Berita

Effendi Gazali/Net

Publika

Siapa Sesungguhnya Yang Hancurkan Peradaban (Melalui Pemilu Ini)?

JUMAT, 26 APRIL 2019 | 18:12 WIB

SEMULA saya berusaha diam, agar tidak menambah konflik anak bangsa. Apalagi kita berduka cita mendalam, mendengar berpulangnya hampir 300 KPPS (dari 5.672.303  KPPS di 810.329 TPS).

Namun belakangan, muncul beberapa pihak yang mengeluarkan kata-kata bijak, seakan dialah yang paling tergerak cepat mengatasi keadaan. Padahal, jangan-jangan, mereka salah satu biang masalahnya.

Maka saya ajak untuk buka-bukaan. Kapan perlu dalam salah satu sesi terbuka, ilmiah, dan civilized di KPU (asal jangan dengan niat menambah lagi konflik bangsa ini).

Tujuan pengajuan Judicial Review ke MK (awal tahun 2013), adalah menyelamatkan peradaban Indonesia. Sejak awal, kami akademisi sudah mencium gelagat buruk dari sekelompok orang yang akan mendisain agar Pilpres Indonesia hanya akan diikuti oleh dua capres atau bahkan Calon Tunggal!

Bayangkan kami sudah mencium gelagat itu sejak tahun 2013!

Kenapa kami anggap itu akan MERUSAK PERADABAN?

Kalau Anda memahami hancurnya peradaban karena potensi penyalahgunaan media sosial, pasti Anda akan mencegah dengan segala upaya agar tidak terjadi Pilpres dengan hanya dua capres. Apalagi Calon Tunggal!
Lihat apa yang terjadi? Sangat banyak: energi dan waktu KPU, Bawaslu, Polri, serta politisi, terbuang untuk menangani HOAX, ujaran kebencian, dan pencemaran di medsos. Yang terakhir ini, antara kubu "cebong" lawan "kampret"!

Sangat terasa kurang waktu untuk Sosialisasi Pemilu, apalagi SIMULASI!

Kalau simulasinya ilmiah, dengan mempertimbangkan segala kondisi, maka segala kelelahan dan gangguan kesehatan HARUS TERDETEKSI! Masa simulasi berbeda betul dengan kenyataan?

Waktu lima tahun dua bulan dibuang percuma oleh Pembuat Undang Undang untuk menghasilkan Kodifikasi UU Pemilu. Ngototnya hanya untuk Presidential Threshold, sampai voting dini hari!

Sebetulnya sejak 2015, kami sudah mengusulkan manajemen pemilu serentak. Antara lain, 1 Desember 2015 pada  peluncuran buku Mendagri, Tjahjo Kumolo, "Dasar Hukum Pemilu Serentak". Kami usul agar Pemilu Serentak dibagi menjadi dua. Yaitu Pemilu Nasional Serentak (Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah Serentak (Kepala Daerah, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2). Jaraknya 2,5 tahun. Tapi sepertinya usul ini dan usul teman-teman civil society lain hilang di tengah hiruk-pikuk Presidential Threshold!

Apakah SESIMPEL itu masalah kita sekarang, HANYA KARENA Presidential Threshold?? Bukan sesimpel itu, tapi Pemilu serentak hanya salah satu metode untuk membuang Presidential Threshold; agar peradaban bangsa tidak dibiarkan hancur, karena keterbelahan, di depan mulut penghancur peradaban bernama "media sosial".

Niat asli (original intent) Pembentuk UUD kita memang agar bangsa tidak terbelah, walau niat itu dirumuskan jauh sebelum era sisi kelam medsos.

Kalau sudah terbelah begitu dalam, apalagi bawaan luka lama sejak 2014, segala sesuatu dicurigai. Hampir tidak pernah kita bisa duduk bersama, mencari penyelesaian, secara beradab!

DPT tidak pernah diterima dengan baik, KTP elektronik juga belum pernah beres, kertas suara dicurigai tercoblos, setting website dicurigai, aparat dicurigai tidak netral, apalagi Quick Count dan sebagainya; apa-apa saja membelah dan dicurigai!

Tidak cukup lagi peradaban untuk bisa menyelesaikan masalah bersama!

Kami sudah memprediksinya sejak 2013!

Di mana posisi Anda sesungguhnya? Anda jadi bagian yang menjaga peradaban atau yang merusaknya melalui Presidential Threshold? Anda tidak sadar atau Anda sengaja, mengumpankan bangsa yang jadi terbelah, ke depan mulut menganga perusak peradaban bernama 'media sosial'?

*Presidential Threshold: ambang batas pencalonan presiden; harus 20 persen kursi legislatif, hasil Pemilu lima tahun lalu. Syarat begini hanya ada pada Pemilu serentak Indonesia. Gara-gara syarat ini, calon presiden Pemilu 2019 sudah dihitung betul agar tersisa dua pasangan saja.


Effendi Gazali
Pakar Komunikasi Politik

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

UPDATE

Pengukuhan Petugas Haji

Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:04

Chili Siap Jadi Mitra Ekonomi Strategis Indonesia di Amerika Selatan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:02

Basri Baco: Sekolah Gratis Bisa Jadi Kado Indah Heru Budi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:42

Pemprov DKI Tak Ingin Polusi Udara Buruk 2023 Terulang

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:24

Catat, Ganjil Genap di Jakarta Ditiadakan 9-10 Mei

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:22

BMKG Prediksi Juni Puncak Musim Kemarau di Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:27

Patuhi Telegram Kabareskrim, Rio Reifan Tak akan Direhabilitasi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:05

Airlangga dan Menteri Ekonomi Jepang Sepakat Jalankan 3 Proyek Prioritas Transisi Energi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:00

Zaki Tolak Bocorkan soal Koalisi Pilkada Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 01:35

Bertemu Wakil PM Belanda, Airlangga Bicara soal Kerja Sama Giant Sea Wall

Sabtu, 04 Mei 2024 | 01:22

Selengkapnya