KAMPANYE adalah mekanisme pemasaran. Apa yang dilakukan di dunia marketing, sebagai perangkat bisnis, pun dapat dilakukan di ranah politik.
Maka menjadi menarik untuk melihat apa yang hendak ditawarkan oleh para kandidat, sebagai “barang jualan†mendapatkan simpati publik. Tidak hanya mendorong terciptanya perhatian, sampai kepada tindakan pemberian suara action.
Tulisan ini hendak mengupas lapis pemasaran sekaligus melakukan telaah yang telah dilakukan para kandidat. Pada faktor yang paling dasar, para figur yang berkompetisi dalam kontestasi politik kali ini harus dapat melakukan pengenalan medan, melakukan identifikasi pasar suara pemilih (voters). Di mana terdapat profiling client, di mana terdapat konsep AIDA (attention, interest, desire, action).
Perlu upaya untuk menstimulasi ketertarikan, keinginan hingga terciptanya hasrat yang pada akhirnya menciptakan tindakan berupa dukungan langsung berupa pencoblosan.
Bersamaan dengan itu, pemetaan pasar pemilih menggunakan alat identifikasi yang dikenal sebagai STP (
segmenting, targeting, positioning).
Hal ini penting untuk melakukan pemilahan atas fokus serta konsentrasi pada titik-titik yang dianggap potensial mendulang suara.
Mengapa hal tersebut dilakukan? Karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Tetapi, sebagai sebuah strategi, sifatnya
optional jika memang dirasa memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan penetrasi pemasaran meluas, maka upaya untuk pemilihan dan pemilahan daerah sasaran dapat dijalankan secara general.
Kartu Baru dan Lapangan PekerjaanDalam kerangka bisnis strategis, maka Porter memberikan beberapa bentuk alternatif generik, yakni: (a)
cost leadership, (b)
differentiation, dan (c)
focus.
Bagaimana impelementasinya di bidang politik, setidaknya kriteria yang mewakili, dinyatakan sebagai populer, berbeda, dan terkonsentrasi? Lantas bagaimana memaknai para kontestan Pilpres kali ini?
Kita harus melihatnya dalam posisi secara berbeda antara
incumbent dan oposisi, karena hanya terdapat dua kandidat yang berkompetisi.
Bagi petahana, dengan seluruh perangkat yang dimilikinya, maka rumusan kebijakan bisa dilakukan dengan mengeskalasi program sebelumnya ataupun menciptakan program baru untuk sektor yang baru sesuai dengan evaluasi perjalanan program yang telah ada. Maka tidak heran ketika
incumbent membawa bentuk konkrit dari produk yang akan ditawarkan, karena kalkulasinya sudah ada.
Sementara, bagi oposisi, tidak ada cara lain, selain menawarkan ide yang berbeda dan baru bagi publik, meski berhadapan dengan keterbatasan data dan informasi, formulasinya bisa sangat umum.
Apakah yang terlihat sebagai bentuk konkrit program menjadi lebih baik, daripada program yang bersifat umum? Tergantung situasinya.
Pertama: apakah program ini memang dibutuhkan?
Kedua: adakah program ini telah tersedia sebelumnya?
Ketiga: bagaimana rasionalisasi program tersebut?
Petahana saat ini membawa tiga kartu tambahan melengkapi kartu pada Pilpres 2014. Sebelumnya KIS Indonesia Sehat, KIP -Indonesia Pintar, dan KKS -Keluarga Sejahtera adalah realisasi janji kampanye terdahulu dan belum terdapat ekspose yang terbuka dalam ketiga format kartu tersebut.
Di sisi lain, kubu oposisi membawa gagasan tentang Indonesia Adil Makmur, dengan berfokus pada UMKM, di mana perlu upaya massifikasi kegiatan usaha kecil yang diidentifikasi komposisinya mayoritas, dan menjadi bisnis informal pendukung
sustainability ekonomi makro. Konsepnya, penciptaan lapangan pekerjaan dan stabilisasi harga sembako murah.
Format turunan yang digaungkan adalah OKe OCe pada skala nasional, sebagaimana telah diinisiasi di DKI Jakarta.
Bagaimana menilai program-program tersebut? Petahana membawa kembali janji baru, ada tiga kartu baru tambahan, yaitu: KIP-kuliah, KPK -pra kerja, KSM -sembako murah.
