Berita

Nur Hidayati dan Ode Rahman/Walhi

Bisnis

Walhi: Menteri Terlibat Konflik Agraria Harus Diganti!

SENIN, 06 MEI 2019 | 14:55 WIB | LAPORAN:

Presiden Jokowi dalam pembukaan Rapat Terbatas “Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan” pada Jumat (3/5) pekan lalu, memberikan arahan tegas kepada para menterinya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada rakyat dalam kondisi konflik agraria yang terjadi.

Presiden bahkan secara tegas meminta untuk mencabut seluruh konsesi perusahaan swasta atau BUMN apabila pemegang hak konsesi mempersulit upaya percepatan pemulihan hak rakyat dalam konflik yang terjadi.
 
Berdasarkan catatan Walhi, pernyataan presiden tersebut bukan yang pertama kalinya  merespon situasi konflik agraria dan sumber daya alam.


Hal seperti ini telah disampaikan Presiden dalam Janji Politik Nawa Cita Jilid I hingga adanya penerbitan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA).

"Sayangnya, pada Rapat Terbatas pekan lalu, Presiden kembali terjebak dengan memberikan apresiasi kepada Menteri Sofyan yang mencatatkan diri sebagai menteri yang paling gagal dalam mendorong penyelesaian konflik agraria," Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati dalam siaran pers, Senin (6/5).

Hal ini bisa dilihat dari keengganan Kementerian ATR/BPN untuk menerbitkan paket regulasi penyelesaian konflik sebagaimana diamanatkan oleh Perpres Nomor 79/ 2017 tentang RKP 2018 dan Perpres RA.

Lebih buruk, dalam catatan Walhi, Kementerian ATR/BPN juga enggan tunduk pada Putusan MA untuk membuka tranparansi data HGU, sehingga menghambat identifikasi tumpang tindih wilayah kelola rakyat dengan lokasi HGU bermasalah.

Nur mewanti-wanti, jangan sampai pernyataan Prsiden Jumat pekan lalu sekadar mewarnai pemberitaan media belaka, tetapi harus menjadi kebijakan dan tindakan konkrit.

Hingga 2018, WALHI mencatat terdapat 555 konflik/kasus agraria dan sumber daya alam yang dilaporkan kepada KSP.

"Sektor perkebunan dan kehutanan merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan," jelasnya.

Posisi puncak laporan di sektor perkebunan, terang Nur, tidak terlepas dari ketiadaan paket regulasi untuk penyelesaian konflik di sektor ini dan diperparah Kementerian ATR/BPN sebagai regulator dan penerbit izin yang cenderung lebih tertutup dibandingkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Selain tidak tunduk pada dua amanat Perpres, Kementerian yang  dipimpin Sofyan Djalil ini malah memilih melakukan Nota Kesepahaman dengan kepolisian dan kejaksaan guna menangani konflik agraria yang terjadi.

"Pilihan kebijakan ini tidak diambil berdasarkan kondisi faktual yang memperlihatkan sebagian besar konflik agraria menggunakan kekuatan oknum-oknum penegak hukum, khususnya kepolisian guna membungkam perlawanan rakyat untuk mempertahankan tanah, hutan, laut dan sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupannya," tegasnya.
Koordinator Kampanye Walhi, Ode Rahman mengatakan, memperhatikan luasan konflik dan sumber daya alam, Presiden Jokowi sepatutnya turun secara langsung mengakselerasi proses penyelesaian konflik yang berujung pada pemulihan hak rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup.

“Apabila Presiden tidak mau melihat rakyat mengalami kejadian penggusuran seperti yang dialaminya pada masa lalu, maka ia harus memimpin secara langsung perjuangan penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia. Terlebih kondisi ini sudah terjadi dari masa ke masa pemerintahan, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka,” ujarnya.

Walhi juga mendorong pembentukan kelembagaan khusus reforma agraria yang posisinya setingkat kementerian dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Di samping itu juga menerbitkan Peraturan Pemerintah atau paling tidak Peraturan Presiden yang secara teknis mengatur mengenai dorongan evaluasi perizinan industri ekstratif berdasarkan persoalan konflik agraria dan sumber daya alam.

"Para menteri dalam Kabinet Kerja yang terlibat dalam konflik agraria dan sumber daya alam harus diganti," tegas Nur.

Tak hanya itu, presiden harus memerintahkan kepada K/L evaluasi perizinan industri eksraktif secara menyeluruh berdasarkan persoalan konflik agraria dan sumber daya alam.

Perusahaan-perusahaan yang tidak menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam yang berada di areal konsesinya harus diberi sanksi administratif berupa pencabutan izin secara keseluruhan.

Terakhir rekomendasi Walhi untuk Presiden, yakni memerintahkan Polri, KLHK dan kejaksaan untuk menghentikan proses penegakan hukum terhadap rakyat akibat konflik agraria dan sumber daya alam.

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Laksdya Erwin Tinjau Distribusi Bantuan di Aceh Tamiang

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:55

Jembatan Merah Putih

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:40

Kongres Perempuan 1928 Landasan Spirit Menuju Keadilan Gender

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:13

Menko AHY Lepas Bantuan Kemanusiaan Lewat KRI Semarang-594

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:55

Membeli Damai dan Menjual Perang

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:32

Komdigi Gandeng TNI Pulihkan Infrastruktur Komunikasi di Aceh

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:08

Rocky Gerung: Kita Minta Presiden Prabowo Menjadi Leader, Bukan Dealer

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:45

DPRD Minta Pemkot Bogor Komitmen Tingkatkan Mutu Pendidikan

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:27

Kebijakan Mualem Pakai Hati Nurani Banjir Pujian Warganet

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:09

Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD Bikin Pemerintahan Stabil

Selasa, 23 Desember 2025 | 00:54

Selengkapnya