PADA tanggal 12 Mei 1998, Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) menggelar Mimbar Bebas. Sekitar 6 ribu mahasiswa hadir. Setelah itu, mereka bergerak ke luar kampus dan long march menuju Gedung MPR/DPR.
Dua lapis polisi dengan tameng dan pentung menghadang di depan kantor Walikota Jakarta Barat.
Sekitar pukul 13.30 bala bantuan pasukan tiba. Dipimpin Letkol Satu Pol Agus Tri Heriyanto, Komandan Kompi II Yon B. Resimen I Brimob dan dibantu Letnan Dua Pol Pariyo.
Polisi melarang mahasiswa bergerak. Negosiasi terus berlangsung. Polisi tegas. Pukul 15.30, polisi merilis batas waktu agar mahasiswa membubarkan diri hingga jam 4. Jumlah mahasiswa saat itu tinggal seribu orang. Sisanya sudah pulang.
Pukul 16.30 datang pasukan dari Polda Metrojaya berkekuatan satu kompi di bawah pimpinan Kol Drs Arthur Damanik.
Saat mahasiswa bergerak kembali masuk kampus, seseorang yang mengaku alumni Trisakti bernama Mashud melancarkan provokasi. Mahasiswa mengejar Mashud yang kemudian berlindung di belakang barisan aparat.
Sekitar pukul 17.15, bentrok mulai pecah. Mahasiswa melempari pasukan pengaman. Dorong-dorongan terjadi. Tembakan peringatan dirilis. Kapolres dan Dandim Jakbar Letkol Amril berteriak, "Hentikan tembakan!".
Menurut kronologi versi SMUT, oknum aparat ada yang meledek dan menertawakan. Mahasiswa sempat terpancing menyerang. Tapi diredam satgas mahasiswa Trisakti.
Pada saat yang sama, aparat langsung menyerang dengan tembakan dan gas air mata. Pasukan bermotor berseragam cokelat Brimob mengejar mahasiswa sampai pintu gerbang. Sebagian dari pasukan itu naik ke atas jembatan layang Grogol.
SMUT juga menyatakan, antara pukul 17.05-18.30 aparat merilis tembakan membabi-buta.
Aparat di atas jembatan layang melontarkan tembakan ke arah mahasiswa di dalam kampus. Sementara yang di bawah jembatan menyerbu ke pintu gerbang dengan formasi dua baris; jongkok dan berdiri.
Di situ, enam orang mahasiswa tewas.
Ketika peristiwa penembakan pecah, Fadli Zon sedang menghadiri pertemuan informal di rumah Mbak Tutut di Jalan Yusuf Adiwinata 14. Sesdalopbang Letjen TNI Hendropriyono hadir di sana.
Seorang wartawan Republika menghubungi Fadli Zon via handphone dan mengabarkan enam mahasiswa tewas ditembak aparat.
Suasana pertemuan langsung berubah. Semua tamu mencari informasi. Fadli Zon mengatakan peristiwa ini akan memicu aksi-aksi mahasiswa lebih besar.
Mbak Tutut segera menghubungi Pa Harto yang sedang berada di Kairo.
Esoknya tokoh-tokoh reformasi seperti Amien Rais, Megawati, Ali Sadikin, Emil Salim, Kwik Kian Gie, Hariman Siregar, WS Rendra dan sebagainya mendatangi Kampus Trisaksi. Mereka orasi, baca puisi dan gelar mimbar bebas.
Jelang pukul 12, massa semakin banyak dan tak terkendali. Mereka mencegat dan membakar kendaraan yang melintas. Kerusuhan dimulai.
Esok harinya, Fadli Zon naik panser dari UKI ke Makostrad Gambir untuk menghadap Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto. Ternyata di ruang tunggu sudah banyak tamu. Antara lain Buyung Nasution, Ruhut Sitompul, Iqbal Assegaf (Ketua GP Ansor), dan Dr. Din Syamsuddin.
Seharian Letjen TNI Prabowo ikut Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoedin memantau situasi Jakarta. Baru ba'da Magrib, dia kembali ke Makostrad.
Pa Prabowo langsung menerima semua tamu. Di ruangan itu ada Muchdi PR, Kivlan Zen, Adityawarman Thaha, Adnan Buyung, Bambang Wijoyanto, Setiawan Jodi, Rendra, Fahmi Idris, Maher Algadrie, Farid Prawiranegara, Hasyim Joyohadikusumo, Fadli Zon dan lain-lain.
Adnan Buyung membuka pertemuan. Dia mengatakan rakyat sudah tidak menghendaki Pa Harto berkuasa. "Kita bentuk Dewan Presidium," katanya.
Tanggal 21 Mei, Presiden Soeharto menyatakan berhenti. Mbak Tutut membantu menuliskan pidato pernyataan berhenti tersebut dengan tulisan tangan.
Malam harinya, Fadli Zon datang ke rumah Letjen TNI Prabowo untuk menyarankan supaya dia menghadap Presiden Habibie.
Pa Prabowo bersama Muchdi PR berangkat ke rumah Presiden Habibie di Patra Kuningan. Pulang dari sana, Muchdi PR menuju Jalan Suwiryo bertemu dengan Hartono Mardjono, Din Syamsuddin, KH Kholil Ridwan, Ahmad Sumargono di kantor IPS. Semuanya lega setelah Muchdi PR menceritakan jalannya pertemuan dengan Presiden Habibie.
Tapi besoknya, tanggal 22 Mei 1998, Letjen TNI Prabowo justeru diberhentikan sebagai Pangkostrad dan diberi jabatan baru Komandan Sesko ABRI di Bandung.
Sejak itu, Prabowo Subianto jadi sasaran hujat selama berbulan-bulan. Semua yang "berbau" Prabowo disingkirkan.
[***]Penulis adalah aktivis, tokoh Tionghoa.