Tawaran yang menarik, meski harus dilihat apakah sesungguhnya ini adalah produk baru atau rebranding produk lama? Bagaimana konsepnya? Bukankah sudah ada Bidikmisi Kuliah? Lalu seperti apa formalisasi bentuk kegiatan kartu-kartu ini? Siapa sasaran, bagaimana distribusi, serta mekanisme penganggarannya?
Deretan kartu seolah menjadi solusi praktis, meski kita juga mengetahui persoalan database kependudukan adalah hal yang tidak pernah terselesaikan. Punya potensi kegagalan, tidak hanya salah sasaran, tetapi juga rawan dalam alokasi distribusi yang tidak berkeadilan, belum lagi bila menyoal ketiadaan mata anggaran kegiatan tersebut.
Program ini terlihat gagah, meski masih banyak pertanyaan menggantung setelahnya.
Sementara itu, bagi oposisi upaya membesarkan program OKe OCe pada level nasional juga bukan tanpa kendala. Karena dalam skala percobaan di Ibukota Jakarta belum terlihat gerakan tersebut meluas, masih dalam fase awal pelatihan dan pendampingan, perlu ada bentuk yang lebih praktis.
Kedua kontestan, sesungguhnya sedang menggunakan metode rebranding, membuat tawaran solusi program dengan melakukan penamaan ulang.
Bagi oposisi tentu hal itu dapat dilihat dalam kacamata keterbatasan mereka, yang berada di luar kekuasaan guna melakukan evaluasi detail kerja pemerintah. Sedangkan, bagi petahana, situasi ini
rebranding, merupakan alternatif kebuntuan program.
Rebranding bagi PetahanaIstilah rebranding, sebagai bentuk melakukan pemasaran ulang dengan pemberian merek atau logo atas produk yang telah ada sebelumnya, dapat dimaknai dalam banyak hal.
Pada kasus bisnis, rebranding dapat terjadi dalam dua faktor pendukung, baik internal maupun eksternal. Sekurang-kurangnya pada posisi persoalan internal, termasuk perubahan organisasi, terjadi pergantian strategi, maupun pola komunikasi yang berganti. Sedangkan di sisi eksternal, hal ini
rebranding dapat terjadi ketika terjadi perubahan selera konsumen, produk lama tidak lagi laku dijual, terjadi tekanan kompetitor.
Bentuk rebranding, adalah upaya untuk dapat melakukan penetrasi pasar, baik kepada segmen pasar yang telah dimasuki
old market, ataupun pada pasar yang baru new market.
Dengan demikian, rebranding program politik ini, sebagaimana seolah-olah produk baru untuk pasar yang lama (
product development) dan bagi pasar yang baru (
diversification).
Pertanyaannya, mengapa harus rebranding? Bisa jadi ada dua kemungkinan, (a) produk yang telah ada dianggap kuno, (b) perlu produk baru untuk persoalan berbeda, maupun (c) produk sebelumnya terasosiasi buruk dalam citra negatif.
Bagaimana melihat skema rebranding dalam tawaran politik? Pertama: jangan cepat percaya, evaluasi apa yang telah ada untuk bentuk yang tipikal, Kedua: lihat logikanya, apakah mungkin atau hanya ide bombastis ala pemasaran heboh menciptakan euforia kosong.
Bagi petahana, beragam kartu bisa jadi gelagat mengisi ruang pasar pemilih yang kosong, dan telah mulai dimasuki oleh oposisi. Sedangkan bagi oposisi, simplifikasi program belum mampu menjawab secara utuh problematika publik.
Jadi mana yang terbaik? Pilihan tergantung tangan Anda sebagai pemilih, tetapi jelas bila kartu tertalu banyak, akan terlalu besar bentuk dompet menampungnya, toh solusi problem kebangsaaan ini tidak hanya bisa diselesaikan dengan pola distribusi kesejahteraan melalui metode instan.
Terlebih bagi kubu petahana, harusnya ada format penyelesaian permanen jangka menengah panjang. Karena ini kesempatan keberlanjutan kekuasaannya.
Teramat disayangkan, karena waktu kekuasaan yang terbatas itu hanya berbicara tentang elektabilitas, maka metode bagi-bagi kartu adalah pilihan pendek yang terpikirkan!
Yudhi HertantoProgram Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid