Berita

Muhammad Najib

Saudi Arabia Semakin Akrab Dengan Amerika dan Israel ?

SELASA, 07 MEI 2019 | 22:01 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

WILAYAH Saudi Arabia dulu dikenal dengan nama Hijaz dan Najd. Dua wilayah ini tidak menarik, karena didominasi oleh padang pasir yang gersang. Karena itu, sebagian besar penduduknya miskin. Wilayah ini berada diantara dua kerajaan besar, maju, dan makmur. Persia di Timur yang kekuasaannya sampai Irak saat ini, dan Romawi di Barat yang kekuasaannya sampai Syam yang meliputi Suriah, Lebanon, Jordania, dan Israel atau Palestina saat ini.

Kedua super power ini tidak tertarik untuk menguasai Hijaz, sehingga ia menjadi semacam wilayah penyangga yang cukup luas dan mengamankan kepentingan diantara keduanya, yang selalu bersaing dan saling mengalahkan secara bergantian.

Kedatangan Islam yang bermula dari Makkah, kemudian mengembangkan pemerintahannya dari Madinah, membuat bangsa Arab yang tidak dihitung menjadi bangsa besar yang disegani. Bangsa Arab mampu mengalahkan dua super power yang menjepitnya. Persia dikalahkan dan wilayahnya sampai Iran saat ini, menjadi bagian dari Khilafah Islamiah.

Sementara Romawi kehilangan wilayah Syam dan Mesir. Dalam perkembangannya,  Gubernur Mesir memperluas wilayahnya sampai mencapai seluruh Afrika Utara, bahkan sempat menyebrang dan berkuasa hampir 8 abad di Iberia, yang kini dikenal dengan Spanyol dan Portugis. Sementara Anatolia oleh bangsa Turki, kemudian dijadikan pijakan untuk menguasai seluruh Eropa Timur dan Eropa Tengah sampai perbatasan Austria.

Renaissance yang melahirkan era industri membuat bangsa Eropa memiliki keunggulan dalam bidang sain dan teknologi. Keunggulan ini bermuara pada keunggulan di bidang transportasi dan persenjataan. Semua ini kemudian mendorong bangsa Eropa untuk menjajah bangsa-bangsa lain termasuk dunia Islam.

Sampai pada awal Perang Dunia Pertama,  hampir semua negara Muslim terjajah. Turki sebagai benteng terakhir, dikalahkan oleh Sekutu yang dipimpin Inggris. Kekalahan Turki Usmani tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan Inggris yang mendorong bangsa Arab untuk memberontak terhadap Istanbul.

Hijaz yang waktu itu di bawah Kesultanan Turki Usmani dengan gubernur Makkah bernama Syarif Husain, bersedia dengan janji akan diangkat menjadi raja bangsa Arab. Seorang intel Inggris bernama Thomas Edward Lawrence yang kemudian dikenal dengan Lawrence of Arabia, memiliki jasa besar terhadap keberhasilan ini.

Janji kepada Syarif Husain tidak pernah ditunaikan, karena secara diam-diam Inggris dan Perancis yang disetujui Rusia, membuat perjanjian yang dikenal dengan Sykes-Picot. Perjanjian ini berisi pembagian wilayah bekas kesultanan Turki Usmani pasca perang. Dimana wilayah Suriah dan Lebanon menjadi hak Perancis, sedangkan Irak dan Yordania dan Palestina menjadi hak Inggris.

Syarif Husain yang kecewa karena merasa tertipu, kemudian diserang oleh Saud yang berkuasa di Najd, dibantu oleh tokoh spiritual bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Syarif Husain yang kalah harus meninggalkan Makkah, kemudian mengungsi dengan perlindungan Inggris, dan menetap dengan wilayah kerajaan yang relatif kecil yang dikenal dengan nama Jordania.

Sementara wilayah Hijaz dan Najd termasuk Makkah dan Madinah dikuasai Saud. Putra Saud yang bernama Abdul Aziz yang mewarisi kekuasaan ayahnya, kemudian menyempurnakan perluasan wilayahnya sampai dengan batas yang dikenal dengan Saudi Arabia saat ini.

