AMERIKA Serikat merupakan salah satu model negara demokrasi modern yang sukses, baik secara ekonomi, politik, militer, maupun dalam bidang sain dan teknologi.
Itulah yang menyebabkan semua negara demokrasi atau yang baru menerapkan demokrasi secara sungguh-sungguh, menjadikan negara paman Sam ini menjadi model utamanya.
Meskipun demikian, bukan berarti demokrasi ala Amerika tanpa cela. Banyak sekali kekurangan demokrasi di Amerika bila kita bermaksud merincinya. Salah satunya adalah lembaga lobi yang secara legal dan formal bertujuan pada UU yang diberi nama
The Federal Regulation of Lobbying Act yang dikeluarkan tahun 1946. UU ini diubah menjadi Lobbying Disclosure Act pada tahun 1995. Terkait dengan kepentingan asing atau negara lain, diatur melalui UU
Foreign Agents Registration Act disingkat FARA yang dibuat tahun 1938.
Jika disederhanakan, maka urusan lobi-melobi di Amerika, baik untuk kepentingan politik maupun bisnis adalah halal, sepanjang dilakukan secara resmi dan transparan, termasuk untuk kepentingan asing atau negara lain.
Hal inilah yang menyebabkan munculnya banyak kantor atau konsultan yang menawarkan jasa lobi di Amerika, baik tarkait eksekutif maupun legislatif. Kantor lobi disana serupa dengan advokat atau konsultan politik berbasis
servey di Indonesia.
Salah satu lembaga lobi yang sangat berpengaruh, disegani, bahkan ditakuti bernama American Israel Public Affairs Committee disingkat AIPAC. Lembaga lobi ini bekerja untuk kepentingan Israel. Sebenarnya sejumlah negara Arab juga sudah melakukan hal serupa, akan tetapi belum sekuat AIPAC.
Dikatakan sangat berpengaruh, karena setiap keinginan Israel yang di perjuangan AIPAC, hampir pasti dipenuhi oleh eksektuf maupun legislatif Amerika.
Sementara dikatakan ditakuti, karena para pejabat baik eksekutif maupun legislatif Amerika tidak berani bersebrangan atau menolak keinginan AIPAC, meskipun merugikan rakyat dan negara Amerika sendiri.
Lebih dari itu, setiap calon presiden atau calon wakil presiden Amerika selalu berlomba meminta restu dan dukungan AIPAC. Karena itu ada semacam mitos di kalangan politisi Amerika, mereka yang disukai AIPAC akan cemerlang karir politiknya, sebaliknya mereka yang tidak disukai akan suram masa depannya.
Salah satu contoh, bagaimana perkasanya AIPAC dalah bagaimana Israel menjadi anak emas Amerika, meskipun biayanya sangat tinggi. Israel sampai saat ini menjadi negara penerima paket bantuan ekonomi tahunan terbesar. Akhir tahun lalu bahkan Israel menerima paket bantuan tambahan, berupa bantuan militer sebesar 38 miliar dolar AS atau Rp 572 triliun dengan alasan untuk menghadapi ancaman Iran dan sekutunya.
Sementara itu, pada saat bersamaan Amerika memangkas bantuan ekonominya untuk Palestina sebesar 200 juta dolar AS, dan menghentikan sama sekali bantuannya terkait dengan UNRWA yang beroperasi di wilayah pendudukan sesuai permintaan Israel.
Saat ini AIPAC menyelenggarakan konferensi tahunan di Washington DC selama tiga hari (24-26/Maret), untuk mengevaluasi kebijakan AS selama satu tahun. Konferensi ini dihadiri oleh sekitar 15 ribu komunitas Yahudi Amerika. PM Israel Benjamin Netanyahu yang akrab dipanggil Bibi dijadwalkan akan memberikan pidato pada hari ke-3.
Bagi Bibi panggung konferensi tahunan AIPAC sangat penting, sehingga selama ini ia selalu menghadirinya. Konferensi kali ini menjadi lebih penting lagi, mengingat Pemilu di Israel yang akan menentukan Perdana Menteri baru, kini kurang 13 hari lagi.
Meskipun sudah berada di Washington DC, Bibi membatalkan rencananya untuk menghadiri acara AIPAC secara mendadak, karena harus kembali ke Israel setelah diberitahu bahwa Tel Aviv mendapat serangan rocket dari Gaza.
Meskipun masih tetap berpengaruh, pamor AIPAC kini mulai digerogoti, baik oleh LSM-LSM setempat yang bergerak berdasarkan kepeduliannya pada HAM, maupun para politisi yang akan bertarung pada Pemilu Amerika berikutnya.
Oleh para pejuang HAM, Israel dinilai telah melakukan pelanggaran prinsip-prinsip HAM berulangkali di daerah pendudukan Palestina. Bahkan ada yang menilai, negara berlambang Bintang Daud ini telah melakukan praktik
apartheid terhadap penduduk berets Arab.
Sementara para politisi yang mengkritisinya, pada umumnya berasal dari Partai Demokrat, bukan saja mereka yang menyiapkan diri untuk masuk parlemen, akan tetapi juga termasuk calon presiden. Fenomena baru ini tentu memiliki resiko bagi pelakunya, khususnya bagi mereka yang meniti karir di dunia politik.
Sampai kapan Amerika diperas dan didikte Israel melalui AIPAC?
Wallahua'lam, karena sampai saat ini belum nampak bagaimana mereka harus melepas jeratan yang membelitnya.
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi