PERANG Arab-Israel tahun 1967 yang juga dikenal dengan "Perang 6 Hari" ternyata meninggalkan cerita panjang. Disebut perang enam hari karena memang berlangsung singkat, hanya enam hari saja dengan kekalahan telak diderita bangsa Arab. Mesir kehilangan Sinai, Suriah kehilangan Golan, dan Yordania kehilangan Tepi Barat yang kini menjadi wilayah pendudukan Palestina.
Bangsa Arab berusaha menebus kekalahannya, dengan mengobarkan perang Arab-Israel berikutnya pada tahun 1973. Perang ini juga dikenal dengan nama Perang Yom Kippur karena dilakukan pada hari suci bagi agama Yahudi tersebut, atau perang Ramadhan karena dilakukan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan bagi umat Islam. Perang ini dimotori oleh Mesir dengan komandan Presiden Mesir Anwar Sadat dan Suriah yang dipimpin oleh Hafez Al Assad pada waktu itu.
Pada saat bersamaan, tentara Mesir menggempur benteng Bar Lev di seberang Timur Terusan Suez, sementara Suriah menggempur dataran tinggi Golan. Serangan serentak ini mengejutkan Israel yang tidak menduga sama sekali, karena dua wilayah ini dijaga dengan perlindungan yang sangat kuat dan sistem pengamanan sangat canggih.
Dalam pertempuran yang sangat seru, benteng Bar Lev yang terkenal kokoh langsung jatuh, bahkan tentara Mesir terus merangsek maju menuju wilayah Israel. Sementara tentara Suriah sudah berhasil membebaskan hampir separoh dataran Tinggi Golan.
Amerika buru-buru mensuplai berbagai peralatan militer terbarunya kepada Israel, agar negara Zionis ini tidak terus terdesak, dan dalam waktu bersamaan meminta kedua belah pihak untuk segera melakukan gencatan senjata, dengan janji negara-negara Arab akan menerima kembali wilayah yang diduduki Israel melalui perundingan damai.
Melalui Perjanjian Camp David, Mesir menerima kembali wilayah Sinai. Sementara Suriah belum berhasil mendapatkan kembali wilayahnya, disebabkan gagalnya berbagai usulan perundingan walaupun sudah dilakukan berulangkali.
Setelah ISIS kalah total di Suriah, kini pemerintah Basyar Al Assad mengkonsolidasikan seluruh wilayahnya. Pada saat yang bersamaan, para pendukungnya baik para penasehat militer asal Iran dan Rusia, ditopang oleh tentara organik dari keduanya yang berada di sejumlah pangkalan militer, dibantu oleh milisia asal Iran seperti Brigade Fatemiyoun asal Afghanistan, Brigade Zaynabioun asal Pakistan, dan Hisbullah yang berasal dari Lebanon, masih tetap aktif beroperasi di wilayah Suriah.
Pada saat bersamaan, sejumlah petinggi dari Iran dipimpin Mohammad Hossein Bagheri, dari Irak dipimpin oleh Othman al-Ghanimi, dan dari Suriah dipimpin oleh Ali Abdullah Ayyoub berkumpul di Damaskus untuk merundingkan rencana pembukaan kembali perbatasan darat dari tiga negara tersebut. Mereka kemudian bertemu Presiden Suriah Basyar Al Assad. Karena itu, dalam waktu dekat dipastikan pergerakan orang dan barang diantara 3 negara ini, ditambah Lebanon akan dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mobilisasi peralatan militer, tentara, maupun milisia.
Sejumlah pengamat menyebut rangkaian empat negara, dimana kekuatan politik dan militer Syiah sangat dominan, sebagai "Bulan Sabit Syiah" yang membentang dari Teluk Arab atau juga disebut Teluk Parsi sampai ke Laut Merah.
Merujuk pada perubahan peta politik dan militer di atas, sangat wajar jika menimbulkan kegusaran Israel. Kecemasan Israel dapat dilihat dari: Pertama, lobi-lobi politik yang dilakukannya di Amerika, sehingga membuahkan laporan tahunan Departemen Luar Negri AS terkait HAM, yang menyebut Golan sebagai wilayah yang "dikontrol" Israel. Padahal sebelumnya digunakan istilah yang "diduduki" Israel.
Kedua, Perdana Mentri Israel berteriak terkait dengan kegiatan pembangunan sejumlah pangkalan militer di wilayah Suriah sepanjang dataran tinggi Golan. Menurut informasi intelijen Israel, kegiatan Hisbullah ini didukung oleh Iran.
Ketiga, akhir-akhir ini sejumlah pejabat Amerika mengunjungi Golan, sebagai bagian dari agenda acara dalam kunjungannya ke Israel. Perdana Mentri Isreal Benjamin Netanyahu secara terbuka meminta kepada Menlu Amerika Mike Pompeo saat mengunjungi Israel dua hari lalu, Rabo (20/3) agar AS segera mengakui Golan sebagai bagian dari Israel.
Melihat kebuntuan pembicaraan damai antara Israel-Palestina, ditambah arogansi Israel yang semakin menjadi-jadi sejak Donald Trump menduduki Gedung Putih, tentu semua ini dapat menjadi bahan bakar yang bisa menyulut perang baru Arab-Israel yang dipimpin Suriah.
Israel boleh unggul di udara, akan tetapi berkali-kali negara zionis ini kewalahan menghadapi perlawanan darat, baik dari Hisbullah di Lebanon maupun Hammas di Gaza. Mungkinkah ini jalan kembalinya Golan ke pangkuan Suriah? Mari kita nanti perkembangan yang terjadi.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.