TERKONONKAN dalam lembaran sejarah kebudayaan dunia, Taj Mahal didirikan oleh Kaisar Mughal Shah Jahan sebagai mausoleum untuk istri tercintanya, Mumtaz Mahal, yang meninggal dunia saat melahirkan.
Namun sebuah drama karya Dilip Hiro yang baru saja dipentaskan di India mengindikasikan motif lain di balik pembangunan Taj Mahal.
Dengan latar belakang kisah Taj Mahal, Hiro mengeksplotir konflik suami isteri yang terukir sebagai sebuah legenda populer.
Imajinasi Dilip Hiro dipentaskan dalam bahasa Urdu, sebuah bahasa yang digunakan rakyat India di masa pemerintahan Shah Jahan dan masih digunakan oleh banyak orang India di masa kini.
Taruhan Catur
Dilip Hiro berkisah bahwa Mumtaz adalah istri ketiga dan istri yang paling disayang Shah Jahan. Mumtaz digambarkan sebagai istri yang cantik dan setia dan rela memiliki banyak anak dengan suaminya meski terpaksa harus berbagai kasih dengan perempuan-perempuan lain.
Mumtaz meninggal saat melahirkan anak ke-14. Namun menurut Dilip Hiro, sebenarnya Mumtaz bukan istri yang cantik dan setia tetapi seorang pecatur yang sangat hebat, jauh lebih hebat dari Shah Jahan, dan dia ambisius serta kejam.
Para ilmuwan sejarah India setuju bahwa perempuan-perempuan kerajaan pada periode Mughal menerapkan otoritas politik yang signifikan.
Kejutan dari drama karya Dilip Hiro berpusat pada permainan catur dengan taruhan tinggi mirip permainan dadu Sengkuni-Yudistira dalam Mahabharata.
Saat itu, Mumtaz yang sedang hamil tua menantang suaminya untuk mempertaruhkan takhtanya. Dan ketika sang kaisar kalah, ia pun naik takhta demi mewujudkan ambisi kekuasaan yang kejam.
Sang kaisar menyadari bahwa ratunya harus dihentikan. Pertengkaran memperebutkan cap kerajaan berakhir dengan jatuhnya Mumtaz dari singgasana dan meninggal saat melahirkan.
Ekonomi Saya pribadi tidak tahu sejauh mana kebenaran kisah kasih sayang sebagai latar belakang pembangunan Taj Mahal. Namun ketika pertama kali datang ke Agra untuk secara ragawi dengan mata kepala sendiri menyaksikan kedahsyatan sang bangunan monumental legendaris serba putih di tepi sungai Yamuna itu, terus terang saya tidak merasakan aura surgawi kasih-sayang.
Yang saya rasakan hanya aura duniawi ambisi megalomaniak seorang penguasa ingin mengabadikan nama dirinya sendiri ke dalam lembaran sejarah kebudayaan dunia yang harus diakui memang berhasil karena secara arsitektural monumen Taj Mahal memang dahsyat menggetar sukma.
Namun secara ekonomis tidak terbayangkan berapa besar jumlah dana yang dikorbankan demi membangun Taj Mahal nan monumental itu.
Kemanusiaan
Secara kemanusiaan pada masa belum ada lembaga Persatuan Bangsa Bangsa untuk menyepakati Agenda Pembangunan Berkelanjutan sebagai pedoman pembangunan infra struktur di planet bumi tanpa mengorbankan rakyat, dapat diyakini bahwa cukup banyak rakyat dikorbankan untuk dipaksa membanting tulang serta memeras keringat, air mata dan darah demi membangun Taj Mahal.
Syukur Alhamdullilah, akibat terlebih dahulu dikudeta dan dipenjarakan oleh putranya sendiri, Aurangzeb , maka Shah Jahan belum sempat mewujudkan ambisi membangun Taj Mahal berwarna serba hitam sebagai makam dirinya sendiri di tepi sungai Yamuna di seberang Taj Mahal berwarna serba putih yang sudah terlanjur dipaksakan Shah Jahan untuk dibangun.
[***]
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan