Berita

Jokowi/Net

Politik

Jokowi Setuju Badan Ekonomi Indonesia Sedang Lemah

MINGGU, 29 JULI 2018 | 00:02 WIB | OLEH: GEDE SANDRA

AKHIRNYA Presiden Jokowi mengakui bahwa kondisi “badan” perekonomian Indonesia memang sedang lemah.

Mantan Walikota Solo ini dua hari yang lalu (26/7), di hadapan para kepala daerah di Istana Bogor, menyatakan bahwa terdapat masalah dalam fundamental ekonomi Indonesia. Masalah itu adalah defisit transaksi berjalan dan defisit perdagangan, yang menyebabkan Indonesia rentan terpengaruh gejolak ekonomi dunia.

Padahal beberapa saat sebelumnya Tim Ekonomi pemerintah, yang disuarakan terutama oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, si Menteri Terbaik di Dunia, masih terus menyatakan bahwa fundamental ekonomi kita kuat, kondisi fiskal prudent, dll. Bahkan, beberapa hari yang lalu, Sri Mulyani masih berani katakan bahwa APBN untung dengan adanya kondisi pelemahan kurs Rupiah. Minggu lalu juga Menko Perekonomian Darmin Nasution masih menyatakan bahwa pelemahan kurs Rupiah merupakan hal biasa.


Sebaliknya, ekonom senior Rizal Ramli (RR) sejak akhir tahun lalu, diulang di berbagai kesempatan, terus mengingatkan pemerintah tentang kondisi lampu kuning (setengah merah) perekonomian Indonesia. Lemahnya kondisi ini disebabkan oleh berbagai defisit seperti dalam neraca perdagangan dan transaksi berjalan.

RR memberi analogi yang sangat sederhana untuk mengibaratkan perekonomian dan kondisi eksternal. Bila badan kita sedang lemah, virus-virus akan mudah menyerang sehingga menyebabkan kita sakit. Namun bila badan kita kuat, virus apapun tidak akan mampu menyakiti. Tapi peringatan RR ini malah terus dibantah oleh para buzzer pemerintah termasuk juga oleh juru bicara Sri mulyani di Kemenkeu dan oleh Deputi Darmin di Kemenko Perekonomian.

Sampai kemudian dua hari lalu, Jokowi seakan mengakui dan menerima peringatan RR tentang buruknya fundamental ekonomi kita. Tim Ekonomi pemerintah yang sebelumnya menolak peringatan RR, akhirnya ramai-ramai mengakui bahayanya pelemahan nilai tukar dan tergopoh-gopoh mencari solusi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan.

Barulah kemarin lusa juga (26/7), malamnya setelah acara bersama para Kepala Daerah, Jokowi mengumpulkan 40 taipan terkaya di Indonesia dan meminta para eksportir kelas kakap ini untuk membawa kembali seluruh devisa hasil ekspor mereka.

Pada hari yang sama juga Sri Mulyani menyatakan akan menghentikan impor yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Setelah itu kemarin (27/7) juga terjadi rapat mendadak di Istana, Jokowi meminta para menteri terkait untuk membahas pencabutan harga khusus batubara yang selama ini dinikmati pengusaha wajib pasok DMO (Domestic Market Obligation).

Lalu apakah artinya ini? Ekonom-ekonom pemerintah telah gagal mengendalikan situasi. Tim ekonomi pemerintah telah gagal memperkirakan atau gagal melakukan forecasting situasi ekonomi nasional, yang seharusnya menjadi kompetensi utama mereka. Dulu menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7 persen, nyatanya cuma dapat 5 persen. Kini bilang ekonomi kita akan baik-baik saja, ternyata toh ada masalah yang cukup fundamental seperti duo defisit yang disampaikan Presiden Jokowi dua hari yang lalu.

Sementara, manipulasi garis kemiskinan sudah semakin terang benderang, angka kemiskinan BPS terlalu rendah. Rp 11 ribu yang dijadikan acuan garis kemiskinan tidak relevan lagi. Terlebih setelah seorang wartawan dari Vice melakukan riset lapangan untuk hidup di Jakarta bermodal Rp 20 ribu sehari, ternyata tidak cukup! Bubble pencitraan pun pecah.

Namun, bila pun memandang penurunan kemiskinan versi BPS berbagai zaman kepresiden, dari  selama apa menjabat dan seberapa persen penurunan kemiskinan, bukan terjadi pada masa Jokowi. Data menyebutkan setelah Reformasi, laju penurunan kemiskinan era Habibie adalah 1,1 persen/tahun. Gus Dur adalah 5,01 persen dalam 2 tahun, atau lajunya 2,5 persen/tahun. SBY periode pertama 2,5 persen dalam 5 tahun, atau lajunya 0,5 persen/tahun. SBY periode kedua 3,46 persen selama 5 tahun, atau lajunya 0,69 persen.

Sedangkan Jokowi adalah 1,1 persen dalam 4 tahun, atau lajunya 0,28 persen/tahun. Jelas, angka laju penurunan kemiskinan era Jokowi adalah yang terkecil dan Gus Dur (tim ekonomi adalah RR dan Kwik Kian Gie) memiliki angka laju penurunan kemiskinan yang tertinggi versi BPS. [***]

Penulis adalah peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Slank Siuman dari Jokowi

Selasa, 30 Desember 2025 | 06:02

Setengah Juta Wisatawan Serbu Surabaya

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:30

Pilkada Mau Ditarik, Rakyat Mau Diparkir

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:19

Bukan Jokowi Jika Tak Playing Victim dalam Kasus Ijazah

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:00

Sekolah di Aceh Kembali Aktif 5 Januari

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:50

Buruh Menjerit Minta Gaji Rp6 Juta

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:07

Gegara Minta Duit Tak Diberi, Kekasih Bunuh Remaja Putri

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:01

Jokowi-Gibran Harusnya Malu Dikritik Slank

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:45

Pemprov DKI Hibahkan 14 Mobil Pemadam ke Bekasi hingga Karo

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:05

Rakyat Tak Boleh Terpecah Sikapi Pilkada Lewat DPRD

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:02

Selengkapnya