UNTUK menggambarkan praktik standar ganda atau double standard negara-negara Barat terutama Amerika di Timur Tengah, dapat dirasakan dari ungkapan mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad.
"Jika baik kenapa kami tidak boleh memiliki, akan tetapi jika buruk mengapa mereka memilikinya?â€
Ungkapan sederhana penuh makna ini, berangkat dari pengalaman Iran dalam mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan non militer.
Sebagaimana sifat semua jenis teknologi, pada umumnya ibarat pisau bermata dua, selalu memiliki sifat positif dan negatifnya sekaligus. Untuk menjamin nuklir yang dimilikinya digunakan untuk tujuan sipil, Iran bersedia menjadi anggota Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency) disingkat IAEA. yang bermarkas di Wina, Austria.
Konsekwensinya, negara ini bukan saja harus menandatangani sejumlah aturan, akan tetapi juga diawasi secara ketat baik oleh pemeriksaan reguler maupun kamera yang ditempatkan di berbagai posisi di instalasi nuklirnya yang dapat memantau seluruh kegiatan selama 24 jam.
Meskipun demikian, Iran terus mendapat tekanan politik, ekonomi, maupun militer, karena dianggap membahayakan negara lain. Sementara Israel yang sudah memiliki instalasi nuklir lebih lama dan lebih maju, bahkan diakui sudah memiliki senjata nuklir, meskipun menolak menjadi anggota IAEA sehingga tidak perlu menandatangani sejumlah komitmen, juga tidak bisa diawasi, tidak pernah dipersoalkan.
Amerika sendiri merupakan salah satu biangnya senjata nuklir, baik dalam jumlah maupun daya ledaknya. Dalam hal daya ledak, setiap bom nuklir yang disimpan saat ini memiki kekuatan ratusan bahkan ribuan kali lebih dahsyat, dibanding bom atom yang pernah dijatuhkannya di Hiroshima dan Nagasaki.
Meskipun ada traktat non proliferasi senjata nuklir, akan tetapi banyak negara terutama negara-negara besar enggan melaksanakan secara sungguh-sungguh. Akibatnya, proses perlucutan dan pusnahannya tertunda-tunda. Lebih aneh lagi, prinsip pemusnahan diantara negara-negara nuklir dilakukan secara sukarela, dirundingkan diantara mereka, dan tidak ada sistem yang memaksa atau tanpa sangsi.
Padahal stok senjata nuklir yang disimpan di perut bumi, dapat menghancur-leburkan dunia dan memusnahkan seluruh isinya berkali-kali. Diantara negara-negara yang menyimpannya antara lain: Rusia (sebanyak 6,800 hulu ledak), AS (6.550), Perancis (300), China (270), Inggros (215), India (130), Pakistan (130), Israel (80), dan Korea Utara (20). Data-data ini masih merupakan perkiraan kasar, mengingat seluruh negara yang memilikinya tidak ada yang transparan dalam masalah ini dan cendrung menyembunyikannya.
Masalah lain terkait standar ganda yang sering dikeluhkan adalah praktik demokrasi. Harus diakui bahwa demokrasi adalah salah satu sumbangan Barat sangat penting dalam membangun peradaban dunia, khususnya dalam pengelolaan negara. Meskipun masih banyak kekurangannya, harus diakui bahwa ia merupakan sistem yang terbaik dari yang ada saat ini. Demokrasi tidak hanya dinikmati oleh negara-negara Barat, akan tetapi sejumlah negara Asia seperti Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan juga sudah merasakannya.
Walaupun secara retoris negara-negara Barat menawarkan demokrasi, dan memberikan berbagai bentuk dukungan, bahkan insentif bagi negara-negara yang mengimplementasikannya, akan tetapi dalam praktiknya di Timur Tengah berbeda. Negara-negara otoriter bahkan represif, bila menguntungkan Barat baik secara politik, ekonomi, maupun militer tetap akan mendapat dukungan.
Sementara yang kurang menguntungkan, apalagi merugikan, akan mendapatkan disinsentif atau hukuman. Yang paling menderita dalam masalah ini adalah Lebanon dan Palestina, meskipun kedua negara ini telah mengimplementasikan demokrasi secara serius.
Sumbangan lain Barat terhadap peradaban dunia modern yang juga sangat penting adalah apa yang dikenal dengan Hak Asas Manusia atau HAM. HAM yang memberikan perlindungan atas hak-hak paling mendasar ummat manusia, seperti hak atas nyawa, properti, dan keamanan untuk menjalankan kehidupan di dunia ini, termasuk dalam memeluk agama serta dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan para pemeluknya.
Sayangnya, masalah ini banyak terabaikan dalam praktiknya di Timur Tengah. Negara-negara Barat bukan hanya tutup mata atas berbagai bentuk pelanggaran HAM di wilayah ini, lebih dari itu lembaga-lembaga HAM yang didirikannya seakan ompong bila terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Israel, atau bila korbannya rakyat Palestina.
Karena itu, berharap terlalu banyak dengan negara-negara Barat, bukanlah cara yang benar dalam membangun masa depan bangsa. Melakukan pembenahan terhadap diri sendiri, termasuk bagaimana menghargai nilai dan budaya sendiri, tampaknya satu-satunya alternatif yang tidak bisa dikompromikan. Tentu saja dengan tetap rendah hati untuk menerima dan mau belajar dari berbagai kebaikan yang datangnya dari luar.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi