Berita

Recep Tayyib Erdogan/Net

Dunia

Langkah Erdogan Pasca Pemilu Lokal

MINGGU, 07 APRIL 2019 | 09:57 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

MESKIPUN AKP yang menjadi kendaraan politiknya Erdogan bersama parner koalisinya MHP, masih unggul bila dilihat dari hasil keseluruhan Pemilu lokal di tingkat kota dan provinsi.

Akan tetapi lepasnya dua kota penting: Istanbul dan Ankara ke tangan CHP yang menjadi oposisi utama, menyebabkan secara simbolik maupun psikis, di mata publik baik nasional maupun internasional telah menampar wajah AKP sebagai petahana. 

Tekad untuk melakukan berbagai pembenahan, khususnya terkait dengan krisis ekonomi yang menjadi biang kerok anjloknya perolehan suara AKP dalam Pemilu lokal beberapa hari yang lalu. Akan tetapi, bagi elit AKP yang lebih penting lagi adalah sumber masalah yang menyebabkan ekonomi Turki porak-poranda sejak tahun lalu.

Kecurigaan adanya konspirasi Barat terutama yang didalangi oleh Amerika dan Israel, telah lama muncul di kalangan penguasa Turki. Persoalannya, bagaimana harus dihadapinya ?

Sementara ini terbukti Erdogan kedodoran, khususnya bila merujuk pada krisis ekonomi yang berujung pada lepasnya Ankara dan Istanbul dari tangannya. Karena itu, menarik untuk mencermati bagaimana Erdogan menghadapinya kedepan.

Untuk mengkaji persoalan ini maka ceritanya harus dimulai dari pangkal. Saat negara Israel berdiri tahun 1948, Turki menjadi salah satu negara yang paling awal ikut mengakuinya. Itulah sebabnya, sampai kini Turki memiliki kedutaan di Tel Aviv, dan begitu sebaliknya Israel memiliki kedutaan di Ankara.

Perubahan terjadi saat Erbakan yang memimpin Partai Refah berkuasa pada tahun 1996. Erbakan merupakan guru politik Erdogan, dan Refah merupakan partai dimana Erdogan mengawali karir politiknya.

Kemudian saat AKP yang didirikannya memenangkan pemilu tahun 2002, Erdogan sebagai orang nomor satu di partai berlambang lampu ini melanjutkan semangat sang guru.

Turki yang semula pro-Barat, serta menjalin koalisi erat dengan Amerika dan Israel secara pelan tapi pasti berubah haluan dan mulai menoleh ke Timur. Israel yang semula sebagai kawan berubah menjadi lawan. Pada saat bersamaan, Turki mulai menjauhkan diri dari Amerika yang sering dianggap mengganggunya.

Bagi Erdogan dukungannya terhadap bangsa Palestina merupakan harga yang tidak bisa ditawar. Ia memaksa Pemerintah Israel meminta maaf sekaligus memberi ganti rugi atas insiden kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Erdogan juga pernah mendamprat Presiden Israel Simon Peres di depan umum dalam acara resmi di Davos. Dua peristiwa menyerupai yang mempermalukan dan memojokkan negara Zionis  ini, tidak pernah dilakukan oleh negara Arab manapun.

Sikap tegasnya inilah yang sangat menjengkelkan Israel.

Saat ini bisa dikatakan Israel sangat meremehkan semua negara Arab, termasuk memandang Mesir dengan sebelah mata. Padahal Mesir merupakan negara Arab yang paling besar dan dianggap paling perkasa secara militer.

Berbeda dengan saat negara Zionis ini berhadapan dengan Iran dan Turki. Ia nampak keder sehingga para pemimpinnya selalu merajuk serta berusaha menggunakan tangan induk semangnya Amerika untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berhubungan dengan dua negara Timur Tengah ini.

Secara militer Turki sangat kuat. Ia mampu memproduksi senjata sendiri, baik senjata ringan seperti senapan jinjing dan amunisinya, maupun senjata berat seperti tank dan kapal selam dengan standar NATO.

Turki juga memproduksi sejumlah senjata yang digunakan negara-negara anggota NATO, disamping negaranya dijadikan salah satu pangkalan udaranya.

