MULAI sekarang berhati-hati lah menggunakan kata-kata people power. Barang halal yang dijamin konstitusi ini sekarang sudah menjadi barang haram.
Jika masih ngotot, kita akan kena pasal makar. Melawan pemerintahan yang sah. Dalam agama disebut sebagai bughot. Melakukan pemberontakan. Melawan pemimpin yang sah.
Dua-duanya konsekuensi hukumnya sama. Sangat berat. Sel penjara yang dingin menanti. Kegiatan politik kita akan diberangus.
Para penguasa sudah mewanti-wanti. Jangan sampai melakukan
people power. Ancaman ini tidak main-main. Kapolri Jenderal Tito Karnavian dengan tegas menyatakan akan mengenakan pasal makar terhadap pelaku
people power yang berniat menjatuhkan pemerintah.
Pengacara dan aktivis senior Egi Sudjana adalah korban pertama. Egi Sudjana sudah ditahan polisi. Dia dilaporkan akan berbuat makar.
Dalam terminologi hukum, kata
people power, sudah mengalami kriminalisasi (
criminalization). Sebuah tindakan yang semula bukan bersifat pidana, namun kemudian digolongkan menjadi perbuatan pidana.
Tokoh sekelas Bapak Reformasi seperti Amien Rais bahkan sampai harus mengubahnya menjadi “perlawanan rakyat.†Melihat gelagatnya kita tinggal menunggu waktu, kata ini juga akan kembali dikriminalisasi.
Hegemoni Makna
Berubahnya makna ini sebenarnya berkaitan dengan masalah tafsir. Hegemoni kata, dan kuasa. Tergantung siapa yang menafsirkan, dan dimana posisi kita.
Bila berada pada posisi sebagai penguasa. Kita boleh menafsirkan sesuka hati. Kapan disebut sebagai makar, dan kapan tidak. Kepada siapa tafsir ini kita sematkan, juga boleh pilih sesuka hati.
Kepada lawan penguasa maknanya jelas. Kalau kebetulan posisi kita oposisi, maka tidak ada ampun. Kita akan mendapat stigma sebagai pelaku makar. Sebaliknya kepada kawan, sekutu penguasa, maknanya bisa berbeda. Mereka bisa menggunakan kata itu kapan saja, dan untuk apa saja.
Namanya juga penguasa, dia bebas melakukan apa saja. Tidak boleh protes. Kalau tetap ngotot, kita bisa kembali dikriminalisasi: Makar karena melawan tafsir dan makna kata dari penguasa.
Jejak digital membuktikan, dalam lima tahun terakhir kata
people power, dan “kecurangan pemilu†sudah mengalami perubahan tafsir dan makna yang sangat radikal.
Kalau mau iseng buka-buka kembali rekam jejak digital, kita akan menemukan Jokowi dan timnya sudah menggunakan kata itu pada Pilpres 2014.
Saat itu Jokowi belum menjadi penguasa Indonesia. Dia masih menjadi Gubernur DKI. Maju berpasangan dengan Jusuf Kalla melawan Prabowo-Hatta.
Jokowi membentuk relawan Satgas Pilpres anti curang. Dalam foto terlihat Jokowi bersama sejumlah orang mengenakan ikat kepala. Di belakangnya tertulis People Power 2014. “Jangan main-main dengan rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat!â€
Para pendukung Jokowi dengan lantang menyerukan dilakukan
people power jika sampai ada yang mencurangi pilpres. Sebuah buku dengan judul “Jokowi People Power†diterbitkan.
Mereka semua aman-aman saja. Tidak ada yang melaporkan dan tidak ada yang ditangkap polisi. Para petinggi negara juga tidak mengancam dan menakut-nakuti.
Jokowi juga dikutip memperingatkan dengan tegas agar TNI, Polri dan PNS agar netral. “Pokoknya kalau TNI, Polri, dan PNS tidak netral, ini saya sudah punya relawan-relawan ini nih,†tegasnya.
Deja vu! Sejarah memang selalu berulang. Pada saat itu sesungguhnya peringatan Jokowi tidak terlalu tepat. Namun toh tetap dia lakukan.
Kekhawatiran TNI, Polri, dan PNS bersikap tidak netral, tidak beralasan. Prabowo bukanlah seorang inkumben yang bisa menggerakkan aparat TNI, Polri dan PNS.
Yang menjadi penguasa saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Benar bahwa besannya, Hatta Radjasa berpasangan dengan Prabowo. Namun SBY dan Partai Demokrat memilih posisi netral. Tidak mendukung Prabowo-Hatta.
Berbeda dengan sekarang. Jokowi adalah penguasa. Tudingan kecurangan oleh aparat pemerintah sangat nyata. Jokowi juga mengerahkan semua sumber daya dan anggaran pemerintah untuk memenangkannya. Tudingan itu sangat mudah dibuktikan.
Nah ketika kemudian ada yang berteriak
people power, mengapa kemudian diancam dengan tindakan makar?
People power, adalah ekspresi kebebasan berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat baik secara lisan, maupun tulisan. Semua dijamin konstitusi.
Dalam pengertian protes massa. Pengerahan jutaan massa sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. Terbukti berkali-kali gerakan tidak menimbulkan anarki, maupun chaos.
Selama tidak diprovokasi, semuanya aman-aman saja. Ibarat kata satu helai rumput pun dijaga jangan sampai rebah terinjak. Hal itu sudah terbukti. Puncaknya ketika berlangsung Aksi 212 di lapangan Monas Tahun 2016.
Karena itu sebenarnya tidak perlu ditakuti, ditakut-takuti, didramatisir, atau dibuat seolah akan ada perang besar. Indonesia akan kiamat.
Jadi tidak perlu pengerahan pasukan besar-besaran termasuk di luar daerah. Polisi dan TNI tidak perlu dibekali senjata berat dengan peluru tajam.
Perlengkapan Polri dan TNI yang dibiayai dari pajak rakyat itu seharusnya digunakan tepat guna. Digunakan Polri untuk menumpas kejahatan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Digunakan TNI untuk melindungi kedaulatan negara dari ancaman asing.
Bukan untuk mengancam dan menakut-nakuti rakyat yang menuntut kecurangan pilpres. Menuntut pemilu yang berlangsung secara jujur, bersih dan adil.
Indonesia justru akan hancur ketika keadilan tidak ditegakkan. Ketika seluruh instrumen dan sumber daya negara digunakan secara curang dan tidak sah untuk melanggengkan kekuasaan.
Lagi pula Jenderal Tito sepertinya lupa. Tiga tahun lalu, rakyat yang akan menggelar
people power, melakukan Aksi Bela Islam (ABI), juga sempat ditakut-takuti. Dihadang di berbagai titik, termasuk mereka yang berasal dari luar Jawa. Toh tidak mempan juga.
Mari pak Jokowi kembali buka-buka file lama. Mari kita kembalikan kata
people power kepada makna sesungguhnya. Rakyat Indonesia menggunakan hak konstitusinya. Masyarakat hanya menuntut keadilan. Tidak lebih.
Tidak ada yang ingin memberontak. Melawan pemerintahan yang sah. Tidak usah paranoid lah. Takut dengan bayangan sendiri. Rakyat Indonesia sangat cinta dengan negerinya. Kita ingin damai-damai saja.
Woles aja bro!
Penulis adalah pemerhati ruang publik. Artikel ini dikirim untuk Kantor Berita Politik RMOL.