ISU suku Uighur yang berdomisili di provinsi Xinjiang yang berada di wilayah Barat Laut China terus mendominasi media resmi di banyak negara muslim.
Perbincangan di media sosial tentu lebih seru dan lebih panas, sehingga tidak jarang menguras emosi, dan tidak jarang pula bermuara dengan demonstrasi atau unjuk rasa.
Media-media di negara-negara Barat mengangkat masalah ini dengan mengaitkannya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Berbeda dengan media-media di dunia Islam yang mengaitkannya dengan penodaan terhadap nilai-nilai agama yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi.
Para politisi di Barat maupun di dunia Islam, tampaknya memiliki sikap yang serupa. Sebagian bersikap keras, akan tetapi yang lainnya bersikap lunak, hati-hati, dan penuh kalkulasi.
Perbedaan sikap ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional setiap negara, khususnya yang terkait dengan ekonomi.
Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump mengambil sikap paling keras, terbuka, bahkan boleh dibilang sangat agresif. Kebijakan ini paralel dengan perang dagang dan perang ekonomi yang sedang dikobarkannya.
Bahkan kini sudah meningkat ke tahap perang diplomatik dengan menangkap sejumlah warga negara China dengan tuduhan spionase, pencurian teknologi, atau pelanggaran hukum.
Pemerintah China kemudian membalasnya dengan tindakan serupa, menangkap dan menahan sejumlah pengusaha dan warga negara Barat saat mengunjungi atau berada di daratan China.
Kini timbul pertanyaan, apakah maraknya isu Uighur murni persoalan pelanggaran HAM atau pelanggaran terhadap nilai-nilai Islam? Tentu tidak mudah menjawabnya.
Bagi ummat Islam atau pemerintah dengan mayoritas penduduknya muslim perlu mempertimbangkan sejumlah faktor dalam menyikapi masalah ini:
Pertama, jangan sampai dijadikan alat bagi mereka yang sedang bertarung dengan China.
Kedua, hubungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya antara negara-negara Muslim dengan China yang baik selama ini jangan sampai terganggu.
Ketiga, pemerintah, ormas Islam, dan tokoh-tokoh Islam perlu membantu mencari jalan keluar masalah ini dengan memanfaatkan berbagai jalur komunikasi dan diplomasi secara damai dan bijaksana.
Sementara bagi pemerintah China, harus proaktif dan mengambil inisiatif untuk meredam isu panas dan sensitif ini, apalagi telah bergulir cukup lama.
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan: Pertama, dengan memberikan informasi yang objektif dan transparan, melalui berbagai media utama di dunia Islam. Kedua, para diplomat China perlu mendatangi ormas dan tokoh-tokoh Islam setempat untuk mendialogkan masalah ini. Ketiga, mengundang pimpinan ormas dan tokoh Islam untuk mengunjungi Xinjiang, agar mereka bisa melihat dari dekat situasi sebenarnya. Keempat, membuka akses lembaga-lembaga internasional baik yang berlatar HAM maupun agama untuk bisa mendapatkan informasi yang objektif, valid, dan transparan.
Dengan langkah-langkah di atas, tentu semua pihak akan diuntungkan, sekaligus menutup dengan rapat celah bagi mereka yang ingin mengail di air keruh.
[***]
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi