INDONESIA untuk kedua kalinya akan dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games. Perhelatan kali ini akan digelar di Jakarta dan Palembang dari 18 Agustus 2018 hingga 2 September 2018. Indonesia tidak mematok target yang muluk-muluk, hanya berharap bisa masuk 10 besar.
Melihat target yang ingin dicapai, bisa disimpulkan bahwa kemampuan Indonesia saat ini jauh dari harapan. Target minimalis menunjukkan kapasitas yang terbatas.
Sangat jauh dibandingkan Asian Games IV Jakarta 1962, di mana Indonesia mampu bertengger di urutan kedua. Atau bila dibandingkan dengan Thailand pun, Indonesia tidak ada apa-apanya.
Pada Asian Games XVII di Korea Selatan 2014, Thailand berhasil menduduki peringkat ke-6, sedangkan Indonesia harus puas di urutan ke-17.
Terpuruknya gairah olah raga Indonesia tidak terlepas dari peran dari kepemimpinan nasional Bung Karno mampu menjadikan Asian Games IV sebagai alat perjuangan menegakkan martabat bangsa di mata dunia.
Tak tanggung-tanggung, dengan kondisi bangsa yang masih dalam transisi kemerdekaan, Bung Karno mampu membangun stadion super megah di Senayan, Hotel Indonesia dan infrastruktur lainnya untuk menyambut Asian Games. Maka wajar jika saat itu banyak negara terkagum-kagum atas kehebatan Indonesia.
Bandingkan dengan sekarang. Tidak ada sarana olah raga baru yang dibangun. Semuanya hanya merenovasi sarana yang sudah ada. Di Jakarta, masih mengandalkan stadion tua GBK peninggalan Bung Karno. Sementara di Palembang, mengandalkan stadion bekas PON dan Sea Games.
Dari sini jelas sekali, Asian Games kali ini tidak ada kebanggaan baru yang dibangun. Hanya tambal sulam dan poles seperlunya. Karena tidak ada yang bisa dibanggakan, maka wajar pula jika tidak ada kekaguman dari bangsa-bangsa lain.
Membandingkan sosok Bung Karno dengan Jokowi, bak langit dengan bumi. Bung Karno sukses besar menggelar Asian Games 1962, baik sukses sebagai tuan rumah, prestasi, dan sukses menggemakan kapasitas kepemimpinan Indonesia di mata dunia.
Bahkan dengan kesuksesan tersebut, setahun kemudian Bung Karno berani menggelar pesta olahraga Games of New Emerging Forces (Ganefo) pada 10 - 22 November 1963 yang diikuti 48 negara anti imperialis dari berbagai belahan dunia, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Latin, hingga Eropa Timur. Bisa dibilang Ganefo adalah pesaing Olimpiade.
Kondisi berbeda bisa diamati saat ini, bisa dikatakan tidak ada gairah menyambut Asian Games 2018. Presiden Jokowi pun terkesan setengah hati menjadi tuan rumah. Semuanya diserahkan kepada
event organizer (EO). Maka tidak heran kesan yang muncul lebih kepada aroma komersialitas dari pada instrumen perjuangan.
Lihat saja harga tiket
opening ceremony dipatok setinggi langit, termurah Rp 750 ribu dan termahal Rp 5 juta. Dengan harga sebegitu tinggi tidak ada rakyat jelata yang akan mampu membelinya.
Maka wajar jika gairah menyambut Asian Games juga sepi-sepi saja, karena pemerintah sendirilah yang sudah menjauhkan Asian Games dari rakyatnya.
[***]Penulis Adalah Ketua Presidium PRIMA (Perhimpunan Masyarakat Madani)