Berita

Muhammad Najib

Afghanistan Menanti Taliban Baru

JUMAT, 03 MEI 2019 | 16:41 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

17 TAHUN lebih Amerika berperang di Afghanistan, akan tetapi Taliban yang menjadi lawannya tidak kunjung menyerah. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Taliban menguasai wilayah lebih banyak dari pemerintah resmi yang dibentuk Amerika. Padahal paling tidak 45 miliar dollar Amerika setiap tahunnya harus digelontorkan oleh Washington untuk membiayai perangnya. Belum lagi korban hilangnya nyawa prajurit, sampai kini terhitung sudah mencapai 2.400. Ditambah dengan mereka yang cacat fisik, sakit mental, dan luka-luka.

Menurut Jenderal Zalmay Khalizad perwira Amerika keturunan Afghanistan, yang kini ditugasi sebagai Ketua Tim Amerika untuk berunding dengan Taliban; Amerika sudah tidak sabar untuk segera angkat kaki meninggalkan tanah Afghanistan.

Sejak akhir tahun lalu, Khalizad dan timnya sudah beberapa kali mengunjungi Doha, untuk bertemu dengan perwakilan Taliban yang berkantor di ibukota Kerajaan Qatar itu. Perundingan yang dimediasi Pemerintah Qatar ini tampaknya alot, disebabkan sikap Taliban yang sangat kaku. Taliban meminta prajurit Amerika meninggalkan Afghanistan tanpa syarat, selain itu Taliban menempatkan pemerintah Afghanistan yang kini dipimpin oleh Ashraf Ghani tidak lebih sebagai pemerintahan boneka buatan Amerika. Karena itu, Taliban menolak untuk melibatkannya dalam perundingan.

Kini delegasi Amerika kembali menemui perwakilan Taliban, tanpa melibatkan perwakilan pemerintah yang dipimpin Presiden Ashraf Ghani. Walaupun tampak keras di permukaan, kesediaan Taliban bertemu dan berbicara dengan delegasi Amerika, harus dipandang sebagai sebuah kemajuan. Mengingat selama ini, kedua belah pihak hanya berbicara dengan senjata.

Ada beberapa hal yang menyebabkan melunaknya sikap Taliban: Pertama, mereka yang menjadi juru runding mewakili Taliban adalah veteran perang yang pernah ditahan di Guantanamo. Mereka dibebaskan sebagai hasil dari tukar-menukar tawanan perang, dengan prajurit Amerika yang berhasil disandra pasukan Taliban.

Menurut Thomas Joscelyn paling tidak dua dari lima tokoh penting Taliban yang dibebaskan dari penjara Guantanamo, sebagai bagian dari harga yang harus dibayar untuk membebaskan Bowe Bergdahl yang disandera Taliban, berkat perjanjian yang ditandatangani pemerintahan Obama pada 2014, tampak berperan besar dalam perundingan yang sedang berlangsung, sebagai bagian dari delegasi resmi mewakili Taliban.  Dua nama tersebut antara lain: Khairullah Khairkhwa,  yang pernah menjadi Gubernur provinsi Herat, dan Mullah Mohammad Fazl, yang menjadi komandan senior Taliban, saat ditangkap tahun 2001.

Kedua, pengalaman mereka melihat dunia luar sebagai bagian dari diplomasi yang dilakukan Taliban untuk mendapatkan dukungan politik, yang memberi kesempatan mereka melihat dari dekat sejumlah negara, seperti Amerika, Rusia, dan Qatar, khususnya Ibukotanya Doha yang gemerlap. Boleh jadi pengalaman perjalanannya telah mengubah cara pandang mereka dalam melihat dunia, dan bagaimana harus mengelola negara saat ini dan ke depan.

Ketiga,  keinginan Amerika untuk segera meninggalkan Afghanistan, dipandang sebagai pintu untuk kembali berkuasa di Kabul. Meskipun demikian, jika Amerika benar-benar angkat kaki, di Kabul masih ada pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani.

Presiden Ashraf Ghani yang tidak berdaya untuk menahan Amerika agar tetap melindungi Kabul, berusaha untuk mendapatkan dukungan dari dalam negeri, melalui pertemuan Loya Jirga (Dewan Agung) yang dihadiri sekitar 3.200 peserta, teridiri dari tokoh agama, politisi, dan kepala-kepala suku yang mewakili 34 provinsi.

