Berita

Foto: Net

Politik

Erwin Aksa Merapat 02, Strategi Golkar Untuk Amankan Posisi

KAMIS, 21 MARET 2019 | 16:23 WIB | LAPORAN:

Manuver politik Erwin Aksa bukan hal baru di tubuh Partai Golkar. Saat Pilpres 2014 juga pernah terjadi.

Kala itu, beberapa politisi Golkar seperti Agus Gumiwang Kartasasmita dan Nusron Wahid memilih mendukung Joko Widodo-M. Jusuf Kalla. Padahal Golkar sendiri mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Hal sama diperlihatkan Erwin di Pilpres 2019 ini dengan menyebrang ke pasangan calon nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga Uno.
 
"Sebenarnya tidak terlalu berpengaruh karena Golkar itu sudah biasa. Dulu juga begini, kan," ujar Ujang, Kamis (21/3).

Ujang mengatakan, kader berbeda pilihan dalam Pemilu sepertinya sudah menjadi gaya politik beringin. Dugaan dia, ini strategi Golkar untuk mengamankan posisi jika pilihan politik formalnya gagal menang.

Dengan keberadaan Erwin di kubu Prabowo dan partai secara formal berada di kubu Jokowi, Golkar bisa lebih mudah mengamankan kekuasaan.

Dia menganalogikannya dengan istilah "Jangan simpan telur di keranjang yang sama".

"Ketika Erwin Aksa ada di Prabowo atau Pak Jusuf Kalla di Jokowi, siapapun katakanlah yang menang kan (Golkar) aman," kata Ujang.

Ujang mengingatkan yang terjadi pada Golkar juga dilakukan oleh politisi senior. Banyak politisi senior yang menjadi kepala daerah dan menjadi pimpinan cabang menempatkan keluarganya di partai lain.

Misalnya, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo yang menjadi politisi Nasdem dan anaknya di PPP. Ada pula mantan Gubernur Banten Ratu Atut sebagai politikus Golkar, tapi anaknya di PDI Perjuangan.

"Jadi begitu satu kalah, yang satu menang. Yang satu kalah, yang satu menang. Dan memang itu selalu aman dan bagian dari strategi yang sah tidak melanggar undang-undang," ujarnya.

Selain untuk kepentingan partai, Ujang menilai dukungan yang diberikan Erwin kepada Prabowo-Sandi bisa terjadi karena kepentingan pribadinya tidak terakomodasi partai.

Ia menyebut Erwin sempat bakal dipromosikan menjadi wakil gubernur DKI Jakarta menggantikan Sandiaga yang maju menjadi cawapres. Sementara jatah Wagub DKI merupakan milik PKS.

"Di politik, siapapun politisi jika tidak nyaman bekerja atau tidak terakomodir pasti akan pindah pilihan. Itu hal yang wajar dan terjadi di setiap Pilpres dan pemilu, serta berlaku pada politisi," ujarnya.    

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

UPDATE

Hadiri Halal Bihalal Ansor, Kapolda Jateng Tegaskan Punya Darah NU

Jumat, 03 Mei 2024 | 06:19

Bursa Bacalon Wali Kota Palembang Diramaikan Pengusaha Cantik

Jumat, 03 Mei 2024 | 06:04

KPU Medan Tunda Penetapan Calon Terpilih Pileg 2024

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:50

Pensiunan PNS di Lubuklinggau Bingung Statusnya Berubah jadi Warga Negara Malaysia

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:35

Partai KIM di Kota Bogor Kembali Rapatkan Barisan Jelang Pilkada

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:17

PAN Jaring 17 Kandidat Bakal Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bengkulu

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:58

Benny Raharjo Tegaskan Golkar Utamakan Kader untuk Pilkada Lamsel

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:41

Pria di Aceh Nekat Langsir 300 Kg Ganja Demi Upah Rp50 Ribu

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:21

Alasan Gerindra Pagar Alam Tak Buka Pendaftaran Bacawako

Jumat, 03 Mei 2024 | 03:57

KPU Tubaba Tegaskan Caleg Terpilih Tidak Dilantik Tanpa Serahkan LHKPN

Jumat, 03 Mei 2024 | 03:26

Selengkapnya