Berita

Jokowi dan Prabowo/Net

Publika

Ini Solusi Hiruk Pikuk Survei Dan Quick Count

KAMIS, 18 APRIL 2019 | 13:27 WIB | OLEH: UBEDILAH BADRUN

SETIAP hajatan politik di Indonesia selalu menjadi ujian bagi kredibilitas lembaga survei.

Ada kalanya hasil survei lembaga survei memiliki tingkat presisi yang tinggi dibanding hasil resmi pemilu. Ini artinya ada konsistensi. Tapi ada kalanya hasil survei lembaga survei memiliki tingkat presisi yang rendah dibanding hasil resmi pemilu. Ini artinya tidak konsisten. Ini terjadi di beberapa kali pemilu di Indonesia.Baik Pemilu nasional maupun pemilu kepala daerah.

Fakta itu (rendahnya presisi) membuka ruang kemugkinan analisis bahwa lembaga survei memang berpeluang melakukan kesalahan. Kesalahan fatal itu kemungkinan terjadi pada saat sampling diimplementasikan dilapangan, ada semacam inkonsistensi atau ketidaktaatan pada metodologi sampling yaitu saat mengambil sampel untuk diwawancarai. Berubah teknik dari multistage random sampling atau sistematic random sampling ke insidental sampling atau purposive sampling . Selain itu kesalahan fatal juga dimungkinkan jika berkali-kali menggunakan surveyor yang sama dan didaerah sampel yang sama. Ini membuka ruang kemungkinan hadirnya subyektifitas surveyor di lapangan.

Oleh karena itu, hasil survey bukan kebenaran absolute, ada ruang kemungkinan kesalahan. Demikian pula dengan Quick Count karena juga menggunakan teknik sampling dan mungkin sampel TPS nya sama dengan TPS sampel pada pemilu pemilu sebelumnya, padahal TPS pemilu 2019 sudah berubah, ada penambahan TPS dan perilaku pemilih yang berubah . Semua lembaga survei menggunakan sampel yang sama, rata rata ambil sampel 2000 sampel TPS dari 800.000 lebih TPS di seluruh Indonesia. Jadi teknik sampling ambil 2.000 TPS tidak menunjukan representasi jika teknik samplingnya tidak konsisten. Ruang kemungkinan kesalahan juga terjadi pada saat entri data. Bisa saja data diubah atau terubah karena problem teknologi maupun problem human error.

Pemilu 2019 ini dari dua kubu pasangan Capres-Cawapres 01 dan 02 melakukan survei dan quick count. Kedua kubu mengumumkan dengan hasil berbeda. Kritik tentang peluang kesalahan survei dan kesalahan quick count tentu berlaku untuk tim survei atau tim quick count  dari kedua kubu. Artinya Quick Count dari kubu 01 maupun 02 keduanya berpeluang melakukan kesalahan yang sama.

Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya ada empat yaitu secara metodologis, secara teknologi, secara regulasi dan secara sosiologis.

Pertama, secara metodologis,  quick count kedua kubu harus dibuka datanya kepada publik terkait data proses sampling nya dan data mentahnya.

Kedua, secara teknologi yang digunakan dalam quick count. Kedua kubu harus bersedia di uji ulang teknologi yang digunakan. Menggunakan aplikasi apa dan seperti apa upload data dari TPS dilakukan.

Ketiga,  secara regulasi perlu diatur secara tegas keberadaan lembaga survei ini terutama perlunya aturan larangan pada lembaga survei yang menjadi konsultan dari kontestan pemilu. Bagi lembaga survei yang menjadi konsultan capres-cawapres dan konsultan partai politik harus dilarang mempublikasikan hasil surveinya. Cukup untuk internal partai atau capres cawapres yang menjadikanya konsultan. Tetapi bagi lembaga independen seperti lembaga riset Universitas boleh mempublikasikan hasil survei dan quick countnya.

Keempat secara sosiologis masyarakat juga perlu dididik agar tidak reaktif dan tidak emosional dalam melihat hasil survei maupun hasil quick count. Rasionalitas masyarakat menjadi sangat penting dalam merespon hasil quick count apalagi di era masyarakat digital ( digital society ) saat ini. Apalagi kelak yang mengumumkan hasil quick count adalah lembaga independent. Ini sangat penting diingatkan agar tidak menaikan ketegangan sosial ditengah tengah masyarakat.

Jika empat hal diatas diterapkan, saya meyakini pemilu akan berjalan dengan minim ketegangan dan minim konflik sosial.
Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta

Populer

Pesawat Nepal Jatuh, Hanya Satu Orang yang Selamat

Rabu, 24 Juli 2024 | 15:16

Walikota Semarang dan 3 Lainnya Dikabarkan Berstatus Tersangka

Rabu, 17 Juli 2024 | 13:43

KPK Juga Tetapkan Suami Walikota Semarang dan Ketua Gapensi Tersangka

Rabu, 17 Juli 2024 | 16:57

Walikota Semarang dan Suami Terlibat 3 Kasus Korupsi

Rabu, 17 Juli 2024 | 17:47

KPK Bakal Audit Semua Rumah Sakit Telusuri Dugaan Fraud BPJS Kesehatan

Rabu, 24 Juli 2024 | 18:51

Kantor Rahim di Depok Ternyata Rumah Tinggal, Begini Kondisinya

Rabu, 17 Juli 2024 | 11:05

Duet Airin-Rano Karno Tak Terbendung di Pilkada Banten

Rabu, 17 Juli 2024 | 13:23

UPDATE

Sabotase Kereta Cepat Jelang Pembukaan Olimpiade Paris, PM Prancis: Ini Dilakukan Terencana

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:47

Banyak Hadiah Menarik Pertamina di Booth dalam Event GIIAS 2024

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:37

Kabar Deklarasi Anies-Zaki, Golkar: Hoax!

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:15

Ekonomi Lesu, Laba Industri China Justru Naik 3,6 Persen

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:07

Putri Suku Oburauw Catar Akpol: Saya Busur Panah untuk Adik-adik

Sabtu, 27 Juli 2024 | 16:58

Kuasa Hukum Dini: Hakim Persidangan Greg Tannur Berat Sebelah

Sabtu, 27 Juli 2024 | 16:35

Dimyati Masih Ngarep Golkar dan PDIP Gabung

Sabtu, 27 Juli 2024 | 16:10

Menyusul TNI, Polri Rotasi 6 Kapolda Jelang Pilkada

Sabtu, 27 Juli 2024 | 15:32

Masih Cair, Peluang Jusuf Hamka di Pilkada Jakarta Masih Terbuka

Sabtu, 27 Juli 2024 | 15:31

4 Pangdam Dirotasi Jelang Pilkada, Ajudan Jokowi jadi Pangdam Brawijaya

Sabtu, 27 Juli 2024 | 15:13

Selengkapnya