Berita

Pangi Syarwi Chaniago/Net

Publika

Efektivitas Mesin Partai Koalisi Belum Menambah Asupan Elektoral Capres

KAMIS, 07 MARET 2019 | 10:52 WIB

PEMILIHAN Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang dilaksanakan secara serentak untuk pertama kalinya membawa dampak politik yang dikenal dengan istilah coattail effect.

Istilah ini bisa dimaknai adanya pengaruh kuat dari seorang kandidat presiden yang dicalonkan terhadap elektabilitas partai pengsungnya. Efek dongkrak elektabilitas partai ketika calon yang diajukan memiliki elektabilitas tinggi.

Pemilu serentak juga menjadi misteri, Pemilu yang paling rumit dalam sejarah di mana ada lima kertas suara yang bakal dicoblos rakyat di bilik suara. Apakah akan terjadi fenomena split ticket voting. Fenomena pembelahan dukungan pilihan, tidak tegak lurusnya antara pilihan calon presiden dengan partai dan caleg.


Kalau kita baca data Pemilu 2004 di mana pemenangnya adalah Golkar sebesar 21,58 persen dan PDIP 18,53 persen. Sementara presentasi suara Demokrat hanya 7,45 persen namun berhasil mengantarkan SBY terpilih menjadi presiden pertama kalinya dipilih secara langsung oleh rakyat.

Demokrat hanya lima besar dan bukan pemenang pemilu pada waktu itu bisa memenangkan pemilihan presiden karena terjadinya split ticket voting, tidak tegak lurusnya pilihan partai dengan magnet elektoral aktor yang bertanding (figur). Hal ini disebabkan pembelahan dukungan di tingkat grassroot/basis dukungan PDIP dan Golkar akibat dari kesetiaan pemilih cair.

Situasi ini tentu akan membawa masalah tersendiri bagi partai tergabung dalam koalisi yang bukan sang calon presiden . Namun partai-partai anggota koalisi masih punya jalan keluar. Mereka harus membangun asosiasi yang kuat terhadap sang kandidat untuk memaksimalkan dukungan terhadap partainya, namun ini bukan pekerjaaan mudah.

Dalam membaca situasi rule of the game ini kita bisa menggunakan tiga logika utama untuk memetakan posisi partai politik.

Pertama, logika koalisi. Di mana setiap partai yang tergabung dalam koalisi semestinya mempunyai kesepahaman untuk memenangkan kandidat yang sama-sama mereka usung. Soliditas partai koalisi adalah kunci untuk mewujudkan tujuan ini, namun kontrak politik yang jelas menjadi prasyarat utama.

Maka jika prasyarat utama ini tidak terpenuhi, soliditas partai yang tergabung dalam koalisi bisa terganggu. Koalisi yang dibangun dengan kontrak politik yang tidak mengikat anggotanya (political engagement) dengan kuat akan cenderung membuat masing-masing partai 'miskin loyalitas' mencari jalan yang menguntungkan bagi partai itu sendiri.

Kedua, “logika partai”. Partai politik sebagai bagian dari alat untuk memaksimalisasi kekuasaan tentu akan digunakan oleh para anggotanya seoptimal mungkin. Maka game theory partai politik akan memanfaatkan segala sumberdaya yang dimiliki untuk memenangkan partainya, semakin besar dukungan yang mereka dapatkan akan menentukan posisi tawar mereka di kemudian hari.

Atas dasar ini juga partai politik yang tergabung dalam koalisi yang merasa tidak diuntungkan akan mengambil langkah jalan sendiri bagaimana upaya menyelamatkan partainya.

Apapun yang terjadi, siapa pun presiden yang terpilih yang jelas masa depan partai adalah hal yang utama. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi partai yang ngak punya tiket capres.

Ketiga, logika elektoral. Situasi politik berkaitan dengan pemilu serentak membawa konsekuensi lain berkaitan dengan coattail effect yang memberi keuntungan maksimal hanya kepada partai formatur (partai asal capres). Sehingga, partai non-formatur harus bermain cantik untuk memaksimalkan dukungan terhadap partainya selain upaya asosiatif terhadap kandidat capres yang mereka usung.

Kita sepakat, amat sepakat bahwa ketiga logika di atas menjadi dasar utama, rasolionalisasi bagi sebagian partai untuk menyelamatkan partainya masing-masing, ketimbang hanya berfokus pada capres yang belum tentu berdampak positif secara elektoral terhadap masa depan partainya.

Oleh karena itu, saya melihat efektivitas mesin partai koalisi pendukung capres di luar mesin utama PDIP dan Gerindra belum punya dampak yang signifikan mendongkrak elektabilitas capres-cawapres.

Padahal kunci kemenangan Pilpres ada pada mesin partai, figur dan kepiawaian membaca trend perilaku pemilih, apa yang disenangi dan betul-betul mahir membaca apa yang dibutuhkan rakyat.


Pangi Syarwi Chaniago

Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting

Populer

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bahlil: Jangan Uji NYali, Kita Nothing To Lose

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:44

Bukan AI Tapi Non-Human

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:43

Usai Dicopot Ketua Golkar Sumut, Ijeck Belum Komunikasi dengan Doli

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:12

Exynos 2600 Dirilis, Chip Smartphone 2nm Pertama di Dunia

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:52

Akui Kecewa Dicopot dari Ketua DPD Golkar Sumut, Ijeck: Mau Apalagi? Kita Terima

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:42

Bahlil Sentil Senior Golkar: Jangan Terlalu Lama Merasa Jadi Ketua Umum

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:22

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Sekretaris Golkar Sumut Mundur, Ijeck Apresiasi Kesetiaan Kader

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:06

Dana Asing Banjiri RI Rp240 Miliar Selama Sepekan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:01

Garda Satu dan Pemkab Tangerang Luncurkan SPPG Tipar Raya Jambe

Sabtu, 20 Desember 2025 | 13:38

Selengkapnya