Saat Amerika mulai menekannya dengan memainkan berbagai kesepakatan yang sudah ditandatanganinya termasuk dalam bidang militer, seperti menunda pengiriman pesawat tempur mutakhir F-35. Di Timur Tengah hanya Israel yang memiliki pesawat jenis ini. Akan tetapi Turki tetap tidak bergeming. Bahkan ia kemudian meresponnya dengan cara lebih merapat ke Rusia

Kini Turki memesan rudal jarak jauh darat ke udara yang sangat ditakuti oleh negara-negara Eropa dan Amerika bernama S-400.

Rudal super canggih terbaru buatan negara beruang merah ini dapat digunakan untuk sasaran bergerak seperti pesawat tempur atau rudal balistik dengan jarak tembak mencapai 400 Km. Ia merupakan seri terakhir dari S-7 atau dikenal juga dengan nama SAM-7 yang terbukti sangat ampuh merontokkan pesawat-pesawat Zionis pada perang Arab-Israel tahun 1973.

Negara-negara Barat khususnya Amerika terus berusaha membatalkan pembelian rudal S-400 ini dengan berbagai cara. Bahkan saat ini sudah sampai pada ultimatum dimana Turki harus memilih pesawat tempur siluman F-35 buatan Amerika atau S-400 buatan Rusia.

Terhadap negara-negara Arab, hubungan politik, ekonomi, dan militer Turki sangat dinamis. Semula Turki bersama koalisi NATOnya baik secara politik maupun militer menentang rezim Basyar Al Assad yang berkuasa di Suriah. Bahkan Turki melibatkan diri secara langsung dalam pertempuran.

Sampai-sampai tentara Turki menembak pesawat tempur Rusia yang dituduh melintas perbatasan negaranya saat melakukan operasi militer di Suriah. Belakangan Turki balik badan dan mendukung rezim yang berkuasa di Suriah bersama Rusia dan Iran.

Perubahan sikap Turki ini sangat mempengaruhi peta politik di Timur Tengah secara keseluruhan. Kampanye anti Iran yang dimotori Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab yang didorong oleh Amerika dan Israel menjadi mandul akibat sikap tegas Turki.

Hal ini semakin nyata, tatkala Turki memberi dukungan politik, bantuan ekonomi, dan _back up_ militer kepada Qatar sebagai negara kecil yang diisolasi dan diintimidasi oleh tetangga-tetangganya di kawasan Teluk, serta sejumlah negara Arab karena sikapnya yang mendukung gerakan-gerakan prodemokrasi dan keengganannya ikut bergabung dalam aliansi anti Iran.

Berkat dukungan ini Qatar tetap tegak menghadapi boikot terutama dari tetangganya.

Pasca pemilu lokal negara pertama yang akan dikunjungi Erdogan adalah Rusia. Hal ini mengindikasikan semakin eratnya hubungan politik dan militer antara dua negara.

Implikasinya, tentu membuat Amerika semakin berang dan membuat  semakin merenggangnya hubungannya Turki dengan negara-negara Barat anggota NATO lainnya.

Demikian juga hubungan Turki-Israel akan semakin keras. Bagaimana akhirnya ? Kita semua akan menjadi bagian dari saksi sejarah.


Pengamat Politik Islam dan Demokrasi


Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Waspadai Partai Cokelat, PDIP: Biarkan Rakyat Bebas Memilih!

Rabu, 27 November 2024 | 11:18

UPDATE

Disdik DKI Segera Cairkan KJP Plus dan KJMU Tahap II

Sabtu, 30 November 2024 | 04:05

Israel dan AS Jauhkan Umat Islam dari Yerusalem

Sabtu, 30 November 2024 | 03:38

Isu Kelompok Rentan Harus Jadi Fokus Legislator Perempuan

Sabtu, 30 November 2024 | 03:18

Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kadin Luncurkan White Paper

Sabtu, 30 November 2024 | 03:04

Pasukan Jangkrik Gerindra Sukses Kuasai Pilkada di Jateng

Sabtu, 30 November 2024 | 02:36

Fraksi PKS Usulkan RUU Boikot Produk Israel

Sabtu, 30 November 2024 | 02:34

Sertijab dan Kenaikan Pangkat

Sabtu, 30 November 2024 | 02:01

Bawaslu Pastikan Tak Ada Kecurangan Perhitungan Suara

Sabtu, 30 November 2024 | 01:48

Anggaran Sekolah Gratis DKI Disiapkan Rp2,3 Triliun

Sabtu, 30 November 2024 | 01:17

Mulyono Bidik 2029 dengan Syarat Jakarta Dikuasai

Sabtu, 30 November 2024 | 01:01

Selengkapnya