Dalam sejarah modern, Saudi Arabia pernah dicatat dengan tinta emas, sebagai pembela bangsa Arab dan Ummat Islam. Pada perang Arab-Israel 1973, yang mengangkat kembali harga diri bangsa Arab.  Raja Saudi Arabia waktu itu Faisal, dikenal sebagai Raja yang Saleh,  idealis, hidup bersahaja, dan pemberani. Karena itu ia sangat dihormati sekaligus disegani oleh para pemimpin bangsa Arab dan dunia Islam secara keseluruhan.

Gagasan Raja Faisal untuk menggunakan  minyak sebagai senjata, ternyata mampu memaksa negara-negara Barat untuk menghentikan dukungan militernya kepada Israel, yang kemudian membuat Israel memutuskan untuk melakukan gencatan senjata. Sementara terkait dengan wilayah sengketa, akan diselesaikan dengan perjanjian damai.

Keputusan berani yang dimotori Saudi Arabia ini, paling tidak memberikan dua keuntungan: Pertama, negara-negara Arab berada dalam posisi kuat dalam perjanjian damai pasca perang. Kedua, harga minyak menjadi naik berlipat ganda, membuat negara-negara anggota OPEC kaya mendadak.

Setelah ditinggal Raja Faisal, walaupun anak-cucu Saud semakin kaya, akan tetapi tidak demikian dengan kondisi Kerajaan. Kedaulatan Saudi sebagai kerajaan juga semakin berkurang, dengan semakin banyaknya pangkalan militer Barat di sana. Para penghuni pangkalan militer ini, seringkali tidak peduli dengan tradisi setempat dan nilai-nilai agama yang dianutnya.  Kini martabat bangsa Saudi juga sedang dipertaruhkan, dengan semakin merapatnya keluarga Istana ke Israel dan Amerika.

Penguasa de facto Muhammad bin Salman (MBS), dikabarkan sangat dekat dengan menantu Presiden Donald Trump yang bernama Jared C. Kushner yang ditugasi oleh Gedung Putih untuk mengurus Timur Tengah. Konon Kushner beragama Yahudi dan sangat pro-Israel. Kedekatan mereka paling tidak telah membuahkan kunjungan MBS ke Tel Aviv, meski dilakukan secara diam-diam, sebagaimana diberitakan sejumlah media terkemuka. Kerajaan Saudi Arabia tidak pernah membantah berita ini.

Lebih dari itu, berkali-kali Kerajaan Saudi Arabia dilecehkan oleh Donald Trump, misalnya dengan mengatakan tanpa Amerika, maka usia Kerajaan warisan Faisal ini akan runtuh dalam dua pekan. Beberapa hari yang lalu, bahkan Trump dengan bangga berbicara di depan pendukungnya, karena berhasil memeras Raja Salman hanya dengan menggunakan telpon. Banyak orang berharap segera ada bantahan atau protes dari Pelindung dua kota suci ummat Islam ini, akan tetapi yang dinanti tidak kunjung datang. Mengapa ? Wallahua'lam.

Penulis adalah pengamat politik Islam dan Demokrasi

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Waspadai Partai Cokelat, PDIP: Biarkan Rakyat Bebas Memilih!

Rabu, 27 November 2024 | 11:18

UPDATE

Sukses Amankan Pilkada, DPR Kasih Nilai Sembilan Buat Kapolri

Jumat, 29 November 2024 | 17:50

Telkom Innovillage 2024 Berhasil Libatkan Ribuan Mahasiswa

Jumat, 29 November 2024 | 17:36

DPR Bakal Panggil Kapolres Semarang Imbas Kasus Penembakan

Jumat, 29 November 2024 | 17:18

Pemerintah Janji Setop Impor Garam Konsumsi Tahun Depan

Jumat, 29 November 2024 | 17:06

Korsel Marah, Pesawat Tiongkok dan Rusia Melipir ke Zona Terlarang

Jumat, 29 November 2024 | 17:01

Polri Gelar Upacara Kenaikan Pangkat, Dedi Prasetyo Naik Bintang Tiga

Jumat, 29 November 2024 | 16:59

Dubes Najib Cicipi Menu Restoran Baru Garuda Indonesia Food di Madrid

Jumat, 29 November 2024 | 16:44

KPU Laksanakan Pencoblosan Susulan di 231 TPS

Jumat, 29 November 2024 | 16:28

Kemenkop Bertekad Perbaiki Ekosistem Koperasi Kredit

Jumat, 29 November 2024 | 16:16

KPK Usut Bau Amis Lelang Pengolahan Karet Kementan

Jumat, 29 November 2024 | 16:05

Selengkapnya