Berita

Foto: Net

Politik

Pertemuan IMF-Bank Dunia Di Bali Berlumur Kepentingan Industri Tambang

MINGGU, 14 OKTOBER 2018 | 07:56 WIB | LAPORAN:

Pertemuan tahunan International Monetery Fund (IMF)-World Bank di Bali diyakini tidak akan mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Malah, pertemuan ini menjadi ajang invenstasi lahan dalam skala besar, yang akan menggusur masyarakat dan berlanjutnya masalah-masalah lingkungan.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menegaskan, pertemuan IMF-World Bank yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, sejak 8 hingga 14 Oktober 2018 tidak ada urusannya dengan persoalan krisis dan masalah yang sedang dihadapi rakyat juga lingkungan di Indonesia.

"Pertemuan ini justru menjadi pintu masuk bagi investasi berbasis lahan skala besar, di mana rakyat dan lingkungan akan terus menjadi korban," kritik Merah dalam keterangannya di Jakarta.

Lihat saja, ulas dia, rangkuman signing ceremony yang dilakukan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam acara Indonesia Investement Forum 2018 yang diselenggarakan bersamaan dengan Pertemuan IMF-World Bank Group 2018 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10) lalu.

Salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam forum ini adalah ditandatanganinya investasi dan utang baru 13,2 miliar dolar AS atau 200 triliun rupiah bagi 14 BUMN.

"Di mana sektor tambang dan energi menempati porsi terbesar dari kucuran investasi dan utang tersebut yakni 7,7 miliar dolar Amerika," sebutnya.

Besarnya investasi dan utang IMF-WB yang dikucurkan pada sektor pertambangan, migas dan energi, menurut dia, menunjukkan pertemuan yang menghamburkan nyaris 1 triliun rupiah itu berlumur kepentingan industri pertambangan.

Salah satunya terkait Head of Agreement  (HoA) antara PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dengan Ocean Energy Nickel International Pty Ltd (OENI), di mana Antam akan menyediakan pasokan biji nikel yang stabil untuk proyek NPI Blast Furnac di Halmahera, Maluku Utara.

"Kesepakatan ini tentu saja mempertaruhkan keselamatan rakyat dan lingkungan, sebab jejak buruk PT Antam sendiri begitu nyata," ujar Merah.
Jatam mencatat, aktvitas pertambangan PT Antam yang memiliki 55 konsesi tersebar di Maluku Utara, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Papua, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Bengkulu.

Di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, misalnya, PT Antam meninggalkan kerusakan yang tak terpulihkan. Kini, pulau kecil itu terus dikeruk oleh PT Fajar Bakti Lintas Nusantara (FBLN). Selain itu, di Halmahera Timur, Pulau Gee, sebuah kotraktor PT Antam, yakni PT Geomin melakukan ekstraksi pertambangan. Bahkan pada 2003, di teluk Buli, PT Antam juga datang mengkapling.

"Cerita tentang kejayaan cengkeh dan pala berubah menjadi cerita tentang pertambangan nikel, emas, bauksit, batubara, bahkan perkebunan monokultur seperti kelapa sawit," tuturnya.

Bahkan, penggusuran dan pengusiran penduduk dari tahan-tanah ulayat, perampasan air dan intimidasi terhadap warga terus terjadi.

"Hampir semua sistem lokal dan cara pandang orang Halmahera terhadap ruang hidupnya sendiri diporakporanda," lanjutnya lagi.

Pada 2010, Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka, yakni Direktur Niaga PT Bukit Asam, Tiendas Mangeka dan Direktur Operasi/Produksi, Milawarma dengan kasus korupsi pengadaan floating crane untuk jasa bongkar muat di Pelabuhan Tarahan, Lampung.

Berdasarkan rilis Kantor Pelayanan Pajak wilayah kerja Kabupaten Muara Enim pada 2015, menyebutkan bahwa PT Bukit Asam terkena kasus tunggakan pajak senilai Rp 209 miliar.

Sejak awal, kehadiran PT Bukit Asam mendapat penolakan dari masyarakat, karena menambang di Bukit Murman, dekat kawasan pemukiman penduduk dan berada langsung di kawasan Sungai Enim, Talang Jawa, Lingga, dan Karang Raja.

"Parahnya lagi, kepala desa Tanjung Raja mendapat perlakuan intimidatif oleh Manajer Sekuriti PT Bukit Asam dengan pelakukan penembakan dan pengacungan pistol," ulasnya lagi.

Merah Johansyah menegaskan, pertemuan di Bali jelas dimanfaatkan IMF - World Bank Group berikut pelaku bisnis yang merangkap sebagai politisi, menjarah kekayaan alam untuk kepentingan kelompoknya sendiri.

"Dan semua itu terjadi di bawah pemerintahan yang ramah terhadap investasi, gemar berutang, dan dikelilingi konglomerat dan politisi yang berorientasi pada penghimpunan kekayaan sebanyak-banyaknya," pungkasnya.[wid]

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

UPDATE

Pengukuhan Petugas Haji

Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:04

Chili Siap Jadi Mitra Ekonomi Strategis Indonesia di Amerika Selatan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:02

Basri Baco: Sekolah Gratis Bisa Jadi Kado Indah Heru Budi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:42

Pemprov DKI Tak Ingin Polusi Udara Buruk 2023 Terulang

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:24

Catat, Ganjil Genap di Jakarta Ditiadakan 9-10 Mei

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:22

BMKG Prediksi Juni Puncak Musim Kemarau di Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:27

Patuhi Telegram Kabareskrim, Rio Reifan Tak akan Direhabilitasi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:05

Airlangga dan Menteri Ekonomi Jepang Sepakat Jalankan 3 Proyek Prioritas Transisi Energi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:00

Zaki Tolak Bocorkan soal Koalisi Pilkada Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 01:35

Bertemu Wakil PM Belanda, Airlangga Bicara soal Kerja Sama Giant Sea Wall

Sabtu, 04 Mei 2024 | 01:22

Selengkapnya