agar celah atau ruang untuk praktik-praktik tidak sehat yang semakin hari semakin parah, segera dipersempit, dan kalau mungkin ditutup sama sekali.
Untuk keperluan itu, ada dua cara yang dapat dilakukan: Pertama, mengevaluasi berbagai aturan main yang selama ini memberikan celah bagi praktik politik tidak sehat, kemudian membenahinya.
Kedua, dengan cara memanfaatkan kemajuan teknologi, khususnya teknologi berbasis komputer dan internet. Kalau di dunia bisnis penggunaan teknologi ini, sudah terbukti memberikan manfaat yang sangat besar, seharusnya di dunia politik juga bisa.
Sementara bagi para cerdik pandai yang berada di perguruan tinggi, dan para ulama serta tokoh agama, memiliki tanggungjawab untuk ikut mendidik dan mencerdaskan masyarakat, setidaknya ikut menjaganya agar mereka tidak ikut larut dan terjerembab dalam kekecewaan dan emosi, yang mendorong pada gerakkan massa yang seringkali tidak kendali, setiap kali menghadapi games lima tahunan berupa Pilkada atau Pemilu.
Jangan biarkan para politisi yang mengidap penyakit rabun jauh, yang jumlahnya semakin lama semakin membesar, leluasa bergerak. Kini bahkan mereka telah mendominasi narasi wacana kontestasi, dengan memanfaatkan loop holes demokrasi dan keluguan serta ketulusan masyarakat banyak.
Di tangan mereka, ritual Pemilu dan Pilkada lima tahunan, yang menelan biaya finansial dan sosial sangat besar, hanya akan melahirkan kemenangan semu. Karena mereka yang menerima mandat, belum tentu yang terbaik, juga belum tentu tulus dan serius, dalam mengabdi bagi nusa dan bangsa.
Kalau diungkapkan begitu banyak kekurangan demokrasi di negri ini, bukan berarti apa yang sudah kita bangun sejak Reformasi tahun 1998, sebagai proses awal demokratisasi di tanah air tidak ada hasilnya.
Akan tetapi, harus diakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, untuk bisa menjadikan demokrasi sebagai instrumen politik, yang mampu memajukan negara dan mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi