Debat perdana Pilpres/Net
DEBAT pertama capres dan cawapres was worse-than-expected. Jokowi nge-gas. Offensive. Prabowo-Sandi santun. Kiai Maruf setuju saja. Kagetan.
Sebuah benturan antara Prabowo's politics of politeness dan Jokowi's politics of extraordinary preparation.
Jokowi's politics of extraordinary preparation mendominasi panggung. Dia dipersiapkan untuk nyerang dan hanya untuk menyerang. Giliran ditanya, jawabannya ngawur. Secara substansi, Prabowo-Sandi menang.
Prabowo-Sandi
displayed the basic personal qualities necessary to be president. Jokowi dan Kiai Maruf tampil sebagai
attackers.
Pasca debat,
chebong dilanda eforia.
Adrenaline rush. Fenomena yang disebut Bernard Rimé sebagai "
a cathartic release of emotions". Dan Denny JA produksi
meme. Oposisi diserang. Militan Prabowo-Sandi kecewa. Harris Rusli Moti mengkritik mestinya pak Prabowo tampil seperti Malaysia's Mahatir Muhamad bukan SBY.
"Biarkan Prabowo menjadi diri sendiri," lanjutnya.
Pilpres ini masalah bangsa. Bukan personal. Panggung debat bukan momentum menghabisi pribadi. Tapi,
it is all-out war on truth, facts and reason.
Publik berharap Prabowo-Sandi mencukur Jokowi-Maruf. Paslon nomor 02 mesti merilis beberapa "
political kill shots". Demi rakyat, demi republik, bukan demi ambisi. Jokowi harus tumbang.
Persiapan mentah membuat Prabowo-Sandi gagal
merilis few new lines of attack. Di sisi lain, Jokowi sukses
landed some staggering blows.
Ironinya, Kiai Maruf tampak kepayahan. Tapi bukan stamina yang memenangkan adu debat. Sekali lagi, persiapan itu kuncinya.
Adu-debat adalah panggung kata. "
Words matter. Words matter when you run for president. And they really matter when you are president," ujar Hillary Clinton.
Saya kira, Prabowo-Sandi sengaja memberi ruang kepada Jokowi-Ma'ruf membuka diri di debat pertama.
Bagaikan Ellyas Pical yang menari-nari di ronde-ronde awal. Mencari format dan bentuk.
When the time comes, Prabowo-Sandi akan melumat Jokowi-Maruf di debat selanjutnya. Biarlah
chebong mengalami
catharsis before tragedy. Karena mereka tidak tahu apa yang akan terjadi.
[***]Penulis adalah kolumnis dan aktvis Komunitas Tionghoa Anti-Korupsi (Komtak).