MERUJUK pada Haaretz yang merupakan media tertua di Israel, maka hari-hari menjelang Pemilu di Israel yang akan dilaksanakan pada Selasa (9/4/2019) mendatang, dapat digambarkan dengan ungkapan "lanjutkan" atau "ganti".
Benyamin Netanyahu yang akrab dipanggil Bibi sebagai Perdana Menteri petahana dalam sejumlah jejak pendapat, ditempel ketat oleh penantangnya Benny Gantz yang diusung oleh kelompok Central Left yang lebih bersahabat dengan Palestina.
Bibi sebagai Perdana Menteri terlama Israel, hari-hari menjelang pemilu kali ini jauh lebih sulit dibanding saat menghadapi pemilu-pemilu sebelumnya. Sejumlah isu miring terkait skandal di dalam negeri menerpanya. Tudingan penggelapan dan penyuapan telah membuat kepercayaan publik terhadap dirinya merosot drastis.
Mungkin menyadari hal ini, maka untuk menutupi kekurangan ini, maka Bibi memaksimalkan instrumen politik luar negerinya. Upayanya beberapa bulan terakhir ternyata memberikan hasil yang luar biasa, diantaranya: Pengakuan Amerika Serikat terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel yang ditandai dengan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv. Bibi juga berhasil merayu Donald Trump untuk mundur dari kesepakatan Nuklir Amerika dengan Iran, meskipun ditentang oleh negara-negara lain yang ikut menandatanganinya. Terakhir, Trump juga memenuhi keinginan Bibi agar Amerika mendukung keinginan negara Zionis yang dipimpinnya menganeksasi dataran tinggi Golan milik Suriah.
Capaian lainnya adalah kunjungan Perdana Mentri India Narendra Modi ke Israel. Apa yang dilakukan Modi merupakan kunjungan perdana mentri India untuk pertama kalinya ke negara berbendera bintang Daud ini. Apalagi India dikenal sebagai salah satu negara di Asia yang menjadi pendukung Palestina.
Begitu juga kunjungan Presiden Brazil Jair Bolsonaro. Sebagai negara penting dan terbesar di kawasan Amerika Selatan yang secara tradisional menjadi pendukung Palestina, kehadirannya di Israel menjelang pemilu tentu memiliki makna politik yang sangat penting.
Di kawasan Timur Tengah Bibi berhasil mendapatkan teman baru sejumlah negara kaya di kawasan Teluk, seperti Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Oman. Bahkan beberapa bulan lalu sebagai Perdana Menteri Netanyahu telah diterima secara resmi oleh Sultan Qaboos di ibukota Oman, Muscat.
Akan tetapi, di Eropa tampaknya bintang Bibi mulai meredup. Baik dalam masalah nuklir Iran, ibukota Yerusalem, maupun aneksasi Golan, Uni Eropa mengambil posisi berseberangan. Bahkan negara-negara penting di kawasan ini seperti Inggris dan Perancis yang selama ini selalu memihak Israel, kini lebih condong kepada Palestina.
Bibi saat ini juga sulit memainkan kartu militernya yang sebelumnya sering diarahkan ke tetangganya seperti Suriah, Lebanon, dan Gaza. Suriah yang baru saja menuntaskan urusan dalam negerinya dan Presiden Basyar Al Assad berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, baik secara politik maupun militer, tentu dalam keadaan siap untuk meladeni setiap manuver militer Israel.
Begitu juga Hisbullah di Lebanon, kini secara politik sangat kuat karena berada dalam jajaran pemerintahan. Begitu juga secara militer jauh lebih kuat dari sebelumnya, setelah bertahun-tahun bersama tentara Iran dan Rusia ikut berperang di Suriah membantu Presiden Assad.
Kegamangan juga dialami Bibi menyikapi perlawanan dari Gaza. Meskipun Netanyahu sudah menginspeksi pasukannya yang kini sudah berada di sepanjang perbatasannya dengan Gaza, dan dalam kondisi siap menerjang. Akan tetapi perintah untuk bergerak tidak kunjung diberikan. Keraguan yang dialaminya tidak bisa dipisahkan dari meningkatnya kemampuan Hamas dalam mengirimkan roket-roketnya yang kini sudah bisa menjangkau Tel Aviv.
Dalam kondisi seperti ini, kesalahan kalkulasi bisa berdampak politik yang fatal yang tentu akan berpengaruh langsung dalam pemilu yang kini dalam hitungan hari.
Sebenarnya Benny Gantz yang menjadi lawan Netanyahu saat ini bukanlah lawan yang berat, mengingat minimnya pengalaman politik yang dimilikinya. Meskipun ia seorang Jenderal Purnawiran yang pernah menduduki jabatan penting di Israel Defense Forces(IDF), akan tetapi di kancah politik ia hanyalah pendatang baru. Begitu juga partai yang menjadi kendaraan politiknya Hosen L'Yisrael atau Israel Resilience Party baru berdiri pada Desember tahun lalu. Karena itu, dapat dikatakan sebagai petahana Netanyahu bertarung melawan dirinya sendiri. Atau bisa juga dikatakan pemilu kali ini menyerupai referendum yang mengevaluasi kepemimpinan Netanyahu selama ini serta bagaimana bangsa Israel menatap masa depannya.
Hal-hal inilah yang menyebabkan berbagai kemungkinan bisa terjadi dalam Pemilu yang akan menentukan, apakah Netanyahu akan memperpanjang rekornya sebagai Perdana Menteri Israel terlama, atau berakhir karir politiknya sampai di sini ?
Di hari-hari menjelang pencoblosan, persaingan antara kedua calon perdana menteri ini semakin ketat. Harian The New Yorks Times yang terbit di New York mengunggulkan Gantz, sementara Yediot Ashronot harian yang terbit di Tel Aviv mengolok-olok Netanyahu dalam bentuk karikatur. Mungkinkah situasi ini yang mendorong Bibi mempersiapkan jurus terakhirnya sehingga harus terbang mendadak ke Moscow untuk menemui Putin?
Wallahua'lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.