Berita

Fauzi Bowo/Net

Hersu Corner

Survei Litbang Kompas : Misteri Hilangnya Angka 17 Persen

SABTU, 23 MARET 2019 | 19:04 WIB | OLEH: HERSUBENO ARIEF

SEBUAH pesan WhatsApp dari wartawan Kompas, Selasa sore (19/3) masuk ke Koordinator Jubir BPN Dahnil Anhar Simanjuntak.
 
“Sore Bang. Bagaimana tanggapannya dengan hasil survei  Litbang Kompas.  Angka yang belum menentukan pilihan/rahasia  17 persen.”

Dahnil tersenyum membaca pesan itu. Sejak dua hari sebelumnya kabar bahwa Litbang Kompas akan mempublikasikan hasil surveinya,  sudah berhembus kencang.

Kabar itu dipicu oleh pernyataan Sofyan Wanandi di depan para pengusaha yang tergabung dalam APINDO. Sofyan mengingatkan pengusaha agar all out mengerahkan segala daya upaya untuk memenangkan Jokowi. Termasuk mewajibkan seluruh karyawan mereka untuk memilih Jokowi.

Berdasarkan survei Kompas, begitu kata Sofyan, elektabilitas Jokowi dalam bahaya. Angkanya sudah di bawah 50 persen, dengan selisih tinggal sekitar 11 persen. Kompas, tambah Sofyan tidak akan mempublikasikannya karena Jokowi sangat takut.

Dahnil juga sudah mengetahui kabar itu. Dia kemudian menggoda sang wartawan. “ Memang berapa persen elektabilitasnya?”

“Saya belum tahu Bang. Cuma diberi tahu angka  yang belum menentukan pilihan 17 persen.”

Wawancara itu tidak berlanjut. Sang wartawan menghilang, dan tidak lagi melanjutkan wawancara. Keesokan harinya Litbang Kompas melansir sebuah hasil survei yang membuat geger.

Elektabilitas Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 49,2 Persen, Prabowo-Sandiaga 37,4 Persen. Margin of error (MoE)  2.2 persen, dan yang menyatakan rahasia 13,4 persen.

Semua data yang diumumkan Kompas persis seperti yang dikatakan Sofyan Wanandi. Di bawah 50 persen, dan selisihnya 11,8 persen. Yang berbeda adalah angka yang menyatakan rahasia, atau sering juga disebut belum memutuskan ( undecided voters ).  Dari semula 17 persen, menjadi hanya 13,4 persen.

Selasa malam,  sebelum mempublikasikan hasil survei, wartawan Kompas  dikumpulkan oleh manajemen. Termasuk mereka yang berada di lapangan ditarik pulang. Janji dan pertanyaan wartawan dengan nara sumber dibatalkan.

Seorang manajer sebuah stasiun televisi mengaku,  saat itu  sedang berada di lapangan bersama wartawan Kompas. Sang wartawan langsung diminta balik kanan.

Dalam pertemuan tersebut, manajemen Kompas minta agar mereka satu suara ketika ditanya tentang survei. Alasan yg disampaikan pihak manajemen kepada redaksi: ini untuk kepentingan NKRI.

Mengapa Kompas seperti sangat khawatir dan terkesan merahasiakan  hasil survei. Benarkah mereka mengubah angka-angka hasil survei? Benarkah mereka mempublikasikan hasil angka elektabilitas tidak sesuai aslinya? Angka yang disebut oleh Denny JA membuat semua pihak, baik Jokowi, maupun Prabowo “bahagia. ”Everbody happy.

Dari perbedaan  angka yang masih merahasiakan pilihan, MoE, dan  selisih elektabilitas kedua paslon, kita sesungguhnya bisa memperkirakan berapa angka elektabilitas riil Jokowi. Kisarannya sekitar 45-46 persen. Sofyan benar. Angka sebesar itu sangat menakutkan bagi Jokowi.
 
Sudah kampanye hampir lima tahun, elektabilitasnya malah turun. Artinya ada sekitar 54-55 persen rakyat yang tidak menginginkannya kembali menjadi presiden. Trendnya juga menurun, sementara pesaingnya Prabowo terus meningkat.

Angka belum menentukan yang dipublikasikan Kompas berbeda sekitar 4 persen dengan angka sebelumnya yang disampaikan kepada nara sumber. Dari 17 persen koma sekian, menjadi hanya 13,4 persen.  MoE 2.2 persen  bila disatukan rentang atas dan bawah sebesar 4,4 persen.