Bila pertemuan bilateral Amerika-Taliban berhasil, maka selanjutnya Taliban harus berbicara dengan kelompok Loya Jirga. Dengan demikian, akan terjadi perundingan segi tiga. Meskipun Taliban sampai saat ini masih menolak berbicara dengan Pemerintah Ashraf Ghani, akan tetapi, Taliban tidak bisa mengabaikan tokoh-tokoh agama, kepala suku, dan para politisi yang mengakui dan berpartisipasi dalam pemerintahannya.

Apabila pertemuan segi tiga Amerika-Taliban-Loya Jirga terjadi, maka ada sejumlah tantangan yang akan dihadapinya. Pertama, bagaimana menyikapi milisia asing yang sementara ini membantu atau paling tidak kehadirannya menguntungkan Taliban. Kedua, bagaimana dengan pasukan Taliban dan senjata yang disandangnya, dikaitkan dengan tentara resmi yang kini berada di bawah pemerintah?

Ketiga, negosiasi antara Taliban-Loya Jirga tentu tidak mudah, mengingat kelompok Loya Jirga sementara ini menikmati kekuasaan secara penuh. Tentu masuknya Taliban, akan mengurangi kekuasaan pemerintahan di Kabul yang selama ini mereka nikmati. Untuk itu, kelompok Loya Jirga harus siap berkorban dan mau berbagi.

Taliban yang selama ini memiliki keunggulan, sekaligus ketangguhan saat memanggul senjata, harus bersedia meletakkan senjata. Masalah-masalah negara dan kemasyarakatan yang dihadapi harus diselesaikan secara politis, dengan melibatkan rakyat melalui pemilu atau referendum.

Karena itu perubahan sikap Taliban merupakan suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan. Termasuk di dalamnya adalah sikap nonkompromisnya terhadap perbedaan pendapat. Mereka harus realistis, kompromis, dan mau bernegosiasi. Tidak ada kebenaran tunggal dalam urusan politik dan kekuasaan. Isyarat ini sudah ditunjukkannya saat perwakilannya bersedia bertemu dengan delegasi Amerika di Doha.

Lebih dari itu, harus disadari pula pandangan keagamaannya yang puritan dan konservatif warisan abad pertengahan, sudah harus diperbaharui. Sikapnya yang menempatkan perempuan di halaman belakang rumah, dan hanya memberikan ruang untuk urusan domestik sudah harus ditinggalkan. Di zaman Rasulullah dan Khalifahurrasyidin, wanita diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam urusan publik, termasuk dalam menuntut ilmu, mengurus negara, serta dalam jihad fisabilillah.

Juga pandangannya dalam masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tidak mungkin dihindari untuk mengurus negara di era modern. Taliban harus mau belajar dari rezim Mujahiddin yang digulingkannya, yang diterima oleh mayoritas rakyatnya, juga diterima oleh masyarakat internasional.

Penulis Adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi

Populer

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

Pj Gubernur Jabar Ingin Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji Sempurna

Kamis, 02 Mei 2024 | 03:58

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Telkom Buka Suara Soal Tagihan ‘Telepon Tidur’ Rp9 Triliun Pertahun

Kamis, 25 April 2024 | 21:18

UPDATE

Lanal Banten dan Stakeholder Berjibaku Padamkan Api di Kapal MT. Gebang

Minggu, 05 Mei 2024 | 19:55

Indonesia Tetapkan 5,5 Juta Hektare Kawasan Konservasi untuk Habitat Penyu

Minggu, 05 Mei 2024 | 19:41

Kepercayaan Global Terus Meningkat pada Dunia Pelayaran Indonesia

Minggu, 05 Mei 2024 | 19:27

TNI AU Distribusikan Bantuan Korban Banjir di Sulsel Pakai Helikopter

Minggu, 05 Mei 2024 | 19:05

Taruna Jadi Korban Kekerasan, Alumni Minta Ketua STIP Mundur

Minggu, 05 Mei 2024 | 18:42

Gerindra Minta Jangan Adu Domba Relawan dan TKN

Minggu, 05 Mei 2024 | 18:19

Ketua Alumni Akpol 91 Lepas Purna Bhakti 13 Anggota

Minggu, 05 Mei 2024 | 17:52

Jadi Lokasi Mesum, Satpol PP Bangun Posko Keamanan di RTH Tubagus Angke

Minggu, 05 Mei 2024 | 17:24

Perbenihan Nasional Ikan Nila Diperluas untuk Datangkan Cuan

Minggu, 05 Mei 2024 | 16:59

Komandan KRI Diponegoro-365 Sowan ke Pimpinan AL Cyprus

Minggu, 05 Mei 2024 | 16:52

Selengkapnya