Berita

Muhammad Najib/net

Dunia

Membaca Arah Konferensi Timur Tengah Di Warsawa

JUMAT, 15 FEBRUARI 2019 | 17:54 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

MERUJUK pada peserta yang hadir pada konferensi Timur Tengah yang diadakan di ibukota Polandia, Warsawa selama dua hari ini, maka kemana arahnya akan sangat mudah dibaca.

Amerika yang menjadi sponsor utama pertemuan yang berakhir hari ini, mengirimkan semua orang pentingnya di bawah Presiden.

Pertama, Wakil Presiden Mike Pence. Pada saat memberikan sambutannya, Pence menyalahkan Uni Eropa yang dituduh menggagalkan sanksi Amerika terhadap Iran,  karena tidak mau mengikuti kehendak Amerika yang mundur secara sepihak dari kesepakatan terkait nuklir Iran yang ditandatanganinya tahun 2015.

Kecaman ini tampaknya ditujukan ke arah tiga negara penting sekutu Amerika di Eropa: ÃŒnggris, Jerman, dan Perancis, yang membuat kesepakatan bulan lalu terkait masalah keuangan yang bertujuan  menghindari sangsi ekonomi Amerika terhadap Iran.
Kedua, Menlu Amerika Mike Pompeo yang saat bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan; bahwa perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah mustahil bisa dicapai tanpa melakukan konfrontasi  dengan Iran.

Ketiga, menantu Presiden  Trump, Jared Kushner yang menjabat penasihat senior Gedung Putih. Kushner tidak memberikan pidato di depan perwakilan 60 negara peserta, seperti dua pejabat penting Amerika lainnya. Ia lebih banyak melakukan lobi-lobi di ruang tertutup dengan sejumlah perwakilan negara penting, khususnya yang datang dari negara-negara Arab Teluk yang kaya.

Israel mengirimkan orang nomor satunya, yakni Perdana Mentri Benjamin Netanyahu. Netanyahu menegaskan bahwa menghentikan agresi Iran jauh lebih penting dibanding masalah Palestina. Tidak ada kepala negara Arab yang hadir. Sejumlah negara Arab hanya mengirimkan pejabatnya level 2, dan yang paling tinggi hanya Menlu.

Rusia. China, Iran, dan Palestina tidak menghadiri konferensi ini. Menlu Iran Javad Zarif di Teheran menyebut pertemuan ini sebagai sirkus anti Iran. Sementara Palestina menuduh pertemuan ini sebagai konspirasi yang dimotori oleh Amerika.

Dari fakta-fakta di atas, maka pertemuan 2 hari di Warsawa dapat dikatakan sebagai upaya Amerika dan Israel mendapatkan dukungan internasional terutama negara-negara Arab Teluk untuk melakukan aksi militer terhadap Iran.

Selama ini Israel yang dibantu Amerika kewalahan menghadapi Iran yang disokong oleh milisia Hizbullah asal Lebanon dalam medan pertempuran di Suriah. Bahkan Presiden Donald Trump sudah mengumumkan akan angkat kaki dari Suriah. Hal ini bukan saja merupakan pernyataan kekalahan, akan tetapi akan membuat Israel gentar menghadapi Iran sendirian. Hanya dengan menggempur Iran secara langsung, maka tentara Iran akan ditarik dari Suriah. Dan bila hal ini terjadi, barulah warga Israel bisa tidur nyenyak.

Bagi Amerika, tindakan militer terhadap Iran baru mungkin dilakukan, jika paling tidak dua syarat dipenuhi: Pertama, mendapat dukungan dari negara-negara Arab Teluk, terutama yang menjadi tetangga Iran. Walaupun secara militer negara-negara Arab di Teluk bukan tandingan Iran, baik karena ukuran negaranya, jumlah penduduk, maupun kemampuan militernya. Akan tetapi, secara geografis negara-negara ini sangat dekat dengan Iran, dan hampir di semua negara ini Amerika dan sejumlah negara Barat memiliki pangkalan militer darat, laut, maupun udara.

Syarat kedua, berupa dukungan finansial. Dalam setiap perang di Timur Tengah selama ini, Amerika cendrung berpikir untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik dalam waktu pendek maupun panjang. Keuntungan ekonomi dalam waktu pendek berupa pembelian peralatan militer besar-besaran.

Sudah menjadi rahasia umum negara-negara Arab yang kaya di Teluk tidak bisa membuat sebutir peluru pun, apalagi yang lebih besar dan lebih sulit. Bahkan sejumlah pengamat militer yang kritis, menyebut perang-perang di Timur Tengah seringkali dijadikan sarana cuci gudang peralatan militer kadaluarsa bagi industri militer Amerika.
Keuntungan jangka panjang berupa monopoli sektor ekonomi non militer, baik saat membangun kembali infra struktur yang rusak akibat perang, maupun sektor ekonomi lainnya yang dijadikan sebagai bagian dari kesepakatan di bawah tangan yang tidak diumumkan.

Karena itu, aksi militer di wilayah Iran oleh koalisi Amerika, Israel, dan negara-negara Arab Teluk bukan sesuatu yang mustahil dilakukan dalam waktu dekat jika syarat-syarat di atas dipenuhi.
    
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi
 

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Waspadai Partai Cokelat, PDIP: Biarkan Rakyat Bebas Memilih!

Rabu, 27 November 2024 | 11:18

UPDATE

Disdik DKI Segera Cairkan KJP Plus dan KJMU Tahap II

Sabtu, 30 November 2024 | 04:05

Israel dan AS Jauhkan Umat Islam dari Yerusalem

Sabtu, 30 November 2024 | 03:38

Isu Kelompok Rentan Harus Jadi Fokus Legislator Perempuan

Sabtu, 30 November 2024 | 03:18

Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kadin Luncurkan White Paper

Sabtu, 30 November 2024 | 03:04

Pasukan Jangkrik Gerindra Sukses Kuasai Pilkada di Jateng

Sabtu, 30 November 2024 | 02:36

Fraksi PKS Usulkan RUU Boikot Produk Israel

Sabtu, 30 November 2024 | 02:34

Sertijab dan Kenaikan Pangkat

Sabtu, 30 November 2024 | 02:01

Bawaslu Pastikan Tak Ada Kecurangan Perhitungan Suara

Sabtu, 30 November 2024 | 01:48

Anggaran Sekolah Gratis DKI Disiapkan Rp2,3 Triliun

Sabtu, 30 November 2024 | 01:17

Mulyono Bidik 2029 dengan Syarat Jakarta Dikuasai

Sabtu, 30 November 2024 | 01:01

Selengkapnya