Jadi angka elektabilitas 49,7 persen adalah angka “kompromi.”  Bisa diterima istana karena masih mendekati 50 persen. Secara matematis juga sulit dikejar Prabowo karena yang belum menentukan tinggal 13 persen. Bila diidistrubisi secara merata, Jokowi tetap menang.

Sebaliknya bagi Kompas angka itu juga tetap aman. Dengan MoE 2.2 persen, mereka tetap bisa menyampaikan pesan kepada publik, bahwa sesungguhnya  Jokowi masih tetap berpeluang dikalahkan.
 
Bila benar ternyata hasil Pilpres 17 April Jokowi-Ma’ruf kalah dari Prabowo-Sandi,  kredibilitas Litbang Kompas tetap terjaga.

Seorang wartawan senior Kompas ketika ditanya perubahan data tersebut menjawab secara diplomatis.  Setelah dicek dengan kertas asli yg dikirim interviewer ada ketidak-cocokan antara yang di-entry dengan kertas asli. Cukup masuk akal dan acap kali dalam proses tabulasi hasil survei di lapangan.

Rapat Umum Menentukan

Lepas dari berapapun besarnya angka survei yang dipublish, hasil survei itu membuka mata publik : Elektabilitas Jokowi tidak sebesar yang dipublikasikan lembaga survei “koleksi” istana. Selama ini ada yang bermain-main dengan angka elektabilitas untuk menggiring opini publik.

Kompas juga memberi semacam petunjuk bahwa  Pilpres 2019 masih jauh dari selesai. Rapat umum atau kampanye terbuka akan sangat menentukan. Padahal dalam dua bulan terakhir masa kampanye, Jokowi kesulitan mengumpulkan massa pendukungnya. Sebaliknya kampanye Prabowo pecah dimana-mana.

Soal fenomena  ini Kompas punya penjelasan. Mau dilihat dari indikator apapun, pendukung Prabowo lebih militan dibanding  pendukung Jokowi. Dari enam indikator yang diukur, pendukung Prabowo jauh lebih unggul.
 
Enam indikator itu meliputi:  selalu mengikuti informasi, menyebarkan hal yang positif, membela bila ada informasi yang merugikan, kesediaan mengikuti kampanye, kesediaan memberi sumbangan materi, dan mengajak orang lain mendukung paslon.

Sebagai inkumben,  sihir Jokowi tampaknya tidak lagi membuat silau pemilih.  Publik sudah paham permainan sulapnya. Seperti disebut wartawan senior asing John McBeth, Jokowi sering bermain smoke and mirrors. (Asap dan kaca). Sinyalemen itu terbukti benar,  karena Jokowi  sering kedapatan memaparkan data yang tidak benar dan over claimed.

Klaim berlebihan terbaru yang dibongkar kompas.com adalah soal pembangunan transportasi massal di Jakarta (MRT). Jokowi mengklaim hal itu dapat terwujud karena keberaniannya bersama Ahok mengambil keputusan politik.  Saat itu dia masih menjadi gubernur DKI dan Ahok menjadi wakil gubernur.

Sementara data yang disampaikan kompas.com, pembangunan MRT merupakan proses panjang dari pemerintah pusat maupun para gubernur sebelumnya. Pencanangan proyek itu bahkan dimulai pada masa akhir jabatan Gubernur Fauzi Bowo.

Apakah ini merupakan tanda-tanda Syandyakalaning Jokowi dan lembaga survei bayaran? 

Penulis adalah pemerhati ruang publik. Artikel ini dikirim untuk Kantor Berita Politik RMOL

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Uni Eropa Ancam Balas AS Kalau Terapkan Tarif Baru untuk Baja dan Aluminium

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:31

Guyuran Hujan Tak Halangi Prabowo Sambut Erdogan di Halim

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:26

Pagar Laut Bekasi Akhirnya Dibongkar

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:22

BREN-CUAN Prajogo Rontok Lagi, IHSG Ambruk di 6.531

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:21

Ini Alasan Komisi II DPR Gelar Rapat Tertutup dengan DKPP

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:13

Dilibas AI, Tingkat Pengangguran di Sektor Teknologi AS Melonjak Drastis

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:55

Prabowo Jangan Boros soal Kebijakan Efisiensi Anggaran Sebab Kawannya Setan

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:45

Legislator PDIP Heran Baleg Minta Pemerintah Buru-buru Kirim DIM RUU Minerba

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:41

Prabowocare Ubah Kebiasaan Lama dalam Pengelolaan Keuangan Negara

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:30

Tim U-20 Indonesia Matangkan Game Plan Jelang Hadapi Iran

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:25

Selengkapnya