Berita

Repro

Politik

Nasib Petani Garam Labuhan Bontong, Kemana Regulasi Pemda?

KAMIS, 09 AGUSTUS 2018 | 07:41 WIB | OLEH: RUSDIANTO SAMAWA

SAYA masuk ke Desa Labuhan Bontong, Kecamatan Tarano, Kabupaten Sumbawa, pada 07 Agustus 2018, perhatikan masyarakat dan berdialog soal masih banyak rakyat Desa Labuhan Bontong belum mendapatkan listrik. Kemudian, saya fasilitasi pengadaan KWH / meteran listrik, sebagai solusi ditengah pemerintahan desa yang vakum melihat aktivitas warga miskin.

Hal-hal seperti itulah sebenarnya pemerintahan desa berpihak, tetapi kenyataannya membiarkan diri memakan Dana Desa. Kalau saja dana desa di pakai pengadaan listrik, mungkin saja masyarakat Labuhan Bontong sudah menikmati listrik bagi yang belum-belum ada listriknya selama ini.

Padahal, kalau saja Alokasi Dana Desa (ADD) itu diperuntukan untuk kesejahteraaan masyarakat pesisir, petani dan nelayan agar rumahnya dipasang listrik, maka sangat jelas ekonomi rakyatnya pasti meningkat. Ya tidak sama semasa tidak ada listrik dengan ada listrik. Padahal Dana Desa tidak memerlukan dalam sebanyak miliaran, tetapi hanya sedikit keperluan, tidak banyak.

Kemudian, setelah saya kunjungi masyarakat itu, lalu ketemu petani garam sekaligus pebisnisnya. Namanya Suhada, warga desa Labuhan Bontong. Mendengar cerita Suhada dan suaminya soal garam, membuat siapapun akan terperanjat heran apabila mendengarnya. Betapa sedihnya petani garam, mulai dari harga hingga distribusi penjualan.

Persoalan harga ini membuat petani garam Indonesia, seolah diinjak-injak oleh kapitalisme rakus. Betapa tidak, skema pengelolaan tidak menentu. Harga pun turun naik. Petani menjual sendiri dengan karung kecil berisi 5 kg harganya Rp 10.000, kalau pebisnis lokal yang merangkap sebagai petani garam juga, ambil garam yang sudah tersedia ditempat sekitar Rp 12.000 hingga 15.000, kemudian penjualan berlaku harga Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per 5 Kg.

Hal seperti ini terjadi.karena kurangnya perhatian pemerintah daerah untuk menjaga harga lokal pada garam. Minimal pemerintah daerah Sumbawa lakukan operasi pasar dan menjaga stabilitas harga garam, sehingga petani tidak merasa dibohongi oleh harga dan pemerintah mendapat hasil dari proses yang baik dalam pendapatan Asli Daerah. Para pebisnis pun tidak mengeluh soal harga yang tidak menentu.

Apalagi, garam Labuhan Bontong sering terancam oleh banjir dan terendam air sehingga mudah rusak dan tidak memiliki harga. Inilah pekerjaan rumah pemerintah agar memberi perlindungan kepada petani garam, sehingga mereka tidak mengeluh setiap saat.

Keluhan lain yakni ketika koperasi garam hadir di Labuhan Bontong tetapi oara petani masih mengeluh. Apalagi pengelolaan koperasi carut marut bail soal keuntungan pembelian dan penjualan garam maupun pengelolaan subsidi pemerintah yang tidak transparan, sehingga di kalangan anggota koperasi saling membucarakan dan saling menjelekkan.

Belum lagi petani garam Labuhan Bontong terlilit utang dan sistem yang mencekik mereka. Ditambah hadirnya, garam-garam impor tentu membuat petani garam Labuhan Bontong mengalami persaingan yang tidak adil sama sekali.

Dalam tulisan saya sebelumnya, pada Februari 2016 berjudul Perkuat Infrastruktur Produksi Garam Nasional bahwa ada banyak alasan pemerintah diungkapkan kepada rakyat agar bisa meyakinkan bahwa impor garam itu sangat urgent sekali. Padahal tidak semestinya melakukan impor garam.

Polemik garam dalam beberapa tahun ini mengundang analisa para petani garam baik yang dianggap terdampak maupun tidak. Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, adalah pertama: mengapa harus impor? Pertanyaan ini tergantung sikap pejabat negara dan kadar nasionalisme apabila memenuhi kebutuhan rakyat dengan impor, maka kebanggaan kita terhadap garam nasional dipastikan tidak ada.

Pola importir garam ini merupakan sistem yang sudah lama di geluti oleh para kartel asing yang bekerjasama dengan pejabat yang merupakan penyalurnya. Alasan paling mendasar untuk impor adalah cuaca ekstrem (Pen: Anomali Baru) yang menyebabkan kelangkaan garam. Padahal tidak seperti itu yang terjadi. Bukan karena cuaca. Namun, keterbatasan regulasi kontrol pemerintah yang tegas terhadap para kartel pebisnis garam yang selama periode 4 bulan ini mereka menampung dan menumpuknya.

Dengan mudahnya, menyalahkan alam karena matahari kurang sahabat dan hujan. Hal ini bukanlah suatu alasan yang tepat bagi pemerintah menyalahkan alam. Harusnya pemerintah memperbaiki pola distribusi garam baik ditingkat petani maupun pasar. Pola distribusi ini yang sering membuat krisis garam karena pemerintah sendiri sering saling percayai kartel garam untuk impor.

Kedua, infrastruktur pengelolaan garam nasional belum memadai. Dari sejak 1942 hingga 1995 kondisi petani garam sangat susah untuk memodernisasi alat produksi garam maupun tempat penampungan garam di petani tambak.

Kalau pemerintah komitmen mengembangkan pengelolaan dan memusatkan kerja pelayanan untuk bantuan pembangunan infrastruktur garam, maka harus ada alokasi infrastruktur garam nasional yang memadai, misalnya pembangunan tempat penampungan garam, alat produksi, mesin penyedot air atau penimba air tawar.

Dulu kedua orang tua saya hingga turun ke kami sekarang ini bahwa proses menjadi petani garam tetap kita rasakan sederhana dan pola produksi yang lama. Tentu butuh waktu kurang lebih untuk produksi garam. Itupun belum tentu bagus hasilnya karena memang berdasarkan faktor perkembangan iklim alam.

Maka oleh karena itu, baiknya pemerintah fokus perbaiki infrastruktur garam nasional, perpendek pola distribusi garam yang tidak lagi melibatkan kartel asing. Sehingga, petani garam nasional bisa memiliki kemandirian yang kuat dan bertahan serta stok garam selalu tersedia.

Pemerintah membantu petani garam Labuhan Bontong melalui skema pembantuan alat berat berupa ekavator dan diterima oleh koperasi. Eskavator ini dikuasai oleh satu orang. Seharusnya eskavator itu digunakan untuk perbaiki infrastruktur petani garam. Pemerintah sudah bagus memberi bantuan melalui dana aspirasi komisi II.

Bantuan eskavator itu seluruh NTB dapat, baik di Labuhan Bontong, Sekotong Lombok Barat dan petani garam Bima. Jadi eskavator itu dimaksud untuk perbaiki infrastruktur petani garam Labuhan Bontong. Bukan untuk kuasai pribadi dan kuasa kelompok sehingga peminjaman pun sulit dilakukan. Artinya bantuan eskavator itu perlu manajemen yang baik oleh koperasi dan jangan dijual.

Ketiga, berdasarkan pantauan, untuk garam satu bungkus isi 10 kotak garam, semula harga Rp 2.500 kini naik menjadi Rp 7 ribu. Sedangkan untuk garam dapur, yang semula hanya seharga Rp 10 ribu kini melonjak hingga Rp 25 ribu.

Yang jadi masalah pemerintah tidak mendahulukan kepentingan rakyat petani tambak garam. Seyogyanya terlebih dahulu melakukan distribusi kepada seluruh pasar tradisional sebagai pusat kebutuhan rakyat.

Pemerintah juga harus lebih keras memotong mata rantai kartel garam yang selama ini menjadi penyakit bagi petani garam. Mata rantai kartel inilah yang membuat banyak daerah penghasil garam anjlok.

Maka, kalau saja memiliki kemauan untuk merubah keadaan agar tidak menjadi lahan permainan kartel. Maka harus perkuat petani garam dengan kebijakan atau regulasi pemberdayaan dan pembangunan yang sustainable.

Salah satu yang paling penting dibangun adalah alat distribusi garam, jalan kurang lebar, gudang tempat penampungan garam, serta alat-alat produksi garam. Semua itu harus diperbaiki, selain menata sistem distribusi dan alur garam.

Jangan sampai pemerintah berniat mengimpor garam, lalu improvisasi kebijakan dengan menyetir kartel untuk membeli, menampung dan mendistribusi serta merubah kadar NaCl-nya. Masukan petani garam bagi pemerintah harus segera dilaksanakan. Termasuk menghadirkan metode teknologi yang tinggi agar garam nasional dapat dipenuhi. [***]

Penulis adalah Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Jokowi Tak Serius Dukung RK-Suswono

Jumat, 29 November 2024 | 08:08

Ferdian Dwi Purwoko Tetap jadi Kesatria

Jumat, 29 November 2024 | 06:52

Pergantian Manajer Bikin Kantong Man United Terkuras Rp430 Miliar

Jumat, 29 November 2024 | 06:36

Perolehan Suara Tak Sesuai Harapan, Andika-Hendi: Kami Mohon Maaf

Jumat, 29 November 2024 | 06:18

Kita Bangsa Dermawan

Jumat, 29 November 2024 | 06:12

Pemerintah Beri Sinyal Lanjutkan Subsidi, Harga EV Diprediksi Tetap Kompetitif

Jumat, 29 November 2024 | 05:59

PDIP Akan Gugat Hasil Pilgub Banten, Tim Andra Soni: Enggak Masalah

Jumat, 29 November 2024 | 05:46

Sejumlah Petahana Tumbang di Pilkada Lampung, Pengamat: Masyarakat Ingin Perubahan

Jumat, 29 November 2024 | 05:31

Tim Hukum Mualem-Dek Fadh Tak Gentar dengan Gugatan Paslon 01

Jumat, 29 November 2024 | 05:15

Partisipasi Pemilih Hanya 55 Persen, KPU Kota Bekasi Dinilai Gagal

Jumat, 29 November 2024 | 04:56

Selengkapnya