KEMURAHAN hati Presiden Jokowi menganggarkan 5 triliun rupiah untuk mendukung program Dana Perwalian Kebudayaan yang dimohonkan para budayawan pada Kongres Kebudayaan Nasional 2018 jelas disambut dengan penuh riang gembira-ria oleh para pekerja seni.
Namun di sisi lain pada alam demokrasi Orde Reformasi, hal yang sama disambut dengan penuh skeptis oleh mereka yang menguatirkan dana 5 triliun rupiah itu akan menjadi sumber ketidakpuasan para pekerja seni yang merasa berhak menerima dana tersebut di samping menjadi sumber korupsi bagi mereka yang gemar menyalahgunakan dana negara.
Keadilan
Niat baik Presiden Jokowi menjadi beban tugas berat bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Direktur Jenderal Kebudayaan yang bertanggung jawab atas pendayagunaan Dana Perwalian Kebudayaan secara tepat adil dan merata.
Istilah adil dan merata jauh lebih mudah diucapkan sebagai semboyan ketimbang benar-benar diejawantahkan menjadi kenyataan karena keadilan secara benar-benar adil pada hakikatnya sangat sulit bahkan sebenarnya mustahil.
Adil bagi si A belum tentu adil bagi si B apalagi si C, D, E, F dan seterusnya sampai dengan Z dan kembali lagi ke A.
Keadilan terlalu nisbi akibat terlalu tergantung pada segenap dimensi mulai dari waktu, tempat bahkan sampai ke tafsir sehingga lebih hadir pada das Sollen alias keseharusan ketimbang das Sein alias kenyataan.
Maka merupakan mission impossible bagi badan yang akan dibentuk sebagai pelaksana Dana Perwalian Kebudayaan untuk mampu sempurna adil dalam membagikan dana 5 triliun rupiah kepada para pekerja seni yang terdiri dari seni teater, seni film, seni musik, seni sastra, seni rupa, seni maya dan seni entah apa lagi yang masing-masing masih terbagi lagi ke bidang-bidang yang masing-masing memiliki kebutuhan maka membutuhkan dana yang saling beda satu dengan lainnya.
Rawan timbul rasa iri pada masing-masing pekerja seni akibat merasa diri diperlakukan sebagai anak tiri sementara pihak lain diperlakukan sebagai anak emas.
Korupsi Di sisi lain dikhawatirkan terjadinya korupsi baik yang disengaja mau pun tidak disengaja terhadap DPK (Dana Perwalian Kebudayaan).
Memang lima triliun rupiah bisa dianggap kecil atau besar tergantung cara memandang dan menimbangnya namun apa pun besarannya korupsi tetap tidak bisa dibenarkan apalagi dibiarkan. Maka saya sarankan agar ada wakil resmi dari KPK untuk duduk sebagai anggota badan pengelola DPK agar sejak dini kemungkinan korupsi yang tidak disengaja apalagi yang disengaja dapat dicegah.
Dan agar nasib niat baik yang terkandung pada DPK jangan sampai senaas nasib niat baik yang terkandung pada BPJS maka sebaiknya di dalam badan DPK ditugaskan seorang ahli manajemen keuangan yang secara profesional bertanggung-jawab atas manajemen keuangan DPK yang telah dijanjikan Presiden Jokowi sebesar lima triliun rupiah kepada para pekerja seni Indonesia.
[***]
Penulis adalah Pembelajar Kebudayaan Nusantara