Dana saksi untuk partai politik yang ditanggung dalam APBN dinilai telah menabrak prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara dan prinsip kepemiluan.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menjelaskan, prinsip keuangan negara dilanggar lantaran anggaran biaya saksi bukanlah untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.
Ia juga menilai biya saksi merupakan hanya mendanai kegiatan yang bukan prinsip dalam mengelola negara.
Menurut dia, saksi partai politik bukan sesuatu yang wajib diadakan dalam ajang pemilu. Ada tidaknya saksi merupakan urusan dari partai masing-masing.
Tak hanya itu, keberadaan saksi ditegaskannya juga bukanlah ukuran demokratis atau tidaknya sebuah Pemilu. Bukan pula kewajiban prinsipil dari sah atau tidaknya Pemilu.
"Saksi partai juga bukan prinsip sah atau batalnya Pemilu. Itu hanya sesuatu yang bersifat ornamen, tambahan yang sama sekali tidak prinsip bisa menjadi beban keuangan negara," jelasnya.
Prinsip kedua yang dilanggar adalah pemerintah bisa saja dianggap melakukan pendanaan ganda. Sebab, pemerintah sendiri telah menyediakan saksi Pemilu berupa pengawas lapangan di bawah kordinasi Bawaslu.
"Mereka adalah saksi independen yang bekerja untuk memastikan semua pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara berlangsung dengan jujur dan terbuka," tegasnya.
Nah, karena saksi-saksi di bawah koordinasi Bawaslu yang bertugas di tempat pemungutan suara (TPS) didanai oleh negara, maka pertenggungjawaban hasil kerja mereka juga kepada negara. Dalam hal ini Bawaslu. Untuk itu, ditekankannya jika negara telah mengeluarkan dana saksi pada tingkat TPS, maka jelas tidak boleh lagi negara mengeluarkan dana untuk kegiatan yang sama.
"Apalagi hasilnya tidak dipertanggungjawabkan kepada negara tetapi kepada partai politik masing-masing. Dengan dua pertimbangan prinsip ini dan berbagai pertimbangan tekhnis lainnya, Lingkar Madani untuk Indonesia menyatakan menolak usulan dana saksi partai politik pada pemilu 2019 yang akan datang," pungkas Ray.
[nes]