LIGA Arab akan mengambil sikap terkait Keputusan Presiden Amerika Donald Trump yang mendukung keinginan Israel untuk menganeksasi dataran tinggi Golan milik Suriah, melalui KTT Liga Arab yang akan dilaksanakan di Tunis, Tunisia, pada Ahad (31/3/2019).
Meskipun seluruh anggotanya yang berjumlah 22 negara Arab diperkirakan dan berkepentingan untuk hadir, akan tetapi sebagian besar pengamat Timur Tengah merasa skeptis pertemuan ini akan menghasilkan keputusan atau sikap yang akan mempengaruhi atau mengubah keadaan.
Ada sejumlah alasan yang menyebabkan skeptifisme terhadap organisasi yang memayungi seluruh bangsa Arab ini.
Pertama, KTT diadakan untuk membahas banyak masalah, seperti situasi di Yaman, Libia, dan kondisi dalam negeri Suriah. Jadi masalah Golan bukan satu-satu isu, bahkan untuk sejumlah peserta masalah dataran tinggi Golan boleh jadi bukan isu utama. Apalagi Aljazair dan Sudan saat ini menghadapi tuntutan demokratisasi dari rakyatnya sendiri yang bermuara pada tuntutan pergantian rezim.
Kedua, bagi Saudi Arabia dan UEA mungkin termasuk Oman, masalah membangun poros Anti Iran lebih penting daripada masalah Golan. Apalagi untuk membangun poros ini memerlukan dukungan Amerika. Sementara bila mengangkat masalah Golan terlalu tinggi bisa diartikan sebagai mendukung Suriah, yang implikasinya justru memperkuat Iran yang menjadi penopang utama rezim yang berkuasa di Suriah saat ini.
Ketiga, dalam sejarahnya Liga Arab tidak pernah berhasil menyatukan sikap secara bulat. Satu-satunya prestasi politik dan/atau ekonomi yang berdampak besar dan memberikan keuntungan anggotanya yang dinikmatinya sampai sekarang adalah embargo minyak atau dikenal juga sebagai minyak sebagai senjata. Peristiwa ini terjadi mengiringi perang Arab-Israel tahun 1973 yang bertujuan untuk menekan negara-negara pendukung Israel. Akibatnya, negara-negara industri di Eropa dan Amerika mengalami krisis minyak yang berujung pada krisis ekonomi. Lebih jauh lagi harga minyak meningkat berlipat-lipat dalam rentang waktu yang sangat cepat dan sulit diturunkan kembali sampai sekarang.
Keempat, persoalan kesukuan yang juga dikenal dengan sebutan
kabilah atau
kabail yang mendominasi berbagai keputusan politik bangsa Arab menyebabkannya sulit sekali bersatu dalam menghadapi persoalan bersama. Lebih dari itu, bangsa ini mudah sekali dipecah belah. Hanya dengan Islam di era Nabi Muhammad dan penerusnya Khalifahurasyidin persatuan dalam arti sebenarnya terjadi, dan sesudahnya tak pernah bisa terjadi lagi. Bahkan belakangan kabilah-kabilah terpecah lagi menjadi kelompok keluarga yang dikenal dengan istilah clan, seperti bani Umaiyah, bani Abbasiyah, dan bani Saud yang saat ini berkuasa di Saudi Arabia.
Kelima, Israel adalah bangsa yang hanya mengenal logika kekuatan. Karena itu, jika bangsa Arab hanya berhenti sampai pada penggunaan kekuatan logika, apalagi hanya berhenti pada pernyataan politik yang tidak diikuti dengan tindakan nyata, maka yang akan terjadi bak pepatah "anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Sampai kapan bangsa besar yang pernah mengibarkan panji-panji Islam yang sangat dikagumi masyarakat dunia karena prestasinya terhadap peradaban, sumbangannya terhadap kemajuan sain dan teknologi ini, terus terombang-ambing dan asyik bertikai sendiri, sehingga begitu mudah dipermainkan oleh Israel yang sangat kecil, baik dalam arti jumlah penduduk maupun luas wilayahnya?
Wallahua'lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.