SETELAH 17 tahun tentara Amerika Serikat menginjakkan kaki di Afghanistan dengan alasan untuk membebaskan negri ini dari rezim Taliban, situasi di Afghanistan tidak kunjung damai sebagaimana dijanjikan. Kini masyarakat Afghanistan mencurigai adanya maksud lain di balik alasan formal yang sementara ini didengungkan ke publik.
Muhammed Ismail Qasyimyar, anggota Dewan Keamanan Afghanistan, sebagaimana dilaporkan Associate Press (AP) mengungkapkan keheranannya, bagaimana mungkin tentara Amerika yang berjumlah 150.000 personil, ditambah ratusan ribu personil pasukan Afghanistan, tidak mampu mengalahkan milisia Taliban dengan perlengkapan seadanya. Bahkan kini Taliban tampak semakin kuat bila dilihat dari kemampuannya menyerang dan banyaknya wilayah yang dikuasai.
Sebenarnya kecurigaan terhadap maksud sebenarnya pasukan Amerika berlama-lama di Afghanistan sudah lama didengungkan oleh sejumlah pengamat. Mengingat pengaruh Rusia di kawasan Asia Tengah masih sangat kuat, meskipun Pakta Warsawa sudah bubar. Negara-negara satelit Rusia di kawasan ini tetap menjalin hubungan istimewa dengan Moskwa. Karena itu, kehadiran Amerika dilihat sebagai upaya untuk membendung dan menetralisir dominasi Rusia yang masih menjadi pesaing Amerika dalam percaturan global, meskipun "perang dingin" sudah usai.
Belakangan muncul kecurigaan baru, sejalan dengan meningkatnya tekanan politik Amerika terhadap Iran sejak Donald Trump berkuasa. Amerika membatalkan kesepakatan nuklirnya yang dibuat di Wina, Austria, pada 14 Juli 2015. Padahal kesepakatan yang diberi nama Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) itu, disamping diteken oleh Iran bersama Amerika Serikat (AS), juga Inggris, Rusia, China, Perancis dan Jerman.
Setelah pembatalan perjanjian ini, Amerika menambah sangsi ekonomi baru terhadap Iran. Diikuti dengan narasi permusuhan dari Saudi Arabia yang menjadi sekutu loyal Amerika di Timur Tengah. Di bawah penguasa
defacto Muhammad bin Salman (MBS) kini Saudi Arabia menempatkan Iran sebagai musuh nomor satunya, sehingga Iran lebih berbahaya dari Israel, dan Syi'ah lebih berbahaya dari Yahudi.
Lebih jauh dari itu, Amerika kini menjadi mediator antara Saudi Arabia dengan Israel yang membuahkan berbagai bentuk kerjasama, baik secara diam-diam maupun terbuka. Kini Saudi Arabia mengalami puncak hubungan mesra dengan Israel sejak kerajaan ini berdiri. Karena itu, sejumlah pengamat mulai mencurigai ada agenda besar yang disembunyikan Amerika terhadap Iran.
Apalagi Genderal Wesley Clark pernah mengungkapkan dalam sebuah wawancara di TV, adanya daftar 7 negara yang akan dihancurkan Amerika, antara lain: Iraq, Suriah, Lebanon, Libia, Somalia, Sudan, dan Iran. Iraq, Libia, Somalia, Suriah, dan Lebanon, sudah hancur-lebur, berarti hanya Sudan dan Iran yang tersisa. Semua ini tentu menambah kuatnya kecurigaan yang ada.
Mengingat secara geografis Afghanistan memiliki perbatasan langsung dengan Iran, ditambah pangkalan Amerika disini cukup besar dan ditopang dengan peralatan perang yang komplit. Dan dengan lemahnya pemerintahan yang ada, maka tidak diperlukan ijin yang berbelit untuk melakukan tindakan militer dari negri ini.
Jika semua kecurigaan ini terjadi, maka Israel yang akan paling gembira. Mengingat Iran merupakan satu-satunya negara di Timur Tengah yang ditakuti Israel, akan lumpuh tanpa negara Yahudi ini mengeluarkan keringat. Apakah kecurigaan ini hanya imajinasi yang berbasis teori konspirasi, atau fakta yang belum terungkap, kita semua tentu akan menjadi saksi sejarah.
[***]Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC)