TERBERITAKAN bahwa sebuah lembaga survei mengumumkan suatu hasil survei yang meletakkan posisi ke III bagi kota Jakarta dalam urutan kota paling intoleran alias tidak toleran di Indonesia.
Pribadi
Berdasar pengalaman pribadi yang saya alami sendiri sebagai rakyat Indonesia yang bermukim di Jakarta, saya tidak sependapat dengan hasil penelitian tentang kota Jakarta sebagai kota nomor tiga dalam hal paling tidak toleran di Indonesia.
Sebagai warga yang kebetulan beragama Nasrani dan secara etnis-biologis dianggap keturunan yang kini wajib disebut Tionghoa, saya tergolong minoritas. Kaum minoritas lazimnya menjadi sasaran intoleransi kaum mayoritas.
Selama lebih dua puluh tahun sebagai minoritas bermukim di Jakarta, saya tidak merasa diperlakukan secara intoleran oleh mayoritas. Sesuai sukma kebudayaan Betawi, masyarakat Jakarta senantiasa memperlakukan saya dengan penuh ramah tamah.
Bahkan ketika huruhara Mei 1998 meledak di kota Jakarta, saya diselamatkan oleh para sesama warga Indonesia yang beda etnis dan agama dengan diri saya sendiri.
Pendek kata saya merasa bahagia dapat menempuh masa sisa hidup saya di kota Jakarta yang menurut keyakinan saya merupakan kota yang sangat ramah dan toleran sama ramah dan toleran dengan kota mana pun di persada Nusantara tercinta ini.
Saya merasa beruntung dilahirkan dan dibesarkan Ibunda tercinta saya di Indonesia maka di Indonesia pula
InsyaAllah saya diperkenankan menutup mata setelah menghela nafas terakhir saya.
Rakyat Twitter Henry MP Siahaan berkicau "
Perayaan Natal di GBK Senayan dihadiri 100 ribu penuh hikmat dan sukacita. Era @aniesbaswedan top deh" selaras dengan pendapat saya yang tentu saja tidak berkenan bagi yang meyakini maka menghendaki Jakarta tidak-bisa-tidak hukumnya wajib harus menjadi kota intoleran. Namun sebenarnya memang benar bahwa Jakarta pernah sempat menjadi kota sangat intoleran terhadap rakyat.
Bagi yang tidak percaya silakan bertanya bukan ke saya namun langsung ke para rakyat tergusur di Kalijodo, Pasar Akuarium Luar Batang dan Bukit Duri yang dipaksa mengorbankan gubuk mereka atas nama pembangunan demi menyejahterakan rakyat.
Pada tanggal 28 September 2016, ratusan warga Bukit Duri dipaksa mengorbankan tanah dan bangunan di mana mereka bermukim untuk digusur secara sempurna melanggar hukum sebab sebenarnya de facto mau pun de jure, tanah dan bangunan di mana mereka bermukim masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian masih ditambah Pengadilan Tinggi secara hukum memenangkan gugatan class-action warga Bukit Duri.
[***]
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan