TIDAK ada ampun bagi smokers atau perokok di dua kota ini: Brunei Darussalam dan Melbourne, Australia. Di kota pertama rokok haram, di kota kedua cukai rokok dikenakan tarif selangit.
Perjalanan saya kali ini ke Melbourne menggunakan pesawat Royal Brunei Airlines. Penerbangan merupakan kongsi dengan Garuda Indonesia. Otomatis penerbangan kami Minggu (5/8) siang dari Jakarta harus transit di Bandar Sri Begawan, bandara internasional Brunei.
Catatan pertama, penerbangannya mengasyikkan. Pilot menerbangkan pesawat terutama saat take off dan landing cukup halus, sama dengan ciri Garuda.
Pramugari berhijab dan amat ramah. Membuat perasaan nyaman selama dalam penerbangan. Menu makanan yang disajikan enak dan berkelas. Penumpang sangat dimanjakan dengan makan dan minum.
Pesawat yang digunakan dari Brunei ke Melbourne Boeing 787 Dreamline. Pesawat berbadan lebar menambah kenyamanan tidur selama lebih kurang enam jam perjalanan hingga tiba di Melbourne pukul 04.45 Senin (6/8) subuh tadi.
Dorongan angin tampaknya menjadi faktor utama pesawat tuba lebih cepat sekitar satu jam. Pesawat canggih ini sayangnya tidak dilengkapi wifi. Seperti pada umumnya pesawat Garuda yang menerbangi rute panjang seperti ke Eropa dan Australia.
Dengan begitu untungnya tidur bisa lebih cepat. Tapi kerugiannya: berita gempa di Lombok baru saya ketahui ketika pesawat mendarat.
HaramKembali ke topik. Saya baru tahu merokok ditempat umum haram di Brunei Darussalam. Ketika masuk lounge di bandara Brunei setiba dari Jakarta, saya mencari smoking area. Smoking area biasanya tersedia di hampir seluruh bandara internasional. Smoking area di Dubai dan di Incheon Seoul malah sangat mewah.
Tapi resepsionis yang saya tanya menampakkan wajah keheranan. Dari dia lah saya tahu rokok dilarang bukan cuma karena alasan kesehatan tetapi juga pelarangan dasarnya agama. Ampun. Apa boleh buat.
Tiga jam transit di bandara terpaksa cari-carilah “pekerjaanâ€. Makan dan pijat refleksi. Makanan dan minuman berlimpah. Pijat refleksi dengan kursi pijat gratis pula.
DeclareSoal rokok ini sama tak nyamannya di Melbourne Australia.
Saya sering menulis soal ini. Rokok di Australia termahal di dunia. Harga sebungkus Marlboro Light 27 dolar Australia, sekitar Rp 300.000. Sebagai perbandingan: Paris (Rp 150 ribu), Tokyo ( Rp 70 ribu), dan New Delhi ( Rp75.000), Singapore (Rp 125.000), Los Angeles (Rp 110 ribu). Jakarta (Rp 25 ribu).
Di Australia rokok bukan hanya mahal, tetapi dijual pun di tempat terbatas. Tidak seperti di semua daerah di Indonesia. Kios rokok bisa jaraknya hanya sepuluh meter.
Di mini market Australia rokok tidak dipajang. Tetapi ditaruh dalam rak tertutup. Di pintu rak ditempel kertas. Seperti kertas pengumuman di kantor. Di situ dicantumkan merek rokok plus harganya.
Setiap ke luar negeri saya selalu bawa rokok satu slof (sepuluh bungkus). Bahkan bisa lebih. Tergantung lamanya perjalanan. Di Australia begitu juga. Apakah itu ke Perth, Sydney, Melbourne, saya selalu bawa rokok Marlboro Light satu slof (sepuluh bungkus).
Padahal, ketentuannya (tertulis dalam arrival card) per penumpang memang hanya boleh bawa 25 batang. Lebih dari biasanya akan berurusan dengan pihak bea cukai. Kebanyakan pembawa rokok tidak melaporkan
(declare). Artinya untung-untunganan. Kalau ketahuan, ada risiko. Disita dan kena denda.
Tapi, saya dengar kebanyakan mahasiswa memilih tidak melaporkan
(declare). Bagi sebagian mahasiswa, ini jadi lahan bisnis mereka untuk tambahan uang jajan. Bayangkan harga beli di Indonesia Rp 25 ribu. Dijual ke kalangan mereka saja Rp 150 ribu. Untungnya 5 kali lipat. Ada banyak yang kerjasama dengan pramugari.
Saya sendiri memilih selalu mendeclare. Paling suruh lewat jalur pemeriksaan. Di jalur itu paling sering saya alami suruh jalan aja. Tidak diperiksa.
Sejauh pengalaman, orang bule senang kejujuran.
Cara
declare itulah yang saya tempuh selama ini. Aman.
Cara
declare itu pula yang menjadi kiat saya waktu tiba Senin (6/8) subuh di Melbourne. Bandara masih sepi. Dapat jalur khusus pula waktu di Imigrasi. Petugasnya juga baik. Kurang dua menit urusan beres. Kartu “arrival card†sempat saya lirik ditandai warna hijau. Aman.
Setelah ambil bagasi, kami melewati bagian customs. Isteri, anak, dan menantu yang bawa troli koper masing-masing dipersilahkan langsung ke luar.
Tapi kali ini jurus declare saya mentok. Baru sekali ini. Petugasnya cewek, cantik, tapi kelihatan capek bergadang. Mau detil. Dia minta saya perlihatkan rokok satu slof dikoper yang sudah dilepas-lepas. Satu persatu rokok dikumpulkan. Kemudian satu bungkus dikembalikan.
“Anda cuma boleh bawa sebungkus ini. Yang sembilan Anda harus bayar cukainya. 148 dolar Australia," kata dia.
Saya tidak tahu bagaimana hitungannya. Saya “ngambekâ€. Saya suruh ambil semua. Saya katakan tidak masuk akal. Rokok saya beli cuma 2,5 dolar Australia. Eh, saya malah suruh bayar cukainya 600 persen.
“Mau tidak? Di city rokok ini Aud 25 per bungkus. Anda cuma bayar cukainya 15 dolar perbungkus,†tawarnya.
Atas nama pikiran waras, saya tolak tawarannya. Menanggapi penolakan itu, dia tawarkan lagi satu bungkus tadi. Entah kenapa saya tergerak mengambilnya. Seperti saya mendukungnya. Wajahnya terpancar rasa puas. Dia bisa menegakkan aturan. Itulah kepuasan abdi negara. Saya terpikir. Andaikata sikap petugas negara di NKRI seperti petugas cewek Australia itu, mungkin kondisi kita akan lebih baik.
Buat saya memang menyakitkan. Bagi yang menegakkan aturan dia akan memberi kontribusi besar pada tertibnya penyelenggaraan negaranya. Saya menghormati ide itu jauh lebih pada kegemaran saya merokok. Rokok masih bisa dibeli.
[***]
Penulis adalah wartawan senior