ISRAEL akan menggelar Pemilihan Umum pada 9 April 2019 mendatang, berarti hanya sekitar dua minggu lagi.
Biasanya setiap menjelang Pemilu di negara Zionis ini, selalu terjadi peristiwa kekerasan yang berskala nasional, regional, bahkan internasional. Mengapa ?
Sejak berdirinya tahun 1948, negara berlambang Bintang David ini selalu merasa terancam. Wilayahnya yang kecil, dengan penduduk sedikit, dan berada atau dikelilingi oleh negara-negara Arab dengan luas wilayah jauh lebih besar, dengan jumlah penduduk puluhan kali lipat, ditambah proses pembentukannya yang diwarnai dengan kekerasan yang berdarah-darah. Maka sangat wajar jika mereka merasa tidak aman, terancam, dan terkepung.
Untuk mengatasinya, para pemimpin negri ini melakukan sejumlah hal, di antaranya:
Pertama, membangun dinding pembatas yang tinggi terhadap negara tetangganya, ditambah kawat berduri yang dilengkapi dengan menara pengawas pada setiap jarak tertentu, kemudian ditambah dengan kamera-kamera yang berfungsi memantau gerak-gerik kehidupan masyarakat di seberang.
Kedua, membangun aliansi atau persekutuan berbagai bentuk kegiatan dengan negara-negara Barat, khususnya Inggris dan Amerika yang menjadi sponsor utama kehadiran nya di Timur Tengah, mulai politik, ekonomi, militer, kemanusiaan, sampai olah raga serta kebudayaan.
Ketiga, memberlakukan wajib militer bagi semua penduduknya, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian, secara reguler paling tidak setahun sekali, warganya dipanggil untuk melakukan penyegaran dalam berbagai bentuk latihan. Karena itu, seluruh penduduk Israel selalu siaga dan setiap saat siap untuk terlibat, bila terjadi perang.
Keempat, memberi izin bagi warga Israel untuk memiliki senjata api. Hal ini menjadi salah satu pendorong terjadinya bentrokan antara penduduk Israel dengan Palestina di wilayah pendudukan di Tepi Barat.
Fakta-fakta di atas menjadi sebagian bukti, bahwa rakyat Israel selalu merasa tidak aman, atau lebih dari itu selalu merasa terancam. Karena itulah, bangsa Israel selalu membutuhkan pemimpin yang kuat.
Dalam kondisi seperti di atas, maka Pemilu sebagai proses pergantian pemimpin tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi psikis pemilik suara. Akibatnya, para kandidat seringkali tergoda untuk melakukan kekerasan politik yang menandakan keberanian dan keperkasaan, sebagai sarana paling efektif untuk merebut hati calon pemilih dalam masa kampanye menjelang Pemilu.
Sementara ini, wilayah Tepi Barat, Gaza, dan Lebanon dijadikan bulan-bulanan praktik kekerasan menjelang Pemilu, baik dalam skala kecil maupun besar. Ariel Sharon sang jagal pembantaian di Sabra dan Satila, begitu mudah memenangkan pemilu yang mengantarkannya menjadi Perdana Mentri Israel, karena di masa kampanye Ia dan sejumlah pengikutnya memasuki area Masjid Al Aqsa yang berujung bentrokan berdarah.
Perdana Mentri Israel saat ini, Benjamin Netanyahu yang dipanggil Bibi, berkali-kali terpilih kembali dengan melakukan hal yang serupa terhadap penduduk Palestina baik yang berada di Gaza maupun Tepi Barat. Terkadang ia juga melakukannya terhadap penduduk Lebanon Selatan.
Kali ini, tampaknya ia menggunakan Suriah, khususnya wilayah dataran tinggi Golan yang didudukinya. Secara politik, setelah mendapatkan pengakuan dari AS untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibukotanya, kini Bibi berjuang untuk mendapat pengakuan AS dalam menganeksasi Golan, sehingga dataran tinggi strategis ini menjadi bagian wilayah Israel secara permanen. Tentu hal ini menjadi bagian dari kampanye politik yang sangat menarik.
Sementara secara militer, angkatan udara Israel telah melakukan peningkatan penyerangan terhadap berbagai sasaran di wilayah Suriah, khususnya yang menjadi basis-basis militer Iran dan Hisbullah.
Dari berbagai hasil jejak pendapat yang ada, tampaknya manuver politik dan militer yang dilakukan Bibi sebagai Perdana Mentri petahana cukup berhasil, sehingga sampai kini ia masih terus memimpin dan mengungguli para pesaingnya. Bila kondisi ini bertahan, maka diyakini tidak akan ada manuver militer baru. Akan tetapi, jika popularitas dan elektabilitasnya turun, besar kemungkinannya akan dilakukan manuver militer baru atas Suriah.
Masalahnya, kini Suriah bukanlah Gaza atau Lebanon yang hanya bisa bertahan menghadapi gempuran militer Israel. Suriah saat ini juga bukan Suriah yang kemarin. Suriah baru saja memenangkan pertarungan panjang dalam
proxy war terhadap lawan-lawan politiknya yang didukung Isreal, sejumlah negara Arab, negara-negara Barat, termasuk Amerika.
Kini Suriah yang didukung Rusia dan Iran, tengah mengonsolidasi kekuatan militernya, didukung sejumlah milisia yang berasal dari sejumlah negara. Bukan mustahil Suriah sedang mempersiapkan diri untuk bereaksi, bila manuver militer Israel di wilayahnya dirasa melampaui batas.
Dengan demikian, setiap manuver militer baru Israel atas Suriah saat ini, dapat menjadi pelatuk dan memantik perang besar antara dua negara bertetangga yang tidak pernah akur sejak Israel berdiri.
Merujuk pada kekuatan dan kelemahan masing-masing, maka jika terjadi perang, Israel akan cendrung memilih perang singkat dan dalam skala yang terbatas. Sedangkan Suriah yang berpengalaman menghadapi perang yang berskala luas dan berlangsung lama, tentu akan memilih cara yang ia memiliki peluang untuk keluar sebagai pemenang.
Karena itu, sebelum Pemilu berlangsung berbagai peristiwa mengejutkan bisa saja terjadi di kawasan Timur Tengah yang tidak pernah berhenti bergejolak